Sabtu, 10 November 2012

Hilangnya Malaikatku Oleh : AC Ruddin

Unknown | Sabtu, November 10, 2012 |
apa kabar sahabat goresan pena? sudah lama goresan pena tidak memposting. Berikut ini adalah cerpen yang disadur secara utuh dari jendela sastra.selamat membaca semoga terhibur.

Tentangku. Tentang seorang anak  yang telah lama merangkai cerita hidup bersama seorang malaikat. Dengan cat yang ku torehkan dengan berbagai kuas di atas kanvas putih suci. Kanvaspun penuh lukisan kehidupan yang indah, meskipun ada sedikit noda cat yang tak pernah diinginkan menetes di kanvas itu. Emak adalah malaikatku. Aku dan Emak selalu berdua. Ya, hanya berdua. Tak ada Bapak, sosok pemimpin dalam keluarga.
*****
Malam ini tak ada kemurungan di wajah sang kubah surya. Bulan dan bintang berebut tampakkan senyum paling bersinar. Aku termenung di balkon rumah sederhana. Meneliti satu demi satu bintang yang bertaburan. Mencari bintang yang biasanya berada tepat di atas balkon ini. Sekian lama Aku mencari, bintang itu tak kutemukan juga. Mungkin ia sedang berkelana ke balkon-balkon yang lain atau mungkin belum beranjak dari peristirahatannya.
Saat kakiku hendak beranjak, tiba tiba……..
Blaarrr!
Dentuman guntur dan kilatan cahaya mengagetkanku. Aku menoleh, melirik kubah surya. Ia mengerang. Entah apa yang ia rasakan. Kubah surya sedang tak bersahabat. Aku merasa ada berita yang ingin ia katakan padaku. Jika memang iya, cepat katakan kubah surya, pikirku.
*****
“Alin….! Alin….! Cepat bangun, nak! Memangnya Kau tak ke sekolah? Ayo, cepat bangun!” Emak membangunkanku sambil mengetuk pintu kamarku berulang-ulang. Sebenarnya, tadi aku sudah bangun dan solat subuh. Namun mata ingin mengatup kembali. Tubuhpun terhempas kembali di pulau berkapuk. Berlanjut pada bunga yang menghiasi tidurku malam tadi.
“iya, Mak.” Jawabku lemas. “sebentar lagi” sambungku.
“Ya sudah. Sudah jam enam.” Lalu derap langkah kaki Emak menjauh dari kamarku, hingga telingaku tak lagi dapat menangkap suara derap langkah kaki malaikatku.
Mataku masih saja mengeriyip. Dengan tubuh terhuyung dan kaki terpincang, aku beranjak meninggalkan pulau berkapuk dan keluar kamar menuju kamar mandi. Segar rasanya saat air mengalir basahi wajah kusamku. Kuambil gagang berambut kaku dan pasta rasa mint di dekat kaca. Kugosokkan ke dalam mulut mungilku. Busa mulai bermunculan. Bertambah banyak. Kubuang busa itu bersama air yang kukumur-kumur. Air dalam gayung mulai tumpah basahi rambut ikal dan tubuh kurusku. Beri kesegaran hingga kelerung hati.
Tiga puluh menit kemudian sudah kukenakan seragam putih-biru. Buku-buku pelajaran kumasukkan dalam tas ransel. Sepatu hitam bergaris putih. Kaos kaki putih hitam. Dasi biru kukenakan. Menghadap kaca. Merapikan baju putih berkantung OSIS berwarna kuning. Menyisir rambut ikal hitam. Hmmm…. Sudah rapi dan siap berangkat. Ujarku dalam hati.
Kulangkahkan kaki keluar kamar, menuju dapur menemui Emak, malaikatku.
“Mak, Alin berangkat dulu, ya.” Sambil kuraih tangan Emak
“Sarapan dulu, Lin. Baru berangkat.” Suruh Emak.
“Iya, deh.” Jawabku.
Sarapan usai. Cepat-cepat kulangkahkan kaki menuju tempat Emak berdiri. Kucium tangan Emak. Ada yang aneh dengan tangan Emak. Terasa dingin sekali. Kubuang perasaan itu. Dengan cepat kuucap salam. Lalu berlari keluar rumah menuju sekolah.
*****
Dinginnya tangan Emak masih membayang di benakku. Bu Ara masih berdiri di depan kelas. Membuat goresan demi goresan di papan tulis, membentuk sebuah kata tanya. Kerjakan di rumah! Perintahnya. Iya, Buuu… Teman-teman menyahut serempak. Aku hanya diam. Kurasakan tepukan tangan di pundak kiri.
“Kau kenapa, Lin?” sebuah tanya meluncur di telingaku, mengacaukan semua pikiranku. “Kau sakit?” berondongnya.
Kutolehkan wajah ke arah sumber tanya. “Nggak kenapa-kenapa kok, Yan.” Jawabku.
“Aku tahu kau. Kita berteman sejak kecil. Bahkan kemana-kemana sering berdua. Saat kau seperti ini, Aku tahu kau sedang ada masalah.” Desaknya. “ceritakanlah, Lin” lanjutnya.
“Tadi saat Aku memegang tangan Emak untuk berpamitan ke sekolah, tangan Emak dingin sekali. Tak biasanya tangan Emak dingin. Selama inipun Aku tak pernah merasakan tangan Emak sedingin tadi pagi.”
“Emak sakit, Lin?”
“Aku tidak tahu, Yan. Emak nggak cerita apa-apa ke Aku. Aku takut Emak kenapa-kenapa.”
“Berdo’a saja tidak terjadi apa-apa dengan Emak. Sebentar lagikan pulang. Nanti kuantar dengan sepeda tuaku. Sekarang kita perhatikan Bu Ara menjelaskan pelajaran. Tadi ada so’al dan disuruh mengerjakan di rumah, sudah kamu tulis?”
“Belum”
“Ya, sudah. Nanti salinlah dari bukuku”
Teeng… Teeng… Teeng… Teeng… Teeng…
Bel pulang sekolah berbunyi. Aku bergegas pulang dengan cemas. Tyan tak jadi menemaniku. Karena dia baru ingat bahwa dia harus menjemput adiknya.
*****
Emak belum pulang. Biasanya Emak pulang saat senja akan tenggelam di ujung kubah. Aku melepas seragam sekolah. Menggantinya dengan baju bermain. Emak masih di pasar. Aku akan menemuinya.
Dengan cepat Aku berlari ke pasar. Atap-atap ruko pasar sudah terlihat. Lalu-lalang kendaraan pasarpun menambah padat pasar kecil itu. Emak pasti sedang dikerumuni orang-orang yang hendak berbelanja. Ini harganya berapa, Bu?. Kalau yang ini?. Satu kilo ya, Bu. Empat ikat saja. Lima ribu, Bu. Nggak empat ribu saja?. Ahhh…. Pasti ramai sekali di tempat Emak berjualan. Begitulah biasanya. Aku menemani Emak di pasar kalau hari libur sekolah. Jadi Aku tahu kesibukan Emak di pasar.
Nafasku tak beraturan. Aku berhenti sejenak di depan gang tempat Emak berjualan. Masuk ke gang. Sepi. Tempat Emak berjualan lengang. Emak tidak ada di sini. Emak di rumah juga tidak ada. Kemana Emak?
Itu Bi Sarni. Bi sarni tetangga kami, Ibunya Tyan. Dia pasti tahu Emak kemana.
“Bi Sarni!” seruku. Bi Sarni menoleh. “Bibi tahu Emak, nggak?”
“Tadi Emakmu bilang sedang sakit. Lalu bilang ingin pulang dan istirahat di rumah.” Jawabnya. “Memangnya Emakmu tidak ada di rumah?” Bi Sarni balik bertanya padaku.
“Tidak ada, Bi.”
“Mungkin dia ke apotek membeli obat. Pulanglah dulu. Kalau belum pulang, carilah ke apotek-apotek atau puskesmas.”
“Iya, Bi”
Aku meluncur ke rumah. Pintu masih tertutup. Kalu Emak di rumah tidak mungkin pintu tertutup. Benar dugaanku. Emak belum pulang. Aku putuskan untuk mencari Emak.
Puskesmas. Apotek-apotek. Rumah teman-teman Emak berjualan. Aku belum juga bertemu dengan Emak. Emak kemana? Alin khawatir. Alin takut, Mak.
Senja tak nampak lagi. Sepanjang hari tadi Aku mencari Emak bersama Tyan dan Bi Sarni, setelah Aku meminta mereka menemaniku. Tak juga bertemu.
*****
Aku berdiri di balkon kamar. Kulirik bintang-bintang di kubah surya. Mereka tetap terang. Tapi, bintang paling terang tak muncul lagi. Seperti kemarin malam. Hmmm…. Emak hilang. Tak seorangpun yang tahu dan memberi tahuku kemana Emak pergi. Bintang juga hilang. Entah pergi ke orbit yang mana. Tiba-tiba jarum gerimis berguguran. Mengusirku. Menyuruh masuk ke kamar. Kulempar tubuhku ke pulau berkapuk. Memandang langit-langit kamar. Kukatupkan mata. Dengan cepat akupun tertidur.
Esoknya aku terbangun. Meloncat. Turun menuju dapur. Emak belum juga pulang. Aku terduduk di pojok dapur. Termenung, tak bergerak.
Aku bergegas keluar rumah mencari Emak. Tapi sampai senja menutup muka dan bintang-bintang muncul. Larut malam, Emak tak juga pulang.
Aku kembali terjaga. Kembali termenung. Mencari Emak. Menanti kepulangan Emak. Berulang sepanjang satu minggu ini. Emak tak pulang-pulang. Aku tak berhenti mencari dan menunggu. Orang-orangpun tak dapat menemukan Emak.
Entah kapan malaikatku akan pulang. Menemaniku melukis hidup. Kini malaikatku hilang entah kemana. Tiba-tiba bintang jatuh di atas balkon kamar. Akupun teringat massa kecil. Ketika ada bintang jatuh aku selalu mengucapakan permintaan dalam hati dan permintaankupun terkabul. Kali ini akupun kakn meminta agar Emak pulang.
“Tuhan, Aku tak tahu kemana hilangnya Emak. Aku mohon kembalikan Emak padaku.”
Ya. Itu saja permintaanku saat ini.

disadur dari http://www.jendelasastra.com/karya/prosa/hilangnya-malaikatku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Search

Blogroll

goresan pena. Diberdayakan oleh Blogger.

About