Malam ini saya
ingin berkirim surat. Ingin sekali. Tetapi kemana alamat surat itu saya tuju
saya tidak tahu. Bila ada yang membaca surat ini, anggaplah ia sebagai pelipur
lara, sebagai teman di kala sepi bila lagi sendiri. Semoga, kedatangan surat
ini, dapat menjadi obat hati.
Ah, maafkanlah
saya bila ada rasa cemburu ketika saya membaca surat-surat sahabat yang ditulis
dan dikirim ke dinding grup FAM Indonesia. Saya baca semua surat itu, saya
resapi dalam-dalam setiap diksi dan kalimatnya, tak ingin saya kehilangan kata sebaris
pun. Membaca surat-surat itu, terkenanglah saya pada masa-masa paling indah
dalam hidup saya, sekira 17 tahun lalu, ketika masa bersurat-suratan itu masih
ada. Ketika setiap hari, siang hingga petang, saya nanti-nanti dengan penuh
harap kedatangan pak pos mengantarkan sepucuk surat dari seorang sahabat di
pulau seberang sana.
Ketika terdengar oleh
saya deru mesin sepeda motor pak pos, cepat-cepat saya buka pintu dan saya
sambut pak pos dengan wajah gembira. Ditunjukinya saya sepucuk surat, di sudut
kanan amplop surat itu melekat selembar prangko lengkap dengan stempel pos.
Saya baca alamat pengirimnya, ditujukan kepada saya. Duhai, tak terperi
senangnya hati. Saya bawa lari surat itu ke dalam rumah, saya nyalakan lampu, saya
duduk di sudut kamar, kemudian saya sobek amplop surat itu, lalu saya baca
isinya dengan penuh keriangan. Sungguh, tak dapat saya lukiskan dengan
kata-kata betapa bahagianya diri ini setiap kali menerima surat, lalu
membalasnya, pergi ke kantor pos agar surat balasan itu segera dikirim pula.
Saya akui, berkat
berbalas-balas surat itu pula, dikemudian hari saya terlatih menulis karangan. Saya
bersyukur kepada Allah SWT, masa bersurat-suratan itu pernah menyinggahi hidup
saya, walau saya rasa begitu sejenak saja. Ah, tidak terasa perubahan zaman
sedemikian cepat sehingga di masa sekarang tidak lagi datang kepada saya
sepucuk pun surat dari seorang sahabat di seberang sana. Sudah lama pak pos
tidak menyinggahi rumah saya lagi. Rindu, sungguh rindu ini hati.
Zaman
bersurat-suratan sudah diganti handphone, bila perlu sesuatu tinggal kirim
pesan saja. Menit itu dikirim menit itu pula sampai kepada orang yang dituju di
seberang sana. Teknologi internet juga sudah sedemikian maju, lewat email dan
jejaring sosial, orang telah semakin cepat berkomunikasi. Walau demikian, entah
mengapa, ada sesuatu yang terasa hilang dan tak lagi ditemui ganti apalagi
kembali.
Sebab kerinduan yang
kian membuncah itu, malam ini entah mengapa tiba-tiba saya merindukan kembali
masa bersurat-suratan. Mengingat semua kenangan itu, mata saya sampai
berkaca-kaca tatkala menulis surat ini. Seolah saya menuliskannya di selembar
kertas surat, dengan tinta pena murah bekas pakai di sekolah. Ah, sebab
kenangan itu pula, saya tulis puisi ini:
Dulu sekali di masa sekolah menengah
Teringat sebuah kenangan paling indah
Sangat berbekas dan tak pernah terlupa
Hingga sekarang terbayang-bayang juga
Tujuh belas tahun saat itu usia beranjak
Bermukim di Aceh negeri yang bergejolak
Sekira dua tahun masa sebelum reformasi
Ada hobi semua orang paling menggemari
Itulah ia korespondensi dan filateli
Di masa itu bila pagi dan petang datang
Berdebar dada menunggu tiba seseorang
Dialah Pak Pos si setia pengantar surat
Datang dari kenalan yang jadi sahabat
Di negeri seberang jauh ia beralamat
Ketika surat diterima terbacalah isinya
Bergetar tangan memegang kertasnya
Tulisan indah ada gambar hati dibawahnya
Duhai, berdegup jantung ini dibuatnya
Berbalas-balas surat sungguh hati riang
Disitulah bermula tumbuh bakat mengarang
Bulan berjalan tahun berganti masa berubah
Hilang sudah itu kenangan sungguh indah
Surat menyurat diganti telepon genggam
Bila berkirim pesan tak perlu waktu satu-dua jam
Dunia dimudahkan dengan itu teknologi
Tapi entah, terasa ada yang hilang di hati
Bila berkirim surat belajar kita mengolah rasa
Berindah-indah kata sungguh santun berbahasa
Tapi lihatlah sekarang sms ditulis anak remaja
Bahasa bangsa yang rancak itu rusak dibuatnya
Kadang kepada yang tua ditulisnya ‘elo-gua’ saja
Hilanglah etika, sungguh itu tidak selayaknya
Ini hari kita rindu itu masa datang kembali
Masa bersurat-suratan untuk suatu keperluan
Kepada ayah, ibu, dan semua handai taulan
Tapi agaknya itu hanya tinggal kenangan
Ya, semua telah
tinggal kenangan. Kenangan itu, hanya dapat saya ingat saja, khususnya dikala
malam hening tiba. Saya ambil kembali surat-surat lama sahabat yang pernah dikirimkan
kepada saya, lalu saya ulang baca. Kadang saya tersenyum, tetapi lebih banyak
harunya, sebab semua cerita tersimpan didalamnya.
Duhai, walaupun
masa itu tidak ada lagi, besarlah harapan saya, menulis surat jangan
ditinggalkan, apalagi dilupakan. Walau tidak lewat sepucuk surat, tetapi dapat
pula memanfaatkan bermacam media. Bahasa surat bahasa kesantunan, ia ditulis
lewat lubuk hati yang paling dalam, penuh kejujuran, penuh harapan-harapan,
agar setiap kata yang dituliskan kian bermakna.
Inilah surat
saya, entah buat siapa. Maafkanlah bila kedatangannya mengganggu waktu sahabat.
Kalau pun ia membawa manfaat, walau sedikit saja, sungguh senang ini hati telah
dapat menuliskannya. Semoga ia menjadi amal ibadah kepada siapa saja yang
membacanya. Amin ya Allah, terkabullah ia hendaknya.
Wassalam,
Muhammad Subhan
[www.famindonesia.blogspot.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar