ini adalah cerpen pertama ku, yang dibuat karena kekeselan hati terhadap keadaan yang sepertinya kurang memihak padaku. maklum saja jika ceritanya agak terkesan maksa, dan kurang pas dengan keadaan yang sebenarnya. Tapi bagaimana pun juga, cerpen ini adalah batu loncatan ku. Tanpa cerpen ini tak kan ada uraian dari cerita-cerita ku yang lain. Gak usah lama-lama lagi, silahkan di baca :)
Tiba-tiba aku terbangun
ketika mendengar hp-ku yang tiba-tiba berbunyi. Dengan mata yang masih terasa
kantuk, aku kemudian mencari di mana hp-ku berada. Dengan cepat aku membaca sms
yang masuk itu. Dan hal yang paling pertama aku lihat adalah pengirim yang
berada paling atas layar hp-ku. ”Ternyata dia,” dalam hati aku bergumam, aku
pun tersenyum sambil terus membaca apa yang diucapnya lewat sms.
Memang
hal itu bukanlah hal pertama yang kualami, karena dia kerap sms padaku mengenai
apa saja. Dan aku pun berkomentar panjang lebar mengenai masalahnya. Tidak
pernah aku merasa canggung atau malu-malu, ketika dia bercerita tentang
masalahnya.
Aku
juga tidak terlalu ambil pusing dengan hal ini. Aku merasa dia hanya teman yang
memang aku kagumi, tapi tidak pernah terbesit untuk memilikinya. Tanpa sadar
aku telah banyak tahu tentang dirinya. Mulai dari masalah yang kecil hingga
masalah besar, mulai dari keluarganya, hingga saudara-saudaranya, aku telah
mengenal.
Tapi,
lambat laun aku melihatnya dan mulai terpesona. Seperti ada sesuatu yang lain.
Setiap hari pula makin sering aku memperhati-kannya, dan sesekali dia melempar
senyum dari wajahnya yang sebanarnya tidak begitu indah ataupun cantik, tapi menyimpan
banyak misteri. Kulitnya yang putih, serta senyumnya yang begitu khas, membuat
aku terus mengingatnya.
***
Suatu
waktu, datang seorang teman yang begitu dekat denganku hadir dalam hidupku. Dia
bercerita tentang semua yang pernah dia alami sepanjang hidupnya, hingga
akhirnya bertemu denganku. Bagiku dia adalah orang yang beruntung, tapi tidak
dalam kisah cintanya dengan wanita. Dia adalah orang yang lebih sering
merasakan asamnya cinta dibandingkan dengan
manisnya rasa itu. Sebetulnya dia adalah teman baru bagiku, tapi seolah
dia telah sangat dekat denganku.
Kini
dia berada pada lingkungan yang sama denganku, dia pun melihat semua wanita
yang ada di sekelilingnya. Bagiku banyak di
antara wanita-wanita yang dilihatnya itu menarik perhatianku, namun ia selalu
mengatakan, ”Tidak ada yang kukagumi di sini.”
Tiba-tiba
sengaja ia melihat si dia si Hana yang selalu aku kagumi, datang dan
menghampiriku. Hana memang suka sekali ngobrol denganku dan menceritakan semua
tentang apa yang terjadi, tapi aku selalu berusaha menutupi perasaanku kepadanya,
sehingga ia merasa aku hanya seorang teman biasa.
Setelah
Hana pergi, dia pun bertanya pada ku tentang siapa Hana. Aku menjawab,
“Dia
Hana. Emang kenapa?” tanyaku. “Ah, nggak cuma tanya doang!” jawabnya ringan
sambil tersipu. Kamipun melanjutkan obrolan kami.
Keesokan
harinya, aku dan Ari pun kembali dalam suasana yang sama dalam suasana obrolan
ringan dan penuh canda. Tanpa sengaja, kami melihat Hana dari kejauhan,
berjalan dengan anggun. Kulihat Ari begitu tertarik dengannya, hingga akhirnya
ia pun meminta nomor HP-nya Hana pada ku.
Semenjak
kejadian itu mereka jadi sering saling sms, atau terkadang sesekali saling menelepon.
Hana selalu memberi tahu kabar terbaru mengenai hubungan mereka berdua. Walau sebenarnya
aku mengaguminya, tapi itu semuanya aku tutupi rapat-rapat. Kadang juga Hana menceritakan
kepadaku mengenai masalah-masalah yang mereka hadapi. Sebagai seorang sahabat,
aku hanya bisa memberikan pendapat sebisaku.
Saat-saat
akhir masa sekolah, aku menyempatkan untuk mengatakan sesuatu yang telah lama
aku simpan pada Ari. Aku mengatakan , “Sebenarnya aku telah menyukai Hana sejak
lama, bahkan sebelum kamu ada di antara kami. Tapi itu selalu aku pendam dan
berusaha menyimpannya, hingga tak seorangpun yang tahu.”
Dia
tersentak kaget, seolah tak percaya. Kemudian terdiam beberapa saat, menunduk
sambil menghela nafas dalam-dalam. “Maaf, jika aku merusak hubungan kalian,”
ucapnya dengan nada bersalah. ”Tidak. Justru kini dia senang dengan-mu, maka
jagalah dia seperti kamu menjaga tanaman kesayanganmu, dan peliharalah dia
seperti kamu memelihara tubuhmu sendiri. Kutitipkan dia untukmu,” ucapku dengan
berat padanya. Dia terdiam. “Sekali lagi maafkan aku. Aku tidak bermaksud, membuatmu
jadi tidak berarti. Baiklah… aku akan memenuhi keingi-nanmu. Aku akan berusaha
menjaganya selalu”. Kami berdua saling berpelukan, kemudian berjabat-tangan.
Ada sesuatu yang mengalir di dadaku, antara rasa perih, berat dan juga lega.
Aku tersenyum padanya. Lalu, kami
berpisah.
***
Sepuluh
tahun berlalu, Tanpa sadar, ketika menengok ke belakang, ternyata sudah samar
dan jauh. Ah… begitu sempurna rasanya. Semua mengalir dalam irama waktu. Aku sudah
lama tidak mengetahui kabar Hana begitu juga sebaliknya. Namun, kabar dari teman-teman
dulu Hana telah menikah dengan Ari (teman dekatku?)cowok yang meminta nomor hp
nya Hana dari ku. Aku pun hanya dapat berterima kasih padanya karena ku dengar
Hana selalu bahagia bersamanya dan berarti Ari telah menepati janjinya.
Aku
juga kini telah menjadi orang yang tentunya berbeda dibandingkan sebelumnya
saat masih SMA. Badan tegap dengan tinggi 176 cm serta paras wajah yang sejuk,
kata teman-temanku. Membuatku tidak mengalami kesulitan dalam mencari jodoh.
Terbukti saat ini aku telah menikah dengan seorang pramugari dari maskapai penerbangan swasta, karena
memang kini aku telah bekerja sebagai pilot di salah satu perusahaan maskapai
penerbangan terbesar di Indonesia. Aku telah menikah sejak dua tahun lalu dan
telah dikaruniai anak perempuan yang masih berumur satu tahun.
Hidupku
juga dapat dikatakan bahagia. Secara finansial, keluargaku
tidak mengalami kesulitan, selain itu juga dikarenakan Dila, istriku. Ia selalu membuat
suasana rumah menjadi nyaman. Toh, meskipun kini ia telah pensiun sebagai
pramugari namun, kecantikannya tak pernah memudar bahkan semakin indah jika kulihat.
Kini
dari hasil pernikahanku dengan Dila, aku telah dikarunia seorang anak perempuan
yang begitu lucu. Tapi Jujur, sampai
sekarang, aku masih teringat pada wajah anggun Hana. Bayangan wajahnya masih
membekas dalam ingatan. Meskipun aku sadar perasaanku ini tidak berdasar dan
salah, aku, tidak pernah menceritakannya pada sitriku.
***
Jam
kecil yang berada di atas meja berdering mengejutkan tidurku yang pulas. Aku
melihat jam telah menunjukan pukul 06.00 pagi. Aku segera bangun, mandi dan bersiap,
karena pagi ini ada jadwal terbang ke Seoul, Korea Selatan .
Aku
pamit pada Dila istriku sebelum berangkat ke Bandara. Tanpa terburu-buru, aku
membawa mobil sedan kesayanganku menuju Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Dalam
perjalanan, sambil mengendarai mobil sedanku yang sedang melaju di tol, aku
memutar lagu-lagu kesayangan yang mengingatkanku pada masa-masa SMA dulu, di mana
aku pernah bertemu dengan Hana.
Sampai
di bandara, aku langsung menuju kantor maskapai penerbangan dan check-in, dan melihat siapa yang menjadi
partner terbangku pada layar komputer.
Aku pergi menuju ruang briefing untuk
melakukan persiapan sebelum take-off. Aku briefing
bersama kapten Hanung Tanoesoedibjo. Beliau merupakan salah satu pilot senior
pada maskapai tempat aku bekerja. Maklumlah karena jam terbangku masih di bawah
3000 jam, sedangkan Kapten Hanung Tanoesoedibjo lebih dari 5000 jam, maka aku masih bertugas sebagai Co-Pilot.
Sambil
menunggu, aku putuskan untuk berjalan-jalan sejenak. Saat membeli soft drink, aku terpaku pada sesosok
perempuan yang duduk sendirian di salah satu bangku ruang transit penumpang.
Jantungku
berdegup aneh. Antara ragu dan penasaran. Aku terus memerhatikan perempuan itu,
sambil berjalan mendekatinya. Aku merasa terlempar kembali ke sepuluh tahun silam,
pada saat bangku SMA. Dalam hati-ku secara pasti mengatakan “itu kan Hana!”, tapi aku masih belum yakin betul.
Tidak lama kemudian ia melempar senyuman yang pada waktu sekolah selalu membuat
aku mengingatnya. Kemudian dalam hatiku aku bersorak “ya… dia adalah Hana!”, Tepat berada
di hadapannya, kemudian dia berdiri sambil tersenyum. Dengan keyakinan
penuh akhirnya aku bertanya, “Maaf, apakah anda Hana?” Aku merasa sedikit
gugup. Sesaat ia berpikir siapakah orang yang bertanya ini. “Iya . . . kamu
Andre kan?” Ia membalas bertanya. “Iya… benar! apa kabarmu?” sambil kuulurkan
tanganku hendak menjabat tangannya. ”Alhamdulillah… aku baik-baik saja,” jawabnya ramah sambil menjabat hangat tanganku.
Setengah
tak percaya dengan apa yang kualami saat itu. Alangkah kebetulan semua ini,
pikirku. Kami pun terus membuka obrolan kami. Mulai dari bertanya tentang kabar,
karir hingga hal-hal yang kecil.
Pembicaraan
lama- kelamaan mengarah pada pembicaraan mengenai keluarga masing-masing. Di sela-sela
obrolan kami yang belum tuntas tiba-tiba hpku berdering. Aku mengangkat hpku,
dan ternyata panggilan itu berasal dari kantor, menyuruhku untuk segera naik ke
pesawat. “Maaf ya Han! Aku harus segera naik ke pesawat,pesawatnya sudah harus
Take-off,” ucapku pada Hana. “Iya… Ndre nggak papa,” balas Hana. Dengan cepat,
kemudian aku menuju ke kantor mengambil tasku dan bergegas menemui kapten Hanung
Tanoesoedibjo, dan melihat kesiapan teknis pesawat, sejenak sebelum take-off.
Aku
dan Kapten telah sampai di ruang cockpit,
menyalakan semua sistem sebelum lepas landas. Sebelum pesawat bergerak menuju run way, aku menyempatkan diri menghubungi
istriku untuk pamit. Hal ini memang selalu kulakukan sebelum take-off.
Dari
Tangerang Indonesia, pesawat bertolak menuju Seoul Korea Selatan. Setelah sistem
auto pilot di aktifkan. Pilot dan co Pilot pun dapat melepas penat dengan
sedikit meregangkan otot-otot yang sedikit kaku akibat konsentrasi yang penuh
saat akan lepas landas. Para pramugari kemudian datang membawa makanan juga minuman dan beberapa makanan
ringan. Selama penerbangan tidak
terlihat ketegangan diatara para kru diruang co pit. Hingga pada saat pesawat
telah memasuki wilayah Korea Selatan, para kru kembali dengan tugas masing.
Pilot
dan co Pilot kembali dalam keadaan siap, kemudian posisi duduk di sempurnakan.
Auto plilot di non-active kan serta beberapa perangkat pesawat mulai diaktifkan
seperti roda pesawat mulai dikeluarkan sistem navigasi pada sayap pesawat mulai
diaktifkan serta kelajuan pesawat mulai diturunkan. Menandakan pesawat siap
untuk landing. Indahnya kota Seoul
telah terlihat di depan mata. Pesawat mulai berputar untuk mencari posisi lurus
pada jalur run way. Ketika koordinat
pesawat telah menunjukan koordinat 00 0’ 0’’ pada jalur run way, pesawat dengan perlahan mulai
menurunkan beban berat, yang dipikulnya
sejak dari bandara Soekarno-Hatta. Roda pesawat
telah menginjak run way, secara
perlahan, kami menurunkan kepala pesawat. Pesawatpun melaju dengan cepat
setelah roda depan menempal pada jalur run
way. Setelah beberapa ratus meter pesawat menginjak run way, Aku kemudian menarik tuas rem tangan pada pesawat secara
perlahan, hingga pesawat benar-benar dalam kondisi berhenti di landasan pacu.
Dengan
pelan, kami membawa pesawat menuju terminal penumpang dan merapat pada pintu
masuk bandara. Sesampainya pesawat di terminal penumpang, aku menghela nafas
panjang sambil mengucap, “Alhamdulillah”. Hal yang sama juga dilakukan oleh
kapten Hanung. Secara perlahan, penumpang pesawat mulai turun dari pesawat
menuju terminal penumpang. Setelah semua penumpang turun dan para Pilot
menonaktifkan semua perangkat sistem. Aku dan kapten Hanung, beserta semua kru, bergegas turun meninggalkan pesawat. Di bawah,
mobil khusus jemputan pilot telah datang. Aku dan Kapten Hanung pun naik pada
mobil tersebut, dengan pelan mobil yang kami tumpangi berjalan dan meninggalkan
pesawat semakin jauh dibelakang.
***
Sesampai
di terminal, aku dan kapten Hanung bergegas ke kantor untuk melapor. Selesai
melapor, kami diantar pada hotel tempat kru pesawat menginap.
Sesampai
di hotel, aku langsung menjatuhkan badanku ke spring bed hotel. Hingga aku tak sadarkan diri, karena sangat lelah.
Saat
tersadar aku melihat jam di kamar hotel telah menunjukkan pukul 7 petang. Berarti
aku telah tertidur sekitar 3 jam. Sontak dengan terburu-buru, aku segera
mengambil air wudlu kemudian shalat magrib. Selesai shalat, aku langsung mandi
dan bersiap untuk sekedar berkeliling
kota Seoul. Sebelum berjalan-jalan, aku menyempatkan diri untuk menelpon Dila,
Istriku.
Setelah
bertelepon dengan dila, lantas aku berjalan keluar kamar dan menuju lobby hotel
untuk menitipkan kartu kamar. Tanpa sengaja, pandanganku menangkap sesosok
wanita yang sedang asyik dengan telepon genggamnya. Sepertinya sosok ini tidak
asing, familiar. Aku merasa pernah melihatnya. Naluriku tidak salah lagi.
Setelah kuperhatikan dan kuamati dengan saksama, ternyata dia Hana. Ah, sebuah
kebetulan yang tidak disangka-sangka.
Dengan
perlahan aku mendekatinya. “Hai,,,,!”, suara ku memanggilnya dari jauh. Ia pun
dengan cepat mencari sumber suara itu. Sambil tersenyum dan melambaikan
tangannya ia pun membalas teguran ku “hai,,,!”.
“kok kamu bisa disini?”, sambil membuka perbincangan. Akhirnya kami pun
bercerita cukup lama. “eh Han, mau ikut aku jalan-jalan?”, ajaku padanya.
“boleh,” balasnya ringan sambil tersenyum.
Sambil
berjalan di sepanjang torotar dan menikmati udara malam yang sejuk, Hana memulai
bercerita tentang hidupnya. Tiba-tiba
dalam perbincangan ringan itu Hana terdiam, matanya yang bulat menerawang ke
depan. Ia
menarik nafas dalam-dalam. Berpaling ke arahku sejenak. Lalu dengan lirih dia berkata, Kau tahu? Ari,
suamiku…” Aku Bingung, “Ya, ada apa dengan suamimu?” aku merasa ada sesuatu
yang tidak beres. Aku gugup. ia menghela nafas dalam. Lalu terisak pelahan. Tak
terelakan lagi air matanya pun tumpah membasahi pipinya. Cepat-cepat diambilnya
tisu dari dalam tas mungilnya. “Ari, suamiku telah meninggal…” katanya pelan,
sambil terisak. Tiba-tiba jantungku seakan berhenti berdetak. Kaget
bukan main diriku mendengar apa yang diucapkannya. “A..apa?!” seruku setengah
tidak percaya. Aku benar-benar tidak menduga sama sekali. “Ya,musibah itu terjadi
beberapa bulan yang lalu. Pesawat yang ditumpanginya mengalami kecelakaan,”
Hana menahan kesedihannya. Tisunya mulai basah. Ia terisak, tubuhnya bergetar
menahan gejolak kesedihan batin yang dalam. Aku termangu. Tanpa sadar, kupeluk
dia. “Maaf, aku tidak bermaksud…” aku bergumam lirih dan tidak bisa meneruskan
perkataanku. Ia menangis di pelukanku. Aku tidak tahu apa yang kulakukan. Semua
seolah terjadi begitu saja. Hana dan Ari. Ah, kenapa waktu selalu saja tidak
berpihak? Aku merasa saat itu waktu seolah berhenti. Entahlah.
Aku berpikir, betapa semua hal itu memang
tidak terduga. Kini Ari telah tiada, dan Hana telah menjanda. Ah… apakah semua
ini memang sudah digariskan? Pikiranku berhenti di situ. Tidak bisa menjawab.
Malam terasa sejuk. Suasana yang nyaman. Orang-orang ramai berjalan, sepanjang
trotoar. Ada yang berpasang-pasangan.
Aku tidak mengerti apa yang dirasakan Hana saat ini. Aku teringat istriku di
rumah. Aku teringat semua hal yang menyenangkan dan nyaman. Tapi, Hana… sungguh
kasihan hidupnya. Perasaanku berkecamuk tak menentu.
Setelah
terdiam beberapa saat, Hana sudah kembali tenang. Berangsur-angsur ia bisa
menguasai emosinya. Wajahnya kembali cerah, meskipun bekas kesedihan masih
terlihat membekas di wajahnya yang putih dan halus. Hana tersenyum. “Maafkan
aku, terbawa suasana,” ucapnya pelan. “Tidak apa kok. Aku paham perasaanmu.
Semua ini memang terlalu berat untuk kamu tanggung sendirian,” ucapku. Ia
tersenyum. “Sudahlah. Aku sudah ikhlas menerima kenyataan ini. Semua ada
hikmahnya,” ia berusaha tegar dengan perkataannya. “Yah… aku yakin dirimu
sanggup menjalaninya,” ucapku. Hana mengangguk. “Ehm… kenapa kita tidak
membahas hal yang lain? Bukankah sebaiknya kita membahas hal yang lebih
konkret?” ia tersenyum sembari mengalihkan pembicaraan. “Maksudmu?” aku berkerut, tidak
paham dengan maksud perkataannya. Kemudian tiba-tiba, Hana menceritakan tentang
perasaannya kepadaku yang telah tumbuh sejak masa SMA dulu. Tiba-tiba jantungku
berdetak dengan begitu kencangnya. Tidak percaya dengan apa yang diucapkan Hana
kepadaku barusan. Aku bingung. Harus berkata apa. Grogi dan gugup. Aku teringat
istriku di rumah, anakku tercinta… ah.. jantungku berdegup kencang. Ada getaran
yang menjalar ke sekujur tubuhku. Perasaan aneh yang sama persis kurasakan,
ketika dulu pertama kali aku mulai kagum dengan Hana. Perempuan idamanku.
Sekarang, setelah berpuluh tahun, ia ada di hadapanku. Di luar dugaan, ia malah
mengatakan hal yang dulu kuanggap mustahil untuk kusampaikan padanya. Ahh… Tuhan
ada apa sebenarnya ini? Mulutku kelu, tak bias berbicara. Antara senang, gugup,
bingung. Aku menarik nafas dalam-dalam. Semua terasa kacau. Buntu.
Aku
terdiam. “Ndre, ada apa? Kok diam saja?” suara Hana mengejutkan lamunanku. “Ah,
ti..dak.. tidak ada apa-apa kok..” jawabku sambil tersenyum kikuk. Ia tersenyum,
melihatku salah tingkah di hadapannya. Setengah ragu, aku berkata, “Aku
sebenarnya… juga sama. Aku.. juga…” Aku pun
mengatakan hal yang selama ini kurasakan tentang dirinya. Ia memandangku penuh
makna. Matanya yang bulat, dan wajahnya yang lembut, tatapan yang membuat
diriku tak berkutik.
Dengan
sedikit tegas dan suara yang halus aku menceritakan tentang keadaanku kini. Aku
menceritakan padanya kalau aku telah menikah , dan memiliki putri yang masih
kecil. Ia terdiam. “Sebenarnya, aku masih berharap banyak padamu,” katanya
tiba-tiba. “Apa dan bagaimana kondisimu, aku terima,” katanya pelan, sambil matanya
tetap menatap ke depan. Aku diam, tidak bersuara. “Aku berharap kamu mau
menjadi pendampingku, setelah semua yang terjadi padaku ini Ndre..” kalimatnya
terputus. Ada sesuatu yang dalam mengalir dalam ucapannya. Ia mendesah. Aku
semakin bingung. Entah kenapa, kepalaku terasa buntu dan tidak mau berpikir
apa-apa.
Aku
tak dapat mengingkari janji yang telah kuucap di depan kedua orang tua Dila 2
tahun silam. Bayangan tentang istriku, putriku yang manis dan lucu, tiba-tiba
melintas di kepalaku. Bersamaan dengan perasaanku yang juga semakin tidak
karuan. Aku galau. Bimbang. Ya, Tuhan, kenapa semua ini menyerbu secara
tiba-tiba? Bayangan-bayangan itu seolah menyeretku ke dalam labirin dan pusaran
yang tidak berdasar. Dalam dan gelap.
Ahh.. Hana.. istriku… putriku…
bayangan-bayangan itu silih berganti datang. Seperti slide yang bergerak cepat, dan terus semakin cepat.
Tiba-tiba,
aku melihat sosok istri dan putriku tersenyum dan melambai kepadaku, sambil
memanggilku, “Ayah…”! Aku tersentak kaget. Tersadar dari lamunanku.
“Astaghfirullah..” aku bergumam pelan. Akhirnya dengan berat hati, aku katakan padanya,
“Hidup ini adalah pilihan! Kamu telah memilih dia sebagai pasangan hidupmu dan
aku juga telah memilih Dila sebagai pasangan hidup ku. Aku harap kamu mengerti
keadaanku saat ini Han..” Kami pun terdiam beberapa saat.
Hana
kemudian kembali bertanya padaku, “Andre, bagaimana jika aku bisa memutar waktu
kembali? Dan kuputar waktu ini di mana aku bertemu denganmu pertama kalinya?. Apakah
kamu mau menikahiku?” aku tidak langsung menjawabnya. “Bagaimana Ndre?” Ia
memegang lenganku penasaran. “Tidak, Hana!” balasku padanya. “Kenapa?” ia tidak
mengerti dengan jawabanku. Perlahan dilepaskannya tangannya dari lenganku. “Jangan
mengingkari takdirmu untuk menikah dengan Ari. Selain itu tidak mungkin bagimu
untuk memutar kembali waktu,” ucapku tegas padanya. Ia terdiam. Wajahnya
merebak merah. Tiba-tiba menitik air dari sela-sela bola matanya. Ia sedih
dengan apa yang baru saja kuucapkan. Aku kembali menjelaskan padanya kalau kita
tidak bisa seperti dulu.
Setelah
kejadian itu, Hana kini menjadi orang yang sangat depresi. Hana merasa hidupnya
sudah tak berarti lagi. Ketika Ari meninggal ia merasa masih bisa bangkit lagi
karena merasa masih mempunyai tambatan hati yang sejak lama dipendamnya, yaitu
aku. Dia mengira bahwa aku masih sendiri, dan ternyata tidak.
Kini
tak ada lagi harapan dalam dirinya. Semua telah pergi bersama waktu yang terus
berputar maju, dan tak bisa kembali walau hanya sedetik.
Aku
juga tak dapat melakukan apa-apa lagi karena itulah jalan hidupya yang dipilih.
Jalan hidup yang ia yakini pada awalnya, namun ia sesali pada akhirnya.
***
“Semua
berjalan bagaikan air yang mengalir di sungai, tapi sebenarnya tidak.
Semua
terjadi bagaikan dengan sendirinya tanpa ada yang mengatur, tapi sebenarnya
tidak.
Semua
yang indah terlihat seperti sesuatu yang datang dari surga, tapi sebenarnya
tidak.
Yang
sebenarnya adalah, kita lah yang mengatur Sesuatu, yang Menjadikan sesuatu, dan
yang Mengindahkan semua yang terlihat.
Karena
semua, kita lah yang telah memilihkan bukan dipilihkan orang lain
untuk hidup yang kita jalani sendiri.”
What a great story dude, keep it up !! *Cheers :D
BalasHapusthank you sob
BalasHapus