Hari ini hari senin, tepat sehari
sebelum perayaan Idul Adha. Udara pagi ini cukup bersahabat khususnya bagi
siapa pun yang mau berolahraga. Kebetulan hari ini kampus sedang libur begitu
pun dengan keesokan harinya yang jelas-jelas sudah pasti libur. Maka tak ada
alasan untuk tidak berolah raga hari ini.
Pagi ini ku awali dengan sholat
subuh, walau mungkin waktu sholat sudah selesai. Langit tampak terang walau
cahaya matahari belum jelas ku lihat.
Setelah sholat sejenak ada keraguan
untuk melanjutkan niat ini. Niat berolah raga. Ku lirik sepatu olah raga ku
yang sedang asyik duduk di samping meja laptop. “Kalau gak sekarang kapan lagi
ya,” gumam ku dalam hati seraya mengambil sepatu.
“Nah sekarang mau olah raga kemana?”
seperti ada sosok lain yang bertanya pada diri ku. Ku kira olah raga keliling
komplek cukup membuat keringat bercucuran. Ah, tidak. Sepertinya lebih asyik
kalau berolah raga santai disekitaran Lapangan Bola Maguwo. Ku lihat jam telah
menunjukkan pukul 05.34, “kalau ke alun-alun (selatan) paling sampai sana
sekitar jam 6, masih bisa lah kalau hanya untuk berolah raga,” aku
menimbang-nimbang.
Kunci motor lalu ku ambil, tak lupa
juga ku bawa sepatu olah raga yang sedari tadi aku pelototi. Ku buka pintu kos
dan ku naiki motor. “Enaknya kemana ya,” kembali batin ini menanyakan hal yang
sama. “Yaudah ke stadion maguwo saja”. Aku mulai meluruskan niat.
Dengan perlahan ku arahkan motor ini keluar kos dan mulai
beranjak menuju jalan raya. “Ah ke alun-alun aja lah,” tiba-tiba ada bisikkan
lain untuk tidak memutar arah motor menuju Stadion Maguwo.
Motor pun ku kendarai dengan
santai, tidak ada sesuatu juga yang ku kejar disana. Suasana tampak masih
lengang, kendaraan pun masih belum seramai biasanya. Tapi udara kali ini
benar-benar dingin, menusuk dan merangsek hingga ke tulang. Apa karena akunya
yang terlalu kurus ya?
***
Tak terasa motor ini sudah sampai
di Jalan Malioboro. Terlihat disana orang-orang sedang sibuk dengan
aktivitasnya masing-masing ; ada yang sedang berolah raga, membersihkan jalan,
atau sekedar menikmati jajanan pagi. Masih lengang memang, terasa begitu
merdeka.
Tiba-tiba perut ini mendadak sakit,
sepertinya isi di dalamnya ingin segera dikeluarkan. Tapi dimana? Tak ada
tempat untuk membuang hajat yang baik dan menyenangkan. Motor pun terus ku
jalankan sembari mencari tempat untuk menuntaskan hasrat ini. “Mungkin
disekitar Alun-Alun Selatan ada tempat untuk buang hajat,” aku membatin.
Motor ini pun bertemu pertigaan
Alun-Alun Utara. Terlihat sampah berceceran dimana-mana. Sepertinya sampah sisa
pementasan Opera Van Java (OVJ) Trans 7 pada sabtu malam masih belum tuntas
dibersihkan.
Sekilas terlihat WC Umum keliling sedang
terparkir di sudut Alun-Alun Utara. “Ah disana aja lah,(Alun-Alun Selatan)”
batin ku langsung saja menolaknya.
Motor ini terus saja ku arahkan
menuju Alun-Alun Selatan, terlihat Taman Sari dari kejauhan. Ia begitu gagah
dengan dinding batu yang menjulang tinggi. Corak tuanya seakan berkisah atas
dirinya yang begitu kuat dan tergar.
Tanpa berlama-lama menikmati
bangunan itu. Langsung saja aku bergegas menuju Alun-Alun Selatan. Jalan menuju
ke sana tampak sempit, hanya satu jalan yang dipakai untuk dua arah. Di depan
mata terlihat ada dua mobil yang bejalan
searah dengan ku. Langsung saja mobil pertama ku dahului, berhasil.
Saat hal yang sama ingin ku
lakukan, tiba-tiba saja motor Vario dari arah kiri masuk ke badan jalan dan
berjumpa dengan ku di lajur kanan. Lebih tepatnya agak di jalur kanan. Kaget,
tak bisa berkelit. Langsung saja kedua motor saling berciuman dan aku pun
tertimpa motor Vario itu.
Suasana lengang kini berangsur
padat. Beberapa orang bahkan menyempatkan diri untuk melihat kejadian ini lebih
dekat. Aneh memang hal seperti ini selalu menjadi hiburan gratis bagi
orang-orang. Entah apa yang dipikirkan mereka tapi ku rasakan mereka akan membuat pelaku semakin merasa bersalah.
Siapa yang salah dalam hal ini tak
jelas. Mungkin aku mungkin juga dia. Aku punya alibi begitu pun dia. Tapi
masyarakat lebih menyalahkan kejadian ini bersumber dari kesalahan ku. Tidak
masalah, semua punya perspektif masing-masing.
Mungkin alasan itu terlihat dari
kondisi orang yang terlibat dalam tabrakan itu. Di bagian hidungnya terdapat
luka dan mulutnya berdarah. Dugaan ku bibirnya terantuk sesuatu hingga membuat
giginya mengeluarkan darah. Tangan, lutut dan beberapa bagian tubuhnya pun
terlihat luka. Rasa iba pun tertumpuk padanya.
Memang secara fisik aku baik-baik
saja. Tak ada luka sehebat apa yang terlihat pada orang itu. Hanya sedikit luka
lecet pada tangan kiri dan kaki. Tapi bagian dalam tubuh ku sepertinya yang
lebih merasakan sakit. Tangan kiri memar, dan dada ini menjadi sesak. Aku
merasakan sedikit ngilu saat menarik napas lebih dalam.
Motor ku pun sepertinya harus
segera masuk “rumah sakit”. Lampu sein sebelah kirinya pecah, dan dashboard pada motor ku lepas. Ku kira
uang tabungan ku lagi-lagi harus ku keluarkan untuk hal yang seharusnya tidak
ku keluarkan. Pengeluaran sepanjang bulan ini sudah cukup boros, dan kerusakan
ini tentu akan menambah tumpukkan nota belanja bulan ini.
“Ya sudah, bawa saja ke RS. PKU,
biar dilihat luka-lukanya,” ucap salah satu bapak-bapak.
“Iya, di bawa saja kesana,” timpal
yang lain.
“Bisa jalan kan Mas?” tanya bapak
itu.
Dia hanya mengangguk.
“Di bonceng saja sama Mas ini,”
bapak-bapak itu menunjuk ke arah ku.
Aku kemudian berdiri dan mulai
menyiapkan motor.
“Tolong bilang bapak, aku di RS.
PKU,” kata orang itu kepada dua anak kecil yang juga turut terlibat dalam
kecelakaan itu. Hanya saja kedua anak itu lebih beruntung, mereka sama sekali
tidak mengalami luka atau apa pun itu. Yang jelas beban ku tidak semakin
banyak.
Motor ku nyalakan dan beberapa saat
kemudian dia naik ke motor yang sama.
“Udah pak,” tanya ku menyapanya.
“Iya udah.” Balasnya singkat.
Sampai
di Rumah Sakit kami lalu di”jemput” oleh tukang parkir yang membawa kursi roda.
Dia begitu ramah kepada kami, “Kakinya kenapa Mas?”. “Di tabrak motor,” matanya
menatap ku. Aku semakin jatuh dalam jurang kesalahan. “ Ya Tuhan, apa emang aku
yang salah?”
“Nanti
mas nya daftar kan pasien di tempat itu, aku tak bawa mas ini ke IGD,” perintah
tukang parkir itu kepada ku.
“Oh
iya pak, makasih”
“Mas
nya bawa KTP?,” tanya tukang parkir itu kepada “korban”.
“Bawa,”
dikeluarkannya KTP lalu memberikannya kepada ku.
***
“Permisi
Bu mau daftar Pasien,” tanya ku pada penjaga loket pendaftaran pasien.
“Oh
iya, Pasien lama atau baru?”
“Baru”
“Oh
iya kalau begitu silakan Masnya mengisi formulir pasien terlebih dahulu disana
(sambil menunjuk ke arah kertas-kertas yang berada dibelakang ku) setelah itu
formulirnyanya bawa kesini.”
“Oh
iya”
***
Ku
isi formulir pendaftaran pasien itu kolom per kolom. Ku cocokkan dengan
identitas orang itu yang sedang ku pegang. Nama Puguh, Alamat : Dipowanatan,
dan semuanya ku isikan hingga ku rasa cukup.
“Ini
mbak sudah.”
Kemudian ptugas tersebut memeriksa
formulir tersebut. Ia melihat masih ada beberapa kolom yang belum terisi, lalu
menanyakannya pada ku. Ku jawab secara spontan, tidak ada waktu lagi untuk
sekedar menanyakan identitas kepada pasien seperti pendidikan terakhirnya.
“SMA,” ku jawab singkat.
“Pasien sudah di bawa ke IGD?”
“Sudah”
“Baik, kalau begitu mas bisa
langsung ke IGD”
***
kaki ini ku arahkan menuju ruangan
yang terletak di sebelah tempat pendaftaran itu. Ku masuki dan ku lihat Mas
Puguh sudah berada di tempat tidur periksa. Suasana ruangan tidak begitu ramai,
hanya terlihat ada satu pasien lain dan beberapa orang yang menemaninya, juga seorang
dokter jaga dan beberapa perawat.
“Gimana mas keadaanya? Ada yang
parah?”
“Gak ada, tapi belum tahu ini”
Seorang mantri pun mendekatinya dan
mulai membersihkan luka pada hidungnya. Diolesnya luka itu dengan cairan
pembersih ( baca : alkohol). Sepertinya memang tidak ada masalah yang besar. Ku
pikir jika hanya luka seperti ini, uang di dompet ku masih bisa
menanggulanginya.
“Pak Toliet dimana ya?” tanya ku
pada mantri tersebut.
“Oh, disana mas,” menunjuk ke arah
pintu.
Aku lalu meninggalkan “korban”
bersama seorang mantri yang sedang sibuk mengobatinya. Sampai di Toilet,
langsung saja ku tunaikan hasrat ku yang sempat tertunda. Cukup melegakkan,
apalagi saat ini aku sedang berada dalam masalah. “Ritual” tersebut seakan
berubah menjadi prosesi pelepasan sial.
Lega rasanya. Setelah melengkapi
hasrat tersebut. Aku kembali pada orang itu untuk sekedar agar tidak terkesan
lari dari tanggung jawab.
Tiba-tiba dari pintu masuk ruang
IGD, tampak seorang pria yang udah cukup umur berjalan mendekati ku dan Mas
Puguh. Dia menyapa ku dengan senyumnya yang begitu khas dari seorang tua yang
bijak. Terkahir ku tahu kalau orang itu adalah Bapak dari “korban”.
“Gimana keadaan mu?” tanya Bapak
itu pada anaknya.
“Gak papa,”
“Masnya,,,,?”
“Iya pak,” jawab ku sambil sedikit mengangguk.
“Oh.” Ia kemudian tersenyum.
Bapak itu sepertinya telah memahami
bahasa tubuh ku. Ia sepertinya telah mengetahui kalau aku lah yang menyebabkan
ini terjadi. Tapi tak ada amarah yang terucap dari mulutnya. Siratan kekesalan
dari wajahnya pun tak dapat ku temui.
Dokter kemudian memeriksa Mas Puguh
secara detil. Diambilnya pengukur tensi darah dan disematkan alat tersebut pada
lengan kiri Mas Puguh. Sambil mengamati kerja sang dokter, aku hanya berharap
jika luka yang ada hanyalah luka yang terlihat. Selain agar biaya yang
dikeluarkan tidak semakin mahal, beban moril pun akan lebih ringan jika hanya
sekedar luka lecet dan linu yang diderita.
Setelah memeriksa tekanan darahnya,
dokter tersebut kemudian menekan-nekan dada “korban”. Sambil mengenakan
stetoskop ia sesekali bertanya apakah ada rasa sakit disekitaran dada. “Gak
dok,” hanya kata itu yang keluar dari mulut Mas Puguh ketika dokter menanyakan rasa
sakit pada daerah sekitar dadanya.
Dokter
lalu pergi menuju meja kerjanya. Aku mengikutinya, bapak Mas Puguh pun turut
mengikuti sang dokter. Disana semua pencatatan ia lakukan. Mulai identitas
korban hingga, hingga kronologi kecelakaan. Aku baru tahu jika di rumah sakit
juga ada form khusus kecelakaan. Dikertas berwarna merah muda itu, tertulis
pula daerah (anggota badan) yang luka. Di isi kertas itu dengan detil, satu per
satu “pertanyaan” dijawabnya dengan tenang. Ku kira dokter ini sudah cukup
piawai dalam menangani korban kecelakaan.
Pencatatan
pun usai dan ia menuju komputer yang berada di belakangnya. Dia mulai memilih
jenis administrasi pada “kasus” ini. Satu per satu data ia masukkan. Tak lama
berselang, kertas berisikan laporan adminitrasi tercetak.
“Silakan
dibayarkan ke kassa, kalau sudah kertas yang warna muda bawa lagi ke sini,”
dokter lalu memberikan kertas tersebut kepada bapak “korban”.
“Biar
saya saja Pak,” pinta ku pada Bapak itu.
“
kamu bawa uang?” tanyanya sambil tersenyum.
“Bawa
pak,”
“Ini
Gak papa?”
“Gak
papa kok Pak,”
Lalu
kertas itu diberinya, segera ku bawa menuju ruang administrasi.
“Ini
pak,” sambil memberikan kertas itu ke petugas.
Petugas
lalu memasukkan data yang tertulis pada kertas itu. Ia kemudian menghitung
semua biaya yang harus ku bayarkan.
“Lima
puluh enam ribu lima ratus,” terdengar cukup tegas dari mulut petugas
administrasi itu.
“Ini
Pak,” sambil memberikan uang seratus ribu satu lembar.
Uang
satu-satunya yang berada dalam dompet ku, terpaksa harus keluar untuk hal yang
seharusnya tidak terjadi.
“
Ini kembalinya,” lalu ku ambil kembaliannya.
“Biaya
ini belum termasuk obat ya Pak,” Tiba-tiba bapak “korban” bertanya pada
petugas.
“Belum Pak”
“Kalau
Apoteknya dimana ya?”
“Bapak
ke kanan, nanti tempatnya diseberang loket pendaftaran,” petugas itu memberikan
arah.
“Oh
iya pak makasih”
***
Aku
lalu kembali ke ruang IGD dan Bapak “korban” menuju ruang pengambilan obat. Aku
tak menemaninya, aku beralasan untuk mengembalikan bukti pembayaran itu kepada
dokter. Padahal ketakutan akan biaya yang lebih mahal untuk menebus obat
menjadi pertimbangan utama ku.
“Ini
dok bukti pembayarannya”
“Oh
iya makasih ya,” balas sang dokter.
Ku
lihat Mas Puguh masih terbaring lemah diatas tempat tidur periksa. Ia masih
terpenjara kesakitan. Mungkin kesakitan yang dirasakan oleh Mas Puguh dapat
dirasakan oleh dokter, mantri, orang yang melihat kecelakaan tadi, orang tuanya
dan bahkan aku sendiri.
Tapi
apa yang ku rasa belum tentu bisa dirasakan mereka. Aku lebih memilih diam dalam masalah ini. Takut jika biaya yang
ku keluarkan akan lebih banyak dari ini. Ini sudah cukup membebani ku,
bagaimana jika aku harus mengakui kesakitan ku pada sang dokter.
Lalu
aku harus membayar biaya periksa, biaya pendaftaran, dan juga biaya obat. Dan
itu semua pasti tidak sedikit. Untungnya
luka ini bisa bersembunyi di balik fisik ku yang “sehat”. Hingga uang ku yang
lain, hanya perlu ku beri untuk motor ku yang lebih “luka” dari ku.
“Gimana keadaannya mas?” kembali ku tanyakan
hal yang sama pada Mas Puguh.
“Gak
papa kok, hanya kaki kanan agak sulit digerakkan, tapi gak papa,” Ia mencoba
menjelaskan dengan tenang.
“Bapak
ku kemana?”
“Lagi
ke Apotek, ambil obat.”
Aku
berusaha tenang, berdiri di samping tempat tidurnya sambil menunggu bapaknya
datang. Melihat ke arah luar, bapaknya masih belum terlihat. Sesekali ku ajak
mengobrol Mas Puguh, sembari mencoba menghangatkan suasana. Tapi sepertinya Mas
Puguh masih cukup lemah.
Beberapa
saat pun berlalu dan bapak Mas Puguh masih belum terlihat. Ku putuskan untuk
menyusul beliau ke ruang pengambilan obat.
Ruang
Farmasi. Tertulis jelas di pintu kaca ruangan itu. Ku buka pintu tersebut dan
terlihat bapak Mas Puguh sedang berdiri di depan loket pengambilan obat. Ku
lihat ia mengeluarkan uang Rp 50.000 dan memberikannya kepada petugas.
Nampaknya biaya obat cukup mahal, ku dekati bapak itu.
“Gimana
Pak,”
“Udah
ini, Cuma Rp 17.000,” sambil menyuguhkan senyuman khasnya.
“Oh...”
aku mengangguk.
Syukurlah biaya obat tak semahal
dugaan ku. Aku pun tak harus mengeluarkan uang lagi untuk menebus obatnya.
Kami
lalu saling diam untuk beberapa saat.
“Gini
Pak,” suara ku mulai menjalar di telinganya. Iya lalu menolah dan mulai terlihat
serius.
“Sekarang
semuanyakan sudah beres, Mas Puguh juga sudah baikkan. Saya izin pamit.”
Raut
mukanya yang tegang berangsur berubah menjadi santai, ia lalu tersenyum.
“Oh
iya mas, Makasih ya,” balasnya sambil memberikan tangan untuk berjabat.
Ku jabat tangannya,“Sama-sama pak,”
aku pun turut tersenyum. Terasa begitu plong ketika bapak itu menerima pamitan
saya. Bapak itu memang begitu bijak dalam menghadapi masalah ini. Ia sama
sekali tak pernah terlihat marah, kesal, atau bahkan anti-pati pada ku. Dia
begitu lembut dan halus dalam menyikapi masalah yang dialami anaknya.
Kemudian aku berlalu meninggalkan
bapak itu, dan pulang dengan keadaan yang berbeda dibandingkan saat pergi.
Motorku terasa miring ke kiri, dan tangan kiri ini menjadi tidak nyaman ketika
harus berada di stang. Alhasil selama perjalanan tangan kiri ini lebih sering
menggantung, dan hanya sesekali ia berada di “tempat”nya.
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar