Kamis, 15 Desember 2011

Bagian 5 Kesaktian dalam Kesempitan (Mutiara pesisir Meukek)

Unknown | Kamis, Desember 15, 2011 |
Karya : Anik Kusmiatun
         Tahun ini sekolahku mendapat amanah mewakili Kabupaten Aceh Selatan dalam lomba cerdas cermat UUD 1945 ke Banda Aceh. Satu tim yang akan diikutkan dalam lomba tersebut ada 14 siswa termasuk siswa yang dijadikan sebagai cadangan. Aku masuk dalam anggota tim inti. Setiap hari tim kami belajar materi lomba sesuai dengan petunjuk lomba yang sudah diberikan oleh Dinas Pendidikan. Lomba itu akan dilaksanakan satu bulan lagi. Bimbingan intensif dengan guru pembimbing dilakukan dua kali dalam seminggu.
          Setiap anggota tim mendapatkan tugas belajar yang bebeda-beda. Aku mendapat bagian menghafal dan memahami tentang TAP MPR. Banyak sekali hafalan yang harus aku kuasai. Belum lagi hafalan Al Quran yang masih jalan di tempat. Seharusnya semester ini aku sudah harus mulai hafalan Al Quran juz 29. Namun juz 30 belum selesai. Ada juga beberapa surat yang kuhafal sebagian, sedangkan selebihnya masih kosong. Setiap pulang ke rumah juga sering ditanya ayah sampai juz berapa hafalanku.
          Selain menyiapkan lomba cerdas cermat UUD 1945, aku juga masuk tim inti yang akan menjadi wakil dalam olimpiade fisika. Kepastian jadwal olimpiade sains ini belum jelas. Tahun lalu aku juga ikut olimpiade fisika. Seleksi tingkat kabupaten aku sudah kalah. Targetku tahun ini minimal aku harus sampai ke propinsi. Lebih senang lagi kalau bisa sampai ke tingkat nasional. Menyenangkan rasanya jika tahun ini aku bisa ke nasional. Aku akan bertemu dengan para juara fisika di ajang olimpiade sains nasional. Tahun ini yang akan menjadi tuan rumah adalah Manado. Aku sendiri belum pernah sampai sana. Kota besar yang baru kukunjungi baru Banda Aceh dan Medan.
          Satu tim LCC UUD 1945 terdiri dari sepuluh siswa kelas XI dan empat siswa kelas X. Pak Jaspiandi selaku guru PKn ditunjuk sebagai guru pembimbing. Beliau selalu memotivasi kami untuk giat belajar. Pesan beliau, “Meskipun lomba dijadwalkan satu bulan lagi, anggaplah lomba itu akan diadakan besok pagi. Jadi setiap hari harus selalu siap dan senantiasa belajar.”
          Persiapan lomba cukup menyita banyak waktu belajarku. Apalagi kebijakan sekolah sekarang untuk belajar malam dibuat belajar mandiri. Meskipun tempatnya sama di kelas dan ada guru pendamping, kami diberikan kebebasan untuk belajar mandiri. Guru pendamping hanya mengontrol saja. Sebenarnya aku lebih suka program tahun lalu yang mana setiap malam masih ada kelas malam dan jadwal pelajarannya cukup jelas. Kegiatan belajar mandiri tidak berjalan efektif. Kadang-kadang di kelas tidak belajar justru ramai ngobrol dengan teman-teman. Sejak saat itu semangat belajarku mulai turun.
***
          Aku lebih suka belajar formal di kelas ada gurunya atau belajar sendiri di tempat yang tenang. Belajar dalam keadaan kelas yang sangat bising, tidak ada pelajaran yang bisa kupahami. Solusinya, setiap jam belajar mandiri di kelas aku tidur di pojokan kelas atau sempat juga berbohong kepada guru pendamping kalau aku sakit. Dengan alasan itu aku akan diijinkan pulang ke asrama. Guru yang paling sering memberikan ijin adalah Pak Hadi. Sedangkan guru yang sulit dibohongi adalah Bu Ani.
          Beberapa hari ini jadwal belajarku banyak yang kuganti. Sepulang belajar mandiri malam hari, aku langsung tidur di asrama. Tengah malam sekitar pukul 02.00 aku bangun dan belajar sendiri sampai adzan subuh berkumandang. Itulah sebabnya sekarang aku jarang terlambat berjamaah subuh. Dampaknya ada yang baik dan ada juga yang buruk. Dampak positifnya aku bisa belajar lebih tenang di malam hari dan mudah memahami apa yang kupelajari. Dampak negatifnya aku sering mengantuk bahkan tidur di kelas.
          Hari ini semua guru yang mengajar di kelas marah padaku gara-gara aku kurang memperhatikan dan di jam terakhir pelajaran biologi aku tidur. Sudah sering aku membuat masalah dengan guru yang satu ini. Akhirnya biar aku bangun, Bu Ani menyuruhku berwudhu kemudian lari keliling lapangan 2x di bawah terik matahari yang panas.
          “Sudah hilang ngantuknya, Oja?”
          “Sudah, Bu.”
          “Silahkan masuk kelas lagi. Nanti sore setelah sholat Ashar temui saya di depan perpustakaan.”
          “Untuk apa Bu?”
          “Ada hal penting yang ingin saya tanyakan. Tunggu saja nanti sore.”
          “Iya Bu.”
          Menurut dugaanku, pasti Bu Ani akan memberikan hukuman yang lebih berat. Kemarin Fadhil juga berhadapan empat mata dengan beliau. Tapi Fadhil tidak bercerita apa-apa. Aku yakin pasti ada hubungannya dengan kelakuanku selama ini.
          Selepas Ashar aku menunggu Bu Ani di depan perpustakaan. Shara lewat di depanku. “Shara, tolong sampaikan Bu Ani di asrama kalau aku sudah di depan perpustakaan.”
          “Kasihan sekali, dapat hukuman apalagi kamu?”
          Aku hanya tersenyum. Tidak lama kemudian kulihat Bu Ani berjalan menyusuri depan asrama menuju ke perpustakaan. Aura beliau sedikit berbeda daripada tadi siang. Justru sekarang terlihat lebih menakutkan.
          Bu Ani duduk di selasar depan perpustakaan. Aku duduk di hadapan beliau. Aku tidak berani mengangkat muka. Sepertinya pengadilan sore ini akan jauh lebih berat dibandingkan tadi siang.
          “Kamu kenapa menunduk, takut dengan saya?”
          “Tidak, Bu.” Aku mendongak sedikit.
          Bu Ani tersenyum simpul, “Tidak usah takut karena saya juga tidak akan memakan kamu. Saya hanya ingin tahu kondisi kamu yang sebenarnya.”
          “Maksudnya apa Bu?”
          “Saya lihat semangat belajarmu di kelas X jauh lebih tinggi dibandingkan sekarang. Kamu sebenarnya cerdas. Buktinya kamu masuk di tim inti LCC UUD dan olimpiade fisika. Ada masalah dengan belajarmu? Atau kamu sedang ada masalah dengan teman-temanmu sehingga semangat belajarmu turun?”
          “Tidak ada apa-apa Bu.”
          “Ah, yang bener? Saya sebagai guru tahu jika ada siswa yang punya masalah dengan belajarnya. Mungkin ada yang bisa saya bantu? Saya juga mengamati saat kamu belajar di kelas saya. Sudah lima kali berturut-turut kamu tidur di kelas. Nilai ulanganmu agak menurun. Jika kamu mau, saya bisa membantu belajar khususnya di pelajaran saya.”
          Prasangka burukku tenyata salah besar. Aku mengira Bu Ani akan memarahiku habis-habisan. Ternyata beliau ingin membantuku mengatasi masalah yang kuhadapi sekarang.
          Aku memberanikan diri menceritakan kondisiku yang sebenarnya. “Jujur saja ya Bu, saya bingung mengatur waktu. Saya harus belajar LCC UUD, olimpiade fisika, belum lagi belajar di kelas malam sekarang kurang kondusif lagi. Saya kurang bisa konsentrasi jika belajar malam di kelas yang sangat ramai. Belum lagi tugas saya di OSIS juga belum bisa maksimal. Rencananya saya ingin keluar dari OSIS saja Bu. Saya merasa berat dengan beban yang harus saya jalankan semuanya.”
          “Ja, semua itu adalah amanah. Tidak mungkin Allah memberikan amanah itu di luar batas kemampuanmu.”
          “Saya merasa keberatan Bu.”
          “Kamu pasti bisa. Tanamkan dalam benakmu bahwa kamu mampu menjalankan semua amanah itu.”
          “Tapi susah bagi waktu, Bu.”
          “Pertama, jangan kamu anggap semua itu sebagai beban. Kalau kamu masih menganggapnya sebagai beban, maka selamanya akan terasa berat. Selesaikan pekerjaan itu satu per satu dan buatlah perencanaan yang matang.”
          “Saya tidak bisa, Bu.”
          “Dicoba dulu, jangan menyerah sebelum berjuang.”
          Memang benar apa yang disampaikan Bu Ani. Selama ini aku kurang bisa mengatur waktu yang kumiliki. Setiap orang punya jatah waktu yang sama sehari semalam ada 24 jam. Bedanya, ada orang yang mampu melakukan banyak hal dan ada juga yang sedikit. Padahal jatah waktunya sama. Berarti tinggal pandai-pandainya mengatur waktu.
          “Saya akan mencobanya, Bu.”
          “Oiya, kamu wajib bimbingan intensif biologi agar kamu tidak tertinggal dibandingkan teman-temanmu.”
          “Hah ??? seminggu sekali ya Bu?”
          “Iya.”
          “Akan saya usahakan, Bu.”
          “Harus konkrit. Kapan dan tempatnya mau di mana?”
          “Setiap Selasa sore di sekitar rumah idaman saja Bu. Mulai minggu depan kan Bu? Hari selasa Ibu bisa tidak?”
          “Bisa. Bimbingan ini hanya untuk mengejar beberapa materi yang kamu belum tuntas. Sebelum bimbingan, kamu harus membaca materi itu terlebih dahulu.”
          “Iya, Bu.”
          “Berhubung sudah sore, cukup sampai di sini dulu.”
          Semangat belajarku mulai bersemi kembali. Nanti malam aku akan menyusun jadwal harian. Dengan jadwal itu aku akan lebih terarah untuk melakukan apa saja dalam satu hari. Pak Agus juga pernah menyampaikan hal yang sama. Karena tidak pernah kuterapkan, akhirnya aku lupa.
          Agenda harianku sudah selesai kususun tinggal menjalankan saja. Pesan Bu Ani, aku harus memulai dari hal-hal yang kecil. Komitmen mematuhi jadwal yang sudah kususun harus tetap kupegang. Awal-awal terasa berat karena aku belum terbiasa.
          Selama dua minggu masih berjalan lancar. Lama-lama aku bosan. Program menyusun agenda harianku gagal. Aku tidak pernah membuat lagi. Pikiranku kembali terbebani dengan LCC UUD, olimpiade, OSIS, kelas. Sekarang kondisiku lebih parah. Aku seperti orang yang kehilangan jati diri. Mau belajar apa saja seakan-akan tidak ada gairah sama sekali.
          Aku duduk termangu di depan ruang koperasi siswa. Wajahku lebih kusut. Tingkah lakuku semakin tidak karuan. Bisa dikatakan aku mengalami stress level lanjut. Aku sering melanggar peraturan tidak makan pagi. Subuh sering masbuk. Hafalan Al Quran tidak bertambah justru sedikit demi sedikit ada yang luntur. Belajar tengah malam tidak pernah kulakukan lagi.
          Sepulang dari kantor, Bu Ani lewat di depanku. “Kamu kenapa kok kusut sekali? Sepertinya ada beban berat di pikiranmu.”
          “Tidak ada, Bu.” Aku berusaha tersenyum.
          “Agenda harianmu masih berjalan tidak?”
          Aku menggeleng tanpa mengucapkan satu kalimat.
          “Kamu tahu sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia?”
          “Iya Bu, kisah itu pernah diceritakan oleh Pak Zarman.”
          “Kamu juga ingat kisah Nabi Muhammad yang diusir dari kota Mekah?”
          “Iya, Bu.”
          “Masih banyak kisah-kisah lain yang bisa kita ambil hikmahnya. Kisah tersebut memberikan gambaran kepada kita tentang kondisi yang sangat sempit. Artinya, keadaan yang tidak enak, berat, penuh cobaan.”
          “Sekarang saya juga sedang menghadapi cobaan, Bu.”
          “Tepat sekali. Kalau belajar dari sejarah bangsa kita dan para pejuang Islam zaman Rasulullah, dalam kesempitan mereka tidak menyerah begitu saja. Justru kalau boleh saya katakana bahwa mereka bisa memiliki kesaktian dalam kesempitan. Kuncinya adalah diri kita sendiri yang harus berusaha berpikir jernih. Masih ingat amanat Pak Agus di upacara bendera hari Senin kemarin?”
          “Masih ingat, Bu. Mulailah dari hal yang kecil, mulailah dari diri sendiri, mulailah dari sekarang. Terima kasih atas nasihat Ibu. Semoga saya bisa menjalankannya.”
          “Ingat ya, kesaktian dapat muncul dalam kesempitan.” Bu Ani meninggalkanku sendiri.
          Hari semakin sore. Burung-burung mulai kembali ke sarangnya masing-masing. Aku segera pulang ke asrama. Dengan langkah gontai, aku berusaha merenungkan apa saja yang sudah kulakukan selama ini.
          Mulai sore ini aku berjanji untuk berusaha memperbaiki diri. Aku yakin aku bisa menjadi lebih sakti setelah ini. Aku juga harus yakin bahwa dengn usaha yang maksimal, aku pasti bisa menaklukkan LCC UUD 1945, olimpiade fisika, mempertahankan prestasiku di kelas, serta masih tetap aktif berorganisasi di OSIS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Search

Blogroll

goresan pena. Diberdayakan oleh Blogger.

About