Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 19 Oktober 2013

“Piknik ke PKU”

Unknown | Sabtu, Oktober 19, 2013 | | Be the first to comment!


Hari ini hari senin, tepat sehari sebelum perayaan Idul Adha. Udara pagi ini cukup bersahabat khususnya bagi siapa pun yang mau berolahraga. Kebetulan hari ini kampus sedang libur begitu pun dengan keesokan harinya yang jelas-jelas sudah pasti libur. Maka tak ada alasan untuk tidak berolah raga hari ini.

Pagi ini ku awali dengan sholat subuh, walau mungkin waktu sholat sudah selesai. Langit tampak terang walau cahaya matahari belum jelas ku lihat. 

Setelah sholat sejenak ada keraguan untuk melanjutkan niat ini. Niat berolah raga. Ku lirik sepatu olah raga ku yang sedang asyik duduk di samping meja laptop. “Kalau gak sekarang kapan lagi ya,” gumam ku dalam hati seraya mengambil sepatu.

“Nah sekarang mau olah raga kemana?” seperti ada sosok lain yang bertanya pada diri ku. Ku kira olah raga keliling komplek cukup membuat keringat bercucuran. Ah, tidak. Sepertinya lebih asyik kalau berolah raga santai disekitaran Lapangan Bola Maguwo. Ku lihat jam telah menunjukkan pukul 05.34, “kalau ke alun-alun (selatan) paling sampai sana sekitar jam 6, masih bisa lah kalau hanya untuk berolah raga,” aku menimbang-nimbang.

Kunci motor lalu ku ambil, tak lupa juga ku bawa sepatu olah raga yang sedari tadi aku pelototi. Ku buka pintu kos dan ku naiki motor. “Enaknya kemana ya,” kembali batin ini menanyakan hal yang sama. “Yaudah ke stadion maguwo saja”. Aku mulai meluruskan niat. 

Dengan perlahan  ku arahkan motor ini keluar kos dan mulai beranjak menuju jalan raya. “Ah ke alun-alun aja lah,” tiba-tiba ada bisikkan lain untuk tidak memutar arah motor menuju Stadion Maguwo. 

Motor pun ku kendarai dengan santai, tidak ada sesuatu juga yang ku kejar disana. Suasana tampak masih lengang, kendaraan pun masih belum seramai biasanya. Tapi udara kali ini benar-benar dingin, menusuk dan merangsek hingga ke tulang. Apa karena akunya yang terlalu kurus ya?

***

Rabu, 13 Maret 2013

Catatan Ku

Unknown | Rabu, Maret 13, 2013 | | Be the first to comment!

22-24 Pebruari 2013 merupakan agenda rutin dari LPM Journal STMIK Amikom Yogyakarta, yaitu Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar. Semua calon anggota (calang) diwajibkan untuk turut serta dan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Tak kurang sekitar 18 calang mengikuti kegiatan tersebut yang diselenggarakan di wisma BIK Kawasan wisata Kaliurang.

Para peserta dan panitia meninggalkan kampus ungu tercinta sekitar pukul 8.30 pagi. Tampak semua peserta tampak antusias dengan kegiatan tersebut, begitupun dengan ku. Tak lupa pakaian ganti, alat tulis, hingga perlatan mandi telah berada pada gendongan ku. Meski pada awalnya aku cukup kurang senang dengan kegiatan ini, terlebih harus dilakukan dengan cara menginap membuat aku kehilangan gairah. Tapi hal itu coba ku tepis dan mulai mengikuti ketukan yang telah ditentukan.

Tak kurang dua bis dalam kota atau mungkin lebih tepatnya disebut mikrolet menjadi tumpangan para peserta dan sebagian panitia. Selama dalam perjalanan suasana cukup menyenangkan, awalnya. Namun, berangsur-angsur membosankan saat para sebagian peserta mulai berpindah alam. Mereka tidur. Dan apa yang ku lakukan? Tentunya mengabadikan momen tersebut. Dengan gaya bak seorang fotografer profesional ku coba mengabadikan momen tersebut tentunya bukan menggunakan kamera pribadi (hehe), pinjam itu tidak salah selama masih dikembalikan (hehe).

Sekali, dua kali, ku coba jajal kemampuan ku pada Cannon EOS yang saat itu kugenggam. Tidak begitu buruk, blurnya tidak terlalu walau cukup pada seluruh hasil jepretan ku.

Tak terasa waktu telah berlalu satu jam lebih, mobil yang ku tumpangi telah mulai memasuki kawasan wisata alam Kaliurang. Nampak para peserta lain masih sibuk dengan dunia mereka sendiri, entah apa yang mereka mimipkan tapi bisa ku tebak kalau diantara mereka tidak ada yang mimpi buruk. Nampak kalem dan tenang saat mereka kehilangan kesadaran.

Akhirnya bis benar-benar berhenti pada tempat yang akn kami tempati selama 3 hari 2 malam kedepan. Terletak di daerah tinggi, berbentuk kuno, serta diselimuti cat berwarna putih semakin memberi kesan dingin. (eh sejuk maksudnya).

Para peserta mulai turun satu per satu dari mikrolet dan mulai merapihkan perkakas mereka masing-masing. Setelah semua peserta merapihkan peralannya, panitia mulai mengkordinir para peserta untuk sejenak beristirahat pada kamar-kamar yang telah dibagi.

Kamis, 28 Februari 2013

AKU BUKAN JURNALIS “Mencari Informasi Itu Tidak Mudah”

Unknown | Kamis, Februari 28, 2013 | Be the first to comment!


Hari itu cukup cerah, seperti biasa para mahasiswa mulai berdatangan. Jam menunjukkan pukul 07.01 dan jam pertama sudah dimulai. Tapi para mahsiswa masih berdatangan dan mulai membariskan kendaraan mereka pada tempat-tempat parkir dengan rapih. Semua tampak sibuk dengan aktivitas masing-masing, mengobrol, berjalan berdua, bertiga serta ada juga yang terlihat berjalan dengan terburu-buru.

Tapi aku tidak sama seperti apa yang mereka kerjakan, hari itu aku akan pergi mengikuti Pelatihan Jurnalistik. Dengan perlengkapan mandi, tulis, hingga segala jenis keperluan sudah lengkap berada di dalam rangsel kebanggan ku, rangsel yang selalu ku gendong saat aku akan melakukan suatu perjalan. Dengan santai aku berjalan menuju tempat berkumpul.

Sampai disana, kulihat hanya beberapa orang yang telah memenuhi janjinya untuk berkumpul pada pukul 07.00 sesuai tulisan yang tertera pada jadwal. Sepi, lengang, mungkin itu yang tepat untuk menggambarkan apa yang kulihat. Para panitia juga belum semua hadir, beberapa dari mereka terlihat sangat sibuk bahu membahu dalam mempersiapkan acara itu.

Senin, 25 Februari 2013

My life in the tsunami

Unknown | Senin, Februari 25, 2013 | | | Be the first to comment!
Authors note: this isn’t actually my part of it. It’s just a support story for Japan and the crisis’s that have been going on there. I strongly support Japan*

I live in Fukushima, Japan. I was having a normal family dinner with my wife, son and daughter. We were discussing normal things that any other family would discuss over dinner, about what’s going on in this strange, awful big world. We were the only fluent English speaking family in the village. I taught my children and wife, my parents told me. My parents didn’t live with us, they lived in their own home, I couldn’t do with anymore people in this house, it’s too small.

I was just about to put some carrot in my mouth when suddenly the whole house shook. Books fell off the shelves and pictures fell off the walls. My children started screaming. My wife tried to calm them whilst I led them outside. You probably think that wasn’t sensible but in my mind it was. Anything could have broken and fell on them there, it was safer outside. We crouched on the cold tarmac and waited for this huge 8.8 earthquake the pass. It took it’s time. Other families started crowding outside and I beckoned them over. It would be safer in a big group. Trees started shaking and leaves fell off. thank god we weren’t near them, they could have fallen on us. A tree fell.

Sabtu, 10 November 2012

Hilangnya Malaikatku Oleh : AC Ruddin

Unknown | Sabtu, November 10, 2012 | Be the first to comment!
apa kabar sahabat goresan pena? sudah lama goresan pena tidak memposting. Berikut ini adalah cerpen yang disadur secara utuh dari jendela sastra.selamat membaca semoga terhibur.

Tentangku. Tentang seorang anak  yang telah lama merangkai cerita hidup bersama seorang malaikat. Dengan cat yang ku torehkan dengan berbagai kuas di atas kanvas putih suci. Kanvaspun penuh lukisan kehidupan yang indah, meskipun ada sedikit noda cat yang tak pernah diinginkan menetes di kanvas itu. Emak adalah malaikatku. Aku dan Emak selalu berdua. Ya, hanya berdua. Tak ada Bapak, sosok pemimpin dalam keluarga.
*****
Malam ini tak ada kemurungan di wajah sang kubah surya. Bulan dan bintang berebut tampakkan senyum paling bersinar. Aku termenung di balkon rumah sederhana. Meneliti satu demi satu bintang yang bertaburan. Mencari bintang yang biasanya berada tepat di atas balkon ini. Sekian lama Aku mencari, bintang itu tak kutemukan juga. Mungkin ia sedang berkelana ke balkon-balkon yang lain atau mungkin belum beranjak dari peristirahatannya.
Saat kakiku hendak beranjak, tiba tiba……..
Blaarrr!
Dentuman guntur dan kilatan cahaya mengagetkanku. Aku menoleh, melirik kubah surya. Ia mengerang. Entah apa yang ia rasakan. Kubah surya sedang tak bersahabat. Aku merasa ada berita yang ingin ia katakan padaku. Jika memang iya, cepat katakan kubah surya, pikirku.
*****
“Alin….! Alin….! Cepat bangun, nak! Memangnya Kau tak ke sekolah? Ayo, cepat bangun!” Emak membangunkanku sambil mengetuk pintu kamarku berulang-ulang. Sebenarnya, tadi aku sudah bangun dan solat subuh. Namun mata ingin mengatup kembali. Tubuhpun terhempas kembali di pulau berkapuk. Berlanjut pada bunga yang menghiasi tidurku malam tadi.
“iya, Mak.” Jawabku lemas. “sebentar lagi” sambungku.
“Ya sudah. Sudah jam enam.” Lalu derap langkah kaki Emak menjauh dari kamarku, hingga telingaku tak lagi dapat menangkap suara derap langkah kaki malaikatku.
Mataku masih saja mengeriyip. Dengan tubuh terhuyung dan kaki terpincang, aku beranjak meninggalkan pulau berkapuk dan keluar kamar menuju kamar mandi. Segar rasanya saat air mengalir basahi wajah kusamku. Kuambil gagang berambut kaku dan pasta rasa mint di dekat kaca. Kugosokkan ke dalam mulut mungilku. Busa mulai bermunculan. Bertambah banyak. Kubuang busa itu bersama air yang kukumur-kumur. Air dalam gayung mulai tumpah basahi rambut ikal dan tubuh kurusku. Beri kesegaran hingga kelerung hati.
Tiga puluh menit kemudian sudah kukenakan seragam putih-biru. Buku-buku pelajaran kumasukkan dalam tas ransel. Sepatu hitam bergaris putih. Kaos kaki putih hitam. Dasi biru kukenakan. Menghadap kaca. Merapikan baju putih berkantung OSIS berwarna kuning. Menyisir rambut ikal hitam. Hmmm…. Sudah rapi dan siap berangkat. Ujarku dalam hati.
Kulangkahkan kaki keluar kamar, menuju dapur menemui Emak, malaikatku.
“Mak, Alin berangkat dulu, ya.” Sambil kuraih tangan Emak
“Sarapan dulu, Lin. Baru berangkat.” Suruh Emak.
“Iya, deh.” Jawabku.
Sarapan usai. Cepat-cepat kulangkahkan kaki menuju tempat Emak berdiri. Kucium tangan Emak. Ada yang aneh dengan tangan Emak. Terasa dingin sekali. Kubuang perasaan itu. Dengan cepat kuucap salam. Lalu berlari keluar rumah menuju sekolah.
*****
Dinginnya tangan Emak masih membayang di benakku. Bu Ara masih berdiri di depan kelas. Membuat goresan demi goresan di papan tulis, membentuk sebuah kata tanya. Kerjakan di rumah! Perintahnya. Iya, Buuu… Teman-teman menyahut serempak. Aku hanya diam. Kurasakan tepukan tangan di pundak kiri.
“Kau kenapa, Lin?” sebuah tanya meluncur di telingaku, mengacaukan semua pikiranku. “Kau sakit?” berondongnya.
Kutolehkan wajah ke arah sumber tanya. “Nggak kenapa-kenapa kok, Yan.” Jawabku.
“Aku tahu kau. Kita berteman sejak kecil. Bahkan kemana-kemana sering berdua. Saat kau seperti ini, Aku tahu kau sedang ada masalah.” Desaknya. “ceritakanlah, Lin” lanjutnya.
“Tadi saat Aku memegang tangan Emak untuk berpamitan ke sekolah, tangan Emak dingin sekali. Tak biasanya tangan Emak dingin. Selama inipun Aku tak pernah merasakan tangan Emak sedingin tadi pagi.”
“Emak sakit, Lin?”
“Aku tidak tahu, Yan. Emak nggak cerita apa-apa ke Aku. Aku takut Emak kenapa-kenapa.”
“Berdo’a saja tidak terjadi apa-apa dengan Emak. Sebentar lagikan pulang. Nanti kuantar dengan sepeda tuaku. Sekarang kita perhatikan Bu Ara menjelaskan pelajaran. Tadi ada so’al dan disuruh mengerjakan di rumah, sudah kamu tulis?”
“Belum”
“Ya, sudah. Nanti salinlah dari bukuku”
Teeng… Teeng… Teeng… Teeng… Teeng…
Bel pulang sekolah berbunyi. Aku bergegas pulang dengan cemas. Tyan tak jadi menemaniku. Karena dia baru ingat bahwa dia harus menjemput adiknya.
*****
Emak belum pulang. Biasanya Emak pulang saat senja akan tenggelam di ujung kubah. Aku melepas seragam sekolah. Menggantinya dengan baju bermain. Emak masih di pasar. Aku akan menemuinya.
Dengan cepat Aku berlari ke pasar. Atap-atap ruko pasar sudah terlihat. Lalu-lalang kendaraan pasarpun menambah padat pasar kecil itu. Emak pasti sedang dikerumuni orang-orang yang hendak berbelanja. Ini harganya berapa, Bu?. Kalau yang ini?. Satu kilo ya, Bu. Empat ikat saja. Lima ribu, Bu. Nggak empat ribu saja?. Ahhh…. Pasti ramai sekali di tempat Emak berjualan. Begitulah biasanya. Aku menemani Emak di pasar kalau hari libur sekolah. Jadi Aku tahu kesibukan Emak di pasar.
Nafasku tak beraturan. Aku berhenti sejenak di depan gang tempat Emak berjualan. Masuk ke gang. Sepi. Tempat Emak berjualan lengang. Emak tidak ada di sini. Emak di rumah juga tidak ada. Kemana Emak?
Itu Bi Sarni. Bi sarni tetangga kami, Ibunya Tyan. Dia pasti tahu Emak kemana.
“Bi Sarni!” seruku. Bi Sarni menoleh. “Bibi tahu Emak, nggak?”
“Tadi Emakmu bilang sedang sakit. Lalu bilang ingin pulang dan istirahat di rumah.” Jawabnya. “Memangnya Emakmu tidak ada di rumah?” Bi Sarni balik bertanya padaku.
“Tidak ada, Bi.”
“Mungkin dia ke apotek membeli obat. Pulanglah dulu. Kalau belum pulang, carilah ke apotek-apotek atau puskesmas.”
“Iya, Bi”
Aku meluncur ke rumah. Pintu masih tertutup. Kalu Emak di rumah tidak mungkin pintu tertutup. Benar dugaanku. Emak belum pulang. Aku putuskan untuk mencari Emak.
Puskesmas. Apotek-apotek. Rumah teman-teman Emak berjualan. Aku belum juga bertemu dengan Emak. Emak kemana? Alin khawatir. Alin takut, Mak.
Senja tak nampak lagi. Sepanjang hari tadi Aku mencari Emak bersama Tyan dan Bi Sarni, setelah Aku meminta mereka menemaniku. Tak juga bertemu.
*****
Aku berdiri di balkon kamar. Kulirik bintang-bintang di kubah surya. Mereka tetap terang. Tapi, bintang paling terang tak muncul lagi. Seperti kemarin malam. Hmmm…. Emak hilang. Tak seorangpun yang tahu dan memberi tahuku kemana Emak pergi. Bintang juga hilang. Entah pergi ke orbit yang mana. Tiba-tiba jarum gerimis berguguran. Mengusirku. Menyuruh masuk ke kamar. Kulempar tubuhku ke pulau berkapuk. Memandang langit-langit kamar. Kukatupkan mata. Dengan cepat akupun tertidur.
Esoknya aku terbangun. Meloncat. Turun menuju dapur. Emak belum juga pulang. Aku terduduk di pojok dapur. Termenung, tak bergerak.
Aku bergegas keluar rumah mencari Emak. Tapi sampai senja menutup muka dan bintang-bintang muncul. Larut malam, Emak tak juga pulang.
Aku kembali terjaga. Kembali termenung. Mencari Emak. Menanti kepulangan Emak. Berulang sepanjang satu minggu ini. Emak tak pulang-pulang. Aku tak berhenti mencari dan menunggu. Orang-orangpun tak dapat menemukan Emak.
Entah kapan malaikatku akan pulang. Menemaniku melukis hidup. Kini malaikatku hilang entah kemana. Tiba-tiba bintang jatuh di atas balkon kamar. Akupun teringat massa kecil. Ketika ada bintang jatuh aku selalu mengucapakan permintaan dalam hati dan permintaankupun terkabul. Kali ini akupun kakn meminta agar Emak pulang.
“Tuhan, Aku tak tahu kemana hilangnya Emak. Aku mohon kembalikan Emak padaku.”
Ya. Itu saja permintaanku saat ini.

disadur dari http://www.jendelasastra.com/karya/prosa/hilangnya-malaikatku

Selasa, 30 Oktober 2012

Resi Bisma ketemu Raditya Dika

Unknown | Selasa, Oktober 30, 2012 | Be the first to comment!

“ayo mbah kita meraga sukma[1]”, ajak Antasena kepada Resi Bisma Dewabrata, sambil mendekati Bisma yang sedang duduk bersila.
“emang aku bisa ngger?”, Tanya Bisma penuh wibawa.
 “bisa mbah”.
Antasena mulai duduk bersila disamping Bisma yang sedari tadi telah dalam bersila. Dipegangnya tangan Bisma, Dan.
Resi Bisma Dewabrata adalah tokoh pewayangan yang begitu sakti, ia adalah anak dari seorang bangsa dewa bernama Dewi Jahnawi dan ayah seorang Raja bernama Prabu Sentanu. Kepriabadiannya yang begitu rendah hati, serta tegas menjadikannya sangat disegani di dunia pewayangan khususnya di negeri tercintanya yakni negeri hastinapura.
Sedang Antasena merupakan cucu dari Bisma, bukan cucu sedarah. Karena Bisma memilih untuk tidak menikah sepanjang hayatnya dan tidak pula mengambil tahta sebagai raja dari negeri hastinapura.

Sabtu, 07 Juli 2012

Merindukan Masa Bersurat-suratan

Unknown | Sabtu, Juli 07, 2012 | Be the first to comment!

Malam ini saya ingin berkirim surat. Ingin sekali. Tetapi kemana alamat surat itu saya tuju saya tidak tahu. Bila ada yang membaca surat ini, anggaplah ia sebagai pelipur lara, sebagai teman di kala sepi bila lagi sendiri. Semoga, kedatangan surat ini, dapat menjadi obat hati.
Ah, maafkanlah saya bila ada rasa cemburu ketika saya membaca surat-surat sahabat yang ditulis dan dikirim ke dinding grup FAM Indonesia. Saya baca semua surat itu, saya resapi dalam-dalam setiap diksi dan kalimatnya, tak ingin saya kehilangan kata sebaris pun. Membaca surat-surat itu, terkenanglah saya pada masa-masa paling indah dalam hidup saya, sekira 17 tahun lalu, ketika masa bersurat-suratan itu masih ada. Ketika setiap hari, siang hingga petang, saya nanti-nanti dengan penuh harap kedatangan pak pos mengantarkan sepucuk surat dari seorang sahabat di pulau seberang sana.

Minggu, 25 Maret 2012

kutitipkan dia untuk mu

Unknown | Minggu, Maret 25, 2012 | | 2 Comments so far

 ini adalah cerpen pertama ku, yang dibuat karena kekeselan hati terhadap keadaan yang sepertinya kurang memihak padaku. maklum saja jika ceritanya agak terkesan maksa, dan kurang pas dengan keadaan yang sebenarnya. Tapi bagaimana pun juga, cerpen ini adalah batu loncatan ku. Tanpa cerpen ini tak kan ada uraian dari cerita-cerita ku yang lain. Gak usah lama-lama lagi, silahkan di baca  :)
Tiba-tiba aku terbangun ketika mendengar hp-ku yang tiba-tiba berbunyi. Dengan mata yang masih terasa kantuk, aku kemudian mencari di mana hp-ku berada. Dengan cepat aku membaca sms yang masuk itu. Dan hal yang paling pertama aku lihat adalah pengirim yang berada paling atas layar hp-ku. ”Ternyata dia,” dalam hati aku bergumam, aku pun tersenyum sambil terus membaca apa yang diucapnya lewat sms.
Memang hal itu bukanlah hal pertama yang kualami, karena dia kerap sms padaku mengenai apa saja. Dan aku pun berkomentar panjang lebar mengenai masalahnya. Tidak pernah aku merasa canggung atau malu-malu, ketika dia bercerita tentang masalahnya.
Aku juga tidak terlalu ambil pusing dengan hal ini. Aku merasa dia hanya teman yang memang aku kagumi, tapi tidak pernah terbesit untuk memilikinya. Tanpa sadar aku telah banyak tahu tentang dirinya. Mulai dari masalah yang kecil hingga masalah besar, mulai dari keluarganya, hingga saudara-saudaranya, aku telah mengenal.

Rabu, 07 Maret 2012

anak semata wayang

Unknown | Rabu, Maret 07, 2012 | Be the first to comment!

Beberapa tahun setelah peristiwa tersebut Sammun memutuskan untuk menunaikan perintah tuhannya. Yakni menikah, ia merasa ia telah pantas untuk menikah dan menjalin rumah layaknya makhluk tuhannya yang lain. Terlebih ia telah menemukan jodohnya.
Beberapa bulan setelah menikah, ia menjadi begitu dekat dengan sang pencipta melebihi ketika ia masih malajang. Hingga tak telak, istrinya menjdi tidak betah dengan sikap yang ditunjukan Sammun kepada dirinya. Ia menjadi kesal dan marah terhadap Sammun. Namun, Sammun tak menghiraukannya. 

lampion-lampion menari

Unknown | Rabu, Maret 07, 2012 | Be the first to comment!

Sammun, adalah seorang pemuda alim yang berperawakan tampan namun pendiam. Sehari-hari ia hanya menghabiskan waktunya di surau depan rumahnya. Kala waktu sholat telah tiba ia pun pergi ke surau depan rumahnya untuk adzan seraya memanggil orang-orang untuk datang dan sholat berjamaah. Ia belum menikah dan tak memiliki siapa-siapa di desa itu, ia hanyalah sebatangkara yang hidup di balik bilik bambu yang telah usang dimakan waktu.  

Sabtu, 25 Februari 2012

Pengalaman Berempat

Unknown | Sabtu, Februari 25, 2012 | Be the first to comment!


                “Krrrrriiiiiiiiiiiiiing”, bel pertanda jam pelajaran usai pun telah berbunyi. Semua siswa mulai memasukan segala perlengkapan sekolah masing-masing. Guru pun meminta ketua kelas untuk menyiapkan kelas sebelum siswa beranjak meninggalkan kelas.
                Setelah kelas disiapkan, satu persatu siswa pun mulai keluar kelas. Dari kelas lain pun tampak mulai kelauar kelas mereka dan segera menuju ke tempat parkir motor. Memang mayoritas siswa dari sekolah ini adalah siswa dengan kemampuan ekonomi menangah ke atas hingga tak heran banyak motor yang berbaris rapih dipelataran sekoalah.
                Hari tampak mendung dan sepertinya akan segera turun hujan. Tapi teman-teman kelas ku ini hendak menjenguk salah satu teman yang sedang sakit. Diantara mereka ada yang setuju ada pula yang tidak, dan saya adalah salah satu orang dari pihak yang tidak setuju. Saya beralasan bahwa cuaca lagi kurang bagus dan juga mungkin dirumahnya juga sedang turun hujan. Diantara mereka pun ada yang tidak setuju dengan pendapat saya. Hingga hujan mulai turun satu persatu dari langit. Walau memang dugaanku tepat tapi mereka masih bersikukuh untuk pergi menjenguknya.
                Akhirnya saya pun mengikuti apa yang menjadi keinginan mereka yang mayoritas. Dalam hati saya sebelum berangkat masih ada sesuatu yang terganjal dalam hati ini. Walau hujan telah berangsur-angsur berhenti. Aku pun bersiap-siap dengan teman yang lain dan mengambil motor diparkiran. 

Minggu, 18 Desember 2011

buroq

Unknown | Minggu, Desember 18, 2011 | Be the first to comment!
Karya: Ratih Kumala

Tak ada yang lebih aneh dari pada terbangun pada sebuah sore gerimis di bulan suci dan mendapati dirinya penuh mengingat mimpi yang baru saja turun dalam lelap satu menit lalu; ia seorang bejat yang tak pernah salat- bermimpi bertemu Muhammad. Bagaimana bisa?

Inilah yang dikerjakannya setiap hari, bangun menjelang siang setelah malamnya menghabiskan berbotol-botol bir bersama teman-teman di depan kios tattonya. Tidak ada yang pernah benar-benar tahu siapa nama aselinya. Semua orang memanggilnya Cimeng, tentu itu bukan nama aslinya. Kulitnya gelap dan dia menggambarinya dengan tatto berwarna-warni. Dia menyebutnya seni, teman-temannya menyebutnya keren, anak-anak ABG menyebutnya anak punk, sedang tetangga-tetangga yang sudah pasti tidak menyukai kios tattonya menyebutnya berandal.

Pencerita mimpi siang itu sangat baik pada dirinya. Tentu saja ia heran, dirinya yang selama ini menganggap dunia brengsek maka dia harus menjadi seorang brengsek pula, tiba-tiba menjadi orang terpilih yang bertemu Muhammad dalam mimpinya. Ia tak tahu apa artinya, tapi mimpi itu sangat jelas. Hanya ada satu yang tidak jelas; wajah Muhammad.

Bagian 6 Pelangi Cinta (Mutiara Pesisir Meukek)

Unknown | Minggu, Desember 18, 2011 | Be the first to comment!
Karya : Anik Kusmiatun
          Cinta adalah anugerah. Cinta adalah fitrah manusia. Gelora cinta di masa muda seperti api yang menyala-nyala. Panas dan penuh rahasia. Rasa cinta terasa indah bila tumbuh dari lubuk hati yang paling dalam. Jika dua insan hatinya telah bertemu, dunia terasa milik berdua.
          Sungguh malang nasibku hidup dalam tembok penjara suci. Peraturan asrama dan sekolah melarang kami berpacaran. Di sisi lain, ada yang mengatakan bahwa cinta tumbuh karena biasa. Kehidupan sehari-hari di sekolah dan asrama hanya bertemu dengan teman-teman itu saja. Sangat wajar jika cinta tumbuh di kalangan orang-orang dalam.
          Semalam Bang Rafli dan Kak Lina dipanggil ibu asrama. Mereka mengaku tidak ada hubungan spesial di antara mereka. Namun laporan dari guru-guru dan teman-teman sekelasnya mengatakan bahwa mereka ada hubungan khusus. Akan tetapi hubungan itu adalah hubungan tanpa status. Bu Dita sebagai ibu asrama pun sudah lama mengetahui keberadaan pasangan muda ini. Karena demi menegakkan peraturan asrama, beliau menyidang mereka berdua.
          Sebenarnya masih banyak pasangan-pasangan yang tidak tampak di permukaan. Biasanya mereka janjian bertemu jalan berdua ketika hari minggu. Saat libur kami diberi kesempatan untuk keluar dari asrama. Kami mendapat kesempatan keluar dari ba’da Dhuhur sampai pukul 17.00. Tempat favorit para pasangan itu adalah di warung mie so.
          Siang ini kami para lajang tidak keluar asrama. Aku, Bang Ghafur, Fadhil sedang duduk di belakang rumah idaman sambil menikmati hamparan laut biru. Kami termenung meratapi kesendirian.
Sebenarnya banyak yang suka sama Fadhil. Mukanya lumayan keren, mirip keturunan arab campur aceh. Kulitnya lumayan bersih. Hidung mancung, rambut ikal, badan tinggi tegap berisi.
          “Dhil, kenapa kamu nggak terima Riana saja?” tanya Bang Ghafur.
          “Banyak yang ngefans kamu tinggal pilih saja.”
          Fadhil tersenyum, “Nggak ada yang menarik buatku. Mendingan Bu Wiga.”
          “Apa? Kamu suka sama Bu Wiga? Nggak salah, Dhil?”
          “Memangnya kenapa? Bu Wiga juga masih muda, cantik lagi.”
          “Beliau kan lebih tua dari kamu, Dhil.”
          “Khadidjah dan Nabi Muhammad selisih usianya juga jauh.”
          Aku dan Bang Ghafur tidak bisa menahan tawa. Kisah cinta terlarang murid dengan guru. Pantas saja Fadhil semangat sekali saat mengikuti pelajaran kimia. Bahkan demi mendapatkan perhatian Bu Wiga, kadang-kadang Fadhil pura-pura tidak memperhatikan supaya Bu Wiga mendekatinya.
          Sampai kelas XII, Bang Ghafur belum pernah dekat dengan salah seorang siswa putri. Alasannya dia selalu grogi jika berhadapan dengan perempuan. Satu-satunya perempuan yang cukup dekat dengan Bang Ghafur adalah Bu Indah, guru kimia juga seperti Bu Wiga.
Kebanyakan guru-guru di sekolah kami masih berstatus lajang. Apalagi guru-guru kontrak yang didatangkan dari Jawa masih muda-muda dan lajang semua. Ada Pak Edi, Pak Hadi, Pak Hilal, Bu Indah, Bu Ika, Bu Wiga dan Bu Ani. Guru dari Jawa yang sudah berkeluarga hanya Pak Agus.
Beberapa pasangan kelas XI dan XII awalnya hanya taruhan dan akhirnya berlanjut sampai sekarang. Berkali-kali bapak dan ibu asrama mengingatkan bahwa peraturan di sekolah ini tidak diperbolehkan pacaran.
Bagaimana pun juga darah muda para remaja tak bisa dicegah. Meskipun di dalam lingkup asrama tidak berduaan, setelah keluar ada yang sering janjian saat libur tiba. Sungguh aneh tapi nyata.
“Ja, kamu nggak tertarik dengan adik-adik kelas kita yang cantik-cantik itu? Kulihat sepertinya kamu lumayan dekat dengan gadis Labuhan Haji itu?” goda Bang Ghafur.
“Gadis yang mana, Bang? Intan Purnama Putri? Ah…nggak banget.”
“Bukan, anak kelas X itu lho… Resva Diany. Aku pernah melihatmu boncengan waktu hari minggu keluar asrama.”
“Alah…Bang Ghafur salah lihat mungkin.”
“Mataku tidak salah melihat.”
Fadhil senyum-senyum sendiri. Hanya dia yang tahu tentang hubunganku dengan Resva. Perasaan cinta itu muncul berawal dari taruhan ulangan matematika. Kalau nilai Fadhil lebih rendah dariku, dia harus berpura-pura menyatakan cinta pada Finny, anak kelas X juga. Sebaliknya jika nilaiku lebih rendah dari Fadhil, aku harus bisa merebut hati gadis imut itu, Resva. Hasil ulangan matematika dibagikan, nilaiku di bawah Fadhil. Aku harus membayar hutangku pada Fadhil. Gadis asli Labuhan Haji itu berparas cantik dan imut. Kulitnya putih, hidung mancung, matanya bening, sejuk dipandang mata. Selain itu, dia juga pintar. Semester kemarin dia mendapat peringkat dua.
Aku masih ingat betul betapa groginya aku saat pertama kali berhadapan dengan Resva. Waktu itu kami sama-sama mengikuti bimbingan intensif tim LCC UUD di halaman rumah idaman. Selesai bimbingan, aku janjian dengan Resva di belakang rumah idaman.
Aku duduk di batu yang jaraknya sekitar 2 meter dari Resva. Lama sekali aku berpikir untuk merangkai kata-kata yang puitis. Lidahku kelu. Kalimat itu sulit sekali keluar dari tenggorokanku.
“Ehm…Va, abang mau menyampaikan sesuatu.”
“Iya, ada apa Bang?”
“Sebelumnya aku minta maaf, kamu mau tidak jadi temanku?”
“Bukannya kita sudah berteman sejak dulu? Kita kan satu tim untuk lomba besok? Memangnya ada yang salah dengan Resva selama ini, Bang?”
“Oh, tidak.” Pikiranku bingung. Bagaimana caranya menyampaikan kata-kata itu. Keringat dinginku mulai membanjiri sekujur tubuhku. “Begini Va, maksudku mau nggak kamu jadi teman dekatku?”
Sesaat kulirik Resva yang tertunduk malu. Mukanya yang putih seketika berubah memerah. Lebih tepatnya merah jambu. Dia tidak langsung menjawab. Mungkin dia kaget mendengar kalimat yang baru saja kusampaikan padanya.
“Kalau memang Resva baik untuk Bang Oja begitu juga sebaliknya, Resva terima permintaan Abang.”
Aku lega sudah bisa mengutarakan kalimat-kalimat itu. Aku bukan tipe orang yang romantis. Tidak ada kata-kata puitis yang keluar dari lidahku. Hutangku dengan Fadhil sudah lunas.
Awalnya aku berpikir bahwa kalau aku tidak melanjutkan hubungan itu, aku akan melukai perasaan Resva. Daripada nanti dia sedih dan prestasinya menurun, kulanjutkan saja hubungan ini. Sebisa mungkin aku merahasiakan cinta terlarang ini. Pasalnya, kalau sampai bapak asrama tahu hubunganku dengan Resva, aku bisa mendapatkan konsekuensi.
Guru yang cukup dekat denganku adalah Pak Hadi. Beliau sudah kuanggap seperti abangku sendiri. Setiap ada masalah tentang perempuan, aku selalu konsultasi dengan beliau. Pak Hadi pernah punya pengalaman ditolak inong Aceh. Sakit rasanya ditolak gadis pujaan hati. Itulah sebabnya aku juga tidak ingin melukai perasaan Resva.
***
Sepandai-pandainya kita menyimpan bangkai, pasti tercium juga. Kakak-kakak kelas XII sudah tahu kalau Resva dekat denganku. Meskipun kami jarang terlihat duduk berdua di lingkungan sekolah, komunikasi kami lumayan intensif. Setiap hari kami bertemu di sekolah. Resva sering menulis surat untukku. Salah satu isi suratnya yang diberikan padaku saat aku sakit seperti ini :
Assalamu’alaikum,
Bang, maafkan adik yang tidak bisa merawat saat Abang sakit.
Abang harus tetap sabar karena sakit adalah cobaan dari Yang Kuasa.
Semoga lekas sembuh ya, Bang.…
Selang tiga hari aku sudah sembuh. Ketika jam istirahat kami bertemu di kantin. Kulihat hari demi hari dia semakin terlihat dewasa. Berbeda dengan teman-temannya yang masih kekanak-kanakan. Kubalas senyumnya dengan senyuman pula. Kami tidak banyak bicara ketika di depan umum.
Hari minggu tiba, aku mengajaknya makan di warung mie so. Dia senang sekali sambil cerita-cerita tentang rencana masa depannya. Dia tahu kalau aku besok setelah lulus SMA ingin melanjutkan ke STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) mengambil bidang perpajakan. Dia menyatakan mau jika suatu saat nanti aku tamat dari STAN dan ditugaskan di mana pun, dia akan mengikuti kemana aku pergi. Cintanya padaku begitu tulus. Pikirannya sudah sampai jauh menerawang masa depan. Jujur saja, aku belum tahu apakah dia betul-betul jodohku atau tidak. Aku takut kalau dia bukan jodohku, apakah dia akan merasa kecewa di kemudian hari? Entahlah….
***
Berita kedekatan kami tersebar luas di kalangan semua siswa. Ternyata bapak dan ibu asrama juga sudah tahu. Malam ini kami berdua dipanggil untuk menghadap Ustadz Bustanul dan Bu Dita. Karena mendadak Ustadz Bustanul ada undangan ceramah di luar, maka Bu Dita yang menangani.
Kami dipaksa untuk jujur mengakui bahwa di antara aku dan Resva ada hubungan khusus. Karena sudah terdesak, akhirnya aku mengatakan semuanya dengan jujur. Termasuk latar belakang aku menyatakan cinta kepada Resva. Semua berawal dari taruhan ulangan matematikaku dengan Fadhil.
Aku duduk di sebelah Resva menghadap Bu Dita. Di ruangan itu hanya ada aku, Resva dan Bu Dita. Kesempatan kedua Resva diminta mengatakan hal yang sebenarnya pada Bu Dita. Belum sampai Bu Dita selesai bicara, Resva sudah menangis. Lama-lama tangisnya semakin manjadi.
Bu Dita merengkuh tubuh Resva dan memeluknya. “Sudah, jangan menangis…Ibu senang kalian mau jujur di hadapan ibu.”
Tangisan Resva semakin kuat. Aku iba melihatnya. Mungkin ada kata-kataku yang salah sehingga menyinggung perasaan Resva. Urusan pribadiku dengan Resva tidak mungkin kuselesaikan di depan Bu Dita.
“Oja, kamu janji tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi ya.” Kata Bu Dita tegas.
“Iya, Bu. Saya juga minta maaf.”
Malam penyidangan berakhir mengharukan. Aku kembali ke asrama putra dan Resva bersama Bu Dita kembali ke asrama putri. “Semua ini gara-gara Fadhil !!!” batinku kesal.
Lewat jam sebelas malam teman-teman sekamarku sudah terlelap. Aku langsung merebahkan diri di atas kasur. Sedih sekali rasanya melihat Resva yang menangis karena aku. Kalau dipikir, aku juga salah. Perasaanku selama ini berawal dari keterpaksaan membayar hutangku pada Fadhil. Akan tetapi Resva menanggapinya serius. Cinta memang buta.
***
Keesokan paginya, waktu sarapan pagi kulihat mata Resva masih sembab. Wajahnya yang ceria berubah total dipenuhi kabut duka lara. Dia terlihat tidak berselera makan.
Semalam sudah kutulis sepucuk surat untuknya. Aku belum berani memberikannya langsung padanya. Karena Bu Ani juga tahu hubunganku dengan Resva, maka kutitipkan saja surat itu pada Bu Ani yang mau mengajar di kelas X pada jam pertama.
“Maaf, Bu. Saya mau minta tolong sampaikan surat ini ke kelas X.”
“Surat ijin siapa yang sakit?”
“Bukan surat ijin sakit, Bu. Mau minta tolong titip surat saya untuk Resva. Saya sudah bersalah dengannya, Bu.”
“Oh…iya nanti saya sampaikan ke Resva.”
“Terima kasih, Bu.”
Perasaanku sedikit lega. Kira-kira apakah Resva masih mau berteman denganku atau tidak ya?
Sejak jam istirahat pertama Resva ijin pulang ke asrama karena pusing dan badannya panas. Finny mengantarkan Resva istirahat di kamarnya. Dia segera membuka surat yang diberikan Bu Ani.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Sudah fitrah manusia memiliki rasa cinta pada lawan jenis. Cinta akan bersatu jika ada kehendak Allah yang menakdirkannya untuk bersatu. Cinta bertepuk sebelah tangan memang terasa begitu menyakitkan.
Abang yakin, ketika membaca surat ini, adik masih marah dengan abang. Kejadian semalam menjadi pelajaran kita bersama. Abang betul-betul minta maaf dari lubuk hati yang paling dalam. Bukan maksud abang ingin mempermainkan perasaan adik tetapi mungkin Allah belum menakdirkan kita untuk bertemu. Terima kasih atas cinta tulus yang adik berikan selama ini. Abang mengaku salah belum bisa membalas cinta adik dengan perasaan yang sama seperti apa yang adik berikan kepada abang. Sekali lagi abang minta maaf yang sebesar-besarnya.
Abang hanya manusia biasa yang masih banyak kekurangan. Abang selalu mendoakan adik, semoga kelak ada pangeran yang jauh lebih mulia dan pantas bersanding dengan adik.
Sekarang kita masih SMA. Masa depan kita masih panjang. Alangkah lebih baik jika masa-masa ini kita gunakan untuk sebanyak mungkin mengukir prestasi. Abang berharap adik tidak sedih lagi. Abang tahu kalau luka di hati sulit untuk disembuhkan. Hanya dokter cinta-lah yang bisa mengobatinya.
Suatu hari adik pernah berkata kepada abang :
Love is not loving the perfect person. It’s about loving an IMPERFECT PERSON PERFECTLY.
Sesungguhnya ada Dzat Yang Maha Sempurna yang lebih utama untuk kita cintai. Teruslah semangat belajar, hadapi semua cobaan dengan hati yang lapang, semoga masa depan adik semakin cemerlang.
Permintaan terakhir dari abang, maafkanlah abangmu ini yang banyak salah dan khilaf… semoga kita masih tetap bisa berteman seperti biasanya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
                                                                             Oja
Air mata Resva membasahi pipi. Dia menangis tersedu-sedu. Tembok putih kamar menjadi saksi bisu atas permintaan maafku yang tulus.

Kamis, 15 Desember 2011

Bagian 5 Kesaktian dalam Kesempitan (Mutiara pesisir Meukek)

Unknown | Kamis, Desember 15, 2011 | Be the first to comment!
Karya : Anik Kusmiatun
         Tahun ini sekolahku mendapat amanah mewakili Kabupaten Aceh Selatan dalam lomba cerdas cermat UUD 1945 ke Banda Aceh. Satu tim yang akan diikutkan dalam lomba tersebut ada 14 siswa termasuk siswa yang dijadikan sebagai cadangan. Aku masuk dalam anggota tim inti. Setiap hari tim kami belajar materi lomba sesuai dengan petunjuk lomba yang sudah diberikan oleh Dinas Pendidikan. Lomba itu akan dilaksanakan satu bulan lagi. Bimbingan intensif dengan guru pembimbing dilakukan dua kali dalam seminggu.
          Setiap anggota tim mendapatkan tugas belajar yang bebeda-beda. Aku mendapat bagian menghafal dan memahami tentang TAP MPR. Banyak sekali hafalan yang harus aku kuasai. Belum lagi hafalan Al Quran yang masih jalan di tempat. Seharusnya semester ini aku sudah harus mulai hafalan Al Quran juz 29. Namun juz 30 belum selesai. Ada juga beberapa surat yang kuhafal sebagian, sedangkan selebihnya masih kosong. Setiap pulang ke rumah juga sering ditanya ayah sampai juz berapa hafalanku.
          Selain menyiapkan lomba cerdas cermat UUD 1945, aku juga masuk tim inti yang akan menjadi wakil dalam olimpiade fisika. Kepastian jadwal olimpiade sains ini belum jelas. Tahun lalu aku juga ikut olimpiade fisika. Seleksi tingkat kabupaten aku sudah kalah. Targetku tahun ini minimal aku harus sampai ke propinsi. Lebih senang lagi kalau bisa sampai ke tingkat nasional. Menyenangkan rasanya jika tahun ini aku bisa ke nasional. Aku akan bertemu dengan para juara fisika di ajang olimpiade sains nasional. Tahun ini yang akan menjadi tuan rumah adalah Manado. Aku sendiri belum pernah sampai sana. Kota besar yang baru kukunjungi baru Banda Aceh dan Medan.
          Satu tim LCC UUD 1945 terdiri dari sepuluh siswa kelas XI dan empat siswa kelas X. Pak Jaspiandi selaku guru PKn ditunjuk sebagai guru pembimbing. Beliau selalu memotivasi kami untuk giat belajar. Pesan beliau, “Meskipun lomba dijadwalkan satu bulan lagi, anggaplah lomba itu akan diadakan besok pagi. Jadi setiap hari harus selalu siap dan senantiasa belajar.”
          Persiapan lomba cukup menyita banyak waktu belajarku. Apalagi kebijakan sekolah sekarang untuk belajar malam dibuat belajar mandiri. Meskipun tempatnya sama di kelas dan ada guru pendamping, kami diberikan kebebasan untuk belajar mandiri. Guru pendamping hanya mengontrol saja. Sebenarnya aku lebih suka program tahun lalu yang mana setiap malam masih ada kelas malam dan jadwal pelajarannya cukup jelas. Kegiatan belajar mandiri tidak berjalan efektif. Kadang-kadang di kelas tidak belajar justru ramai ngobrol dengan teman-teman. Sejak saat itu semangat belajarku mulai turun.
***
          Aku lebih suka belajar formal di kelas ada gurunya atau belajar sendiri di tempat yang tenang. Belajar dalam keadaan kelas yang sangat bising, tidak ada pelajaran yang bisa kupahami. Solusinya, setiap jam belajar mandiri di kelas aku tidur di pojokan kelas atau sempat juga berbohong kepada guru pendamping kalau aku sakit. Dengan alasan itu aku akan diijinkan pulang ke asrama. Guru yang paling sering memberikan ijin adalah Pak Hadi. Sedangkan guru yang sulit dibohongi adalah Bu Ani.
          Beberapa hari ini jadwal belajarku banyak yang kuganti. Sepulang belajar mandiri malam hari, aku langsung tidur di asrama. Tengah malam sekitar pukul 02.00 aku bangun dan belajar sendiri sampai adzan subuh berkumandang. Itulah sebabnya sekarang aku jarang terlambat berjamaah subuh. Dampaknya ada yang baik dan ada juga yang buruk. Dampak positifnya aku bisa belajar lebih tenang di malam hari dan mudah memahami apa yang kupelajari. Dampak negatifnya aku sering mengantuk bahkan tidur di kelas.
          Hari ini semua guru yang mengajar di kelas marah padaku gara-gara aku kurang memperhatikan dan di jam terakhir pelajaran biologi aku tidur. Sudah sering aku membuat masalah dengan guru yang satu ini. Akhirnya biar aku bangun, Bu Ani menyuruhku berwudhu kemudian lari keliling lapangan 2x di bawah terik matahari yang panas.
          “Sudah hilang ngantuknya, Oja?”
          “Sudah, Bu.”
          “Silahkan masuk kelas lagi. Nanti sore setelah sholat Ashar temui saya di depan perpustakaan.”
          “Untuk apa Bu?”
          “Ada hal penting yang ingin saya tanyakan. Tunggu saja nanti sore.”
          “Iya Bu.”
          Menurut dugaanku, pasti Bu Ani akan memberikan hukuman yang lebih berat. Kemarin Fadhil juga berhadapan empat mata dengan beliau. Tapi Fadhil tidak bercerita apa-apa. Aku yakin pasti ada hubungannya dengan kelakuanku selama ini.
          Selepas Ashar aku menunggu Bu Ani di depan perpustakaan. Shara lewat di depanku. “Shara, tolong sampaikan Bu Ani di asrama kalau aku sudah di depan perpustakaan.”
          “Kasihan sekali, dapat hukuman apalagi kamu?”
          Aku hanya tersenyum. Tidak lama kemudian kulihat Bu Ani berjalan menyusuri depan asrama menuju ke perpustakaan. Aura beliau sedikit berbeda daripada tadi siang. Justru sekarang terlihat lebih menakutkan.
          Bu Ani duduk di selasar depan perpustakaan. Aku duduk di hadapan beliau. Aku tidak berani mengangkat muka. Sepertinya pengadilan sore ini akan jauh lebih berat dibandingkan tadi siang.
          “Kamu kenapa menunduk, takut dengan saya?”
          “Tidak, Bu.” Aku mendongak sedikit.
          Bu Ani tersenyum simpul, “Tidak usah takut karena saya juga tidak akan memakan kamu. Saya hanya ingin tahu kondisi kamu yang sebenarnya.”
          “Maksudnya apa Bu?”
          “Saya lihat semangat belajarmu di kelas X jauh lebih tinggi dibandingkan sekarang. Kamu sebenarnya cerdas. Buktinya kamu masuk di tim inti LCC UUD dan olimpiade fisika. Ada masalah dengan belajarmu? Atau kamu sedang ada masalah dengan teman-temanmu sehingga semangat belajarmu turun?”
          “Tidak ada apa-apa Bu.”
          “Ah, yang bener? Saya sebagai guru tahu jika ada siswa yang punya masalah dengan belajarnya. Mungkin ada yang bisa saya bantu? Saya juga mengamati saat kamu belajar di kelas saya. Sudah lima kali berturut-turut kamu tidur di kelas. Nilai ulanganmu agak menurun. Jika kamu mau, saya bisa membantu belajar khususnya di pelajaran saya.”
          Prasangka burukku tenyata salah besar. Aku mengira Bu Ani akan memarahiku habis-habisan. Ternyata beliau ingin membantuku mengatasi masalah yang kuhadapi sekarang.
          Aku memberanikan diri menceritakan kondisiku yang sebenarnya. “Jujur saja ya Bu, saya bingung mengatur waktu. Saya harus belajar LCC UUD, olimpiade fisika, belum lagi belajar di kelas malam sekarang kurang kondusif lagi. Saya kurang bisa konsentrasi jika belajar malam di kelas yang sangat ramai. Belum lagi tugas saya di OSIS juga belum bisa maksimal. Rencananya saya ingin keluar dari OSIS saja Bu. Saya merasa berat dengan beban yang harus saya jalankan semuanya.”
          “Ja, semua itu adalah amanah. Tidak mungkin Allah memberikan amanah itu di luar batas kemampuanmu.”
          “Saya merasa keberatan Bu.”
          “Kamu pasti bisa. Tanamkan dalam benakmu bahwa kamu mampu menjalankan semua amanah itu.”
          “Tapi susah bagi waktu, Bu.”
          “Pertama, jangan kamu anggap semua itu sebagai beban. Kalau kamu masih menganggapnya sebagai beban, maka selamanya akan terasa berat. Selesaikan pekerjaan itu satu per satu dan buatlah perencanaan yang matang.”
          “Saya tidak bisa, Bu.”
          “Dicoba dulu, jangan menyerah sebelum berjuang.”
          Memang benar apa yang disampaikan Bu Ani. Selama ini aku kurang bisa mengatur waktu yang kumiliki. Setiap orang punya jatah waktu yang sama sehari semalam ada 24 jam. Bedanya, ada orang yang mampu melakukan banyak hal dan ada juga yang sedikit. Padahal jatah waktunya sama. Berarti tinggal pandai-pandainya mengatur waktu.
          “Saya akan mencobanya, Bu.”
          “Oiya, kamu wajib bimbingan intensif biologi agar kamu tidak tertinggal dibandingkan teman-temanmu.”
          “Hah ??? seminggu sekali ya Bu?”
          “Iya.”
          “Akan saya usahakan, Bu.”
          “Harus konkrit. Kapan dan tempatnya mau di mana?”
          “Setiap Selasa sore di sekitar rumah idaman saja Bu. Mulai minggu depan kan Bu? Hari selasa Ibu bisa tidak?”
          “Bisa. Bimbingan ini hanya untuk mengejar beberapa materi yang kamu belum tuntas. Sebelum bimbingan, kamu harus membaca materi itu terlebih dahulu.”
          “Iya, Bu.”
          “Berhubung sudah sore, cukup sampai di sini dulu.”
          Semangat belajarku mulai bersemi kembali. Nanti malam aku akan menyusun jadwal harian. Dengan jadwal itu aku akan lebih terarah untuk melakukan apa saja dalam satu hari. Pak Agus juga pernah menyampaikan hal yang sama. Karena tidak pernah kuterapkan, akhirnya aku lupa.
          Agenda harianku sudah selesai kususun tinggal menjalankan saja. Pesan Bu Ani, aku harus memulai dari hal-hal yang kecil. Komitmen mematuhi jadwal yang sudah kususun harus tetap kupegang. Awal-awal terasa berat karena aku belum terbiasa.
          Selama dua minggu masih berjalan lancar. Lama-lama aku bosan. Program menyusun agenda harianku gagal. Aku tidak pernah membuat lagi. Pikiranku kembali terbebani dengan LCC UUD, olimpiade, OSIS, kelas. Sekarang kondisiku lebih parah. Aku seperti orang yang kehilangan jati diri. Mau belajar apa saja seakan-akan tidak ada gairah sama sekali.
          Aku duduk termangu di depan ruang koperasi siswa. Wajahku lebih kusut. Tingkah lakuku semakin tidak karuan. Bisa dikatakan aku mengalami stress level lanjut. Aku sering melanggar peraturan tidak makan pagi. Subuh sering masbuk. Hafalan Al Quran tidak bertambah justru sedikit demi sedikit ada yang luntur. Belajar tengah malam tidak pernah kulakukan lagi.
          Sepulang dari kantor, Bu Ani lewat di depanku. “Kamu kenapa kok kusut sekali? Sepertinya ada beban berat di pikiranmu.”
          “Tidak ada, Bu.” Aku berusaha tersenyum.
          “Agenda harianmu masih berjalan tidak?”
          Aku menggeleng tanpa mengucapkan satu kalimat.
          “Kamu tahu sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia?”
          “Iya Bu, kisah itu pernah diceritakan oleh Pak Zarman.”
          “Kamu juga ingat kisah Nabi Muhammad yang diusir dari kota Mekah?”
          “Iya, Bu.”
          “Masih banyak kisah-kisah lain yang bisa kita ambil hikmahnya. Kisah tersebut memberikan gambaran kepada kita tentang kondisi yang sangat sempit. Artinya, keadaan yang tidak enak, berat, penuh cobaan.”
          “Sekarang saya juga sedang menghadapi cobaan, Bu.”
          “Tepat sekali. Kalau belajar dari sejarah bangsa kita dan para pejuang Islam zaman Rasulullah, dalam kesempitan mereka tidak menyerah begitu saja. Justru kalau boleh saya katakana bahwa mereka bisa memiliki kesaktian dalam kesempitan. Kuncinya adalah diri kita sendiri yang harus berusaha berpikir jernih. Masih ingat amanat Pak Agus di upacara bendera hari Senin kemarin?”
          “Masih ingat, Bu. Mulailah dari hal yang kecil, mulailah dari diri sendiri, mulailah dari sekarang. Terima kasih atas nasihat Ibu. Semoga saya bisa menjalankannya.”
          “Ingat ya, kesaktian dapat muncul dalam kesempitan.” Bu Ani meninggalkanku sendiri.
          Hari semakin sore. Burung-burung mulai kembali ke sarangnya masing-masing. Aku segera pulang ke asrama. Dengan langkah gontai, aku berusaha merenungkan apa saja yang sudah kulakukan selama ini.
          Mulai sore ini aku berjanji untuk berusaha memperbaiki diri. Aku yakin aku bisa menjadi lebih sakti setelah ini. Aku juga harus yakin bahwa dengn usaha yang maksimal, aku pasti bisa menaklukkan LCC UUD 1945, olimpiade fisika, mempertahankan prestasiku di kelas, serta masih tetap aktif berorganisasi di OSIS.
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Search

Blogroll

goresan pena. Diberdayakan oleh Blogger.

About