Karya : Anik Kusmiatun
Cinta adalah anugerah. Cinta adalah
fitrah manusia. Gelora cinta di masa muda seperti api yang menyala-nyala. Panas
dan penuh rahasia. Rasa cinta terasa indah bila tumbuh dari lubuk hati yang
paling dalam. Jika dua insan hatinya telah bertemu, dunia terasa milik berdua.
Sungguh malang nasibku hidup dalam
tembok penjara suci. Peraturan asrama dan sekolah melarang kami berpacaran. Di
sisi lain, ada yang mengatakan bahwa cinta tumbuh karena biasa. Kehidupan
sehari-hari di sekolah dan asrama hanya bertemu dengan teman-teman itu saja.
Sangat wajar jika cinta tumbuh di kalangan orang-orang dalam.
Semalam Bang Rafli dan Kak Lina
dipanggil ibu asrama. Mereka mengaku tidak ada hubungan spesial di antara
mereka. Namun laporan dari guru-guru dan teman-teman sekelasnya mengatakan
bahwa mereka ada hubungan khusus. Akan tetapi hubungan itu adalah hubungan
tanpa status. Bu Dita sebagai ibu asrama pun sudah lama mengetahui keberadaan
pasangan muda ini. Karena demi menegakkan peraturan asrama, beliau menyidang
mereka berdua.
Sebenarnya masih banyak
pasangan-pasangan yang tidak tampak di permukaan. Biasanya mereka janjian
bertemu jalan berdua ketika hari minggu. Saat libur kami diberi kesempatan
untuk keluar dari asrama. Kami mendapat kesempatan keluar dari ba’da Dhuhur
sampai pukul 17.00. Tempat favorit para pasangan itu adalah di warung mie so.
Siang ini kami para lajang tidak
keluar asrama. Aku, Bang Ghafur, Fadhil sedang duduk di belakang rumah idaman
sambil menikmati hamparan laut biru. Kami termenung meratapi kesendirian.
Sebenarnya banyak yang suka sama Fadhil. Mukanya
lumayan keren, mirip keturunan arab campur aceh. Kulitnya lumayan bersih.
Hidung mancung, rambut ikal, badan tinggi tegap berisi.
“Dhil, kenapa kamu nggak terima Riana
saja?” tanya Bang Ghafur.
“Banyak yang ngefans kamu tinggal
pilih saja.”
Fadhil tersenyum, “Nggak ada yang
menarik buatku. Mendingan Bu Wiga.”
“Apa? Kamu suka sama Bu Wiga? Nggak
salah, Dhil?”
“Memangnya kenapa? Bu Wiga juga masih
muda, cantik lagi.”
“Beliau kan lebih tua dari kamu,
Dhil.”
“Khadidjah dan Nabi Muhammad selisih
usianya juga jauh.”
Aku dan Bang Ghafur tidak bisa menahan
tawa. Kisah cinta terlarang murid dengan guru. Pantas saja Fadhil semangat
sekali saat mengikuti pelajaran kimia. Bahkan demi mendapatkan perhatian Bu
Wiga, kadang-kadang Fadhil pura-pura tidak memperhatikan supaya Bu Wiga
mendekatinya.
Sampai kelas XII, Bang Ghafur belum
pernah dekat dengan salah seorang siswa putri. Alasannya dia selalu grogi jika
berhadapan dengan perempuan. Satu-satunya perempuan yang cukup dekat dengan
Bang Ghafur adalah Bu Indah, guru kimia juga seperti Bu Wiga.
Kebanyakan guru-guru di sekolah kami masih berstatus
lajang. Apalagi guru-guru kontrak yang didatangkan dari Jawa masih muda-muda
dan lajang semua. Ada Pak Edi, Pak Hadi, Pak Hilal, Bu Indah, Bu Ika, Bu Wiga
dan Bu Ani. Guru dari Jawa yang sudah berkeluarga hanya Pak Agus.
Beberapa pasangan kelas XI dan XII awalnya hanya
taruhan dan akhirnya berlanjut sampai sekarang. Berkali-kali bapak dan ibu
asrama mengingatkan bahwa peraturan di sekolah ini tidak diperbolehkan pacaran.
Bagaimana pun juga darah muda para remaja tak bisa
dicegah. Meskipun di dalam lingkup asrama tidak berduaan, setelah keluar ada
yang sering janjian saat libur tiba. Sungguh aneh tapi nyata.
“Ja, kamu nggak tertarik dengan adik-adik kelas kita
yang cantik-cantik itu? Kulihat sepertinya kamu lumayan dekat dengan gadis
Labuhan Haji itu?” goda Bang Ghafur.
“Gadis yang mana, Bang? Intan Purnama Putri? Ah…nggak
banget.”
“Bukan, anak kelas X itu lho… Resva Diany. Aku pernah
melihatmu boncengan waktu hari minggu keluar asrama.”
“Alah…Bang Ghafur salah lihat mungkin.”
“Mataku tidak salah melihat.”
Fadhil senyum-senyum sendiri. Hanya dia yang tahu
tentang hubunganku dengan Resva. Perasaan cinta itu muncul berawal dari taruhan
ulangan matematika. Kalau nilai Fadhil lebih rendah dariku, dia harus berpura-pura
menyatakan cinta pada Finny, anak kelas X juga. Sebaliknya jika nilaiku lebih
rendah dari Fadhil, aku harus bisa merebut hati gadis imut itu, Resva. Hasil
ulangan matematika dibagikan, nilaiku di bawah Fadhil. Aku harus membayar
hutangku pada Fadhil. Gadis asli Labuhan Haji itu berparas cantik dan imut.
Kulitnya putih, hidung mancung, matanya bening, sejuk dipandang mata. Selain
itu, dia juga pintar. Semester kemarin dia mendapat peringkat dua.
Aku masih ingat betul betapa groginya aku saat pertama
kali berhadapan dengan Resva. Waktu itu kami sama-sama mengikuti bimbingan
intensif tim LCC UUD di halaman rumah idaman. Selesai bimbingan, aku janjian
dengan Resva di belakang rumah idaman.
Aku duduk di batu yang jaraknya sekitar 2 meter dari
Resva. Lama sekali aku berpikir untuk merangkai kata-kata yang puitis. Lidahku
kelu. Kalimat itu sulit sekali keluar dari tenggorokanku.
“Ehm…Va, abang mau menyampaikan sesuatu.”
“Iya, ada apa Bang?”
“Sebelumnya aku minta maaf, kamu mau tidak jadi
temanku?”
“Bukannya kita sudah berteman sejak dulu? Kita kan
satu tim untuk lomba besok? Memangnya ada yang salah dengan Resva selama ini,
Bang?”
“Oh, tidak.” Pikiranku bingung. Bagaimana caranya
menyampaikan kata-kata itu. Keringat dinginku mulai membanjiri sekujur tubuhku.
“Begini Va, maksudku mau nggak kamu jadi teman dekatku?”
Sesaat kulirik Resva yang tertunduk malu. Mukanya yang
putih seketika berubah memerah. Lebih tepatnya merah jambu. Dia tidak langsung
menjawab. Mungkin dia kaget mendengar kalimat yang baru saja kusampaikan
padanya.
“Kalau memang Resva baik untuk Bang Oja begitu juga
sebaliknya, Resva terima permintaan Abang.”
Aku lega sudah bisa mengutarakan kalimat-kalimat itu.
Aku bukan tipe orang yang romantis. Tidak ada kata-kata puitis yang keluar dari
lidahku. Hutangku dengan Fadhil sudah lunas.
Awalnya aku berpikir bahwa kalau aku tidak melanjutkan
hubungan itu, aku akan melukai perasaan Resva. Daripada nanti dia sedih dan
prestasinya menurun, kulanjutkan saja hubungan ini. Sebisa mungkin aku
merahasiakan cinta terlarang ini. Pasalnya, kalau sampai bapak asrama tahu
hubunganku dengan Resva, aku bisa mendapatkan konsekuensi.
Guru yang cukup dekat denganku adalah Pak Hadi. Beliau
sudah kuanggap seperti abangku sendiri. Setiap ada masalah tentang perempuan,
aku selalu konsultasi dengan beliau. Pak Hadi pernah punya pengalaman ditolak
inong Aceh. Sakit rasanya ditolak gadis pujaan hati. Itulah sebabnya aku juga
tidak ingin melukai perasaan Resva.
***
Sepandai-pandainya kita menyimpan bangkai, pasti
tercium juga. Kakak-kakak kelas XII sudah tahu kalau Resva dekat denganku.
Meskipun kami jarang terlihat duduk berdua di lingkungan sekolah, komunikasi
kami lumayan intensif. Setiap hari kami bertemu di sekolah. Resva sering
menulis surat untukku. Salah satu isi suratnya yang diberikan padaku saat aku
sakit seperti ini :
Assalamu’alaikum,
Bang, maafkan
adik yang tidak bisa merawat saat Abang sakit.
Abang harus
tetap sabar karena sakit adalah cobaan dari Yang Kuasa.
Semoga lekas
sembuh ya, Bang.…
Selang tiga hari aku sudah sembuh. Ketika jam
istirahat kami bertemu di kantin. Kulihat hari demi hari dia semakin terlihat
dewasa. Berbeda dengan teman-temannya yang masih kekanak-kanakan. Kubalas
senyumnya dengan senyuman pula. Kami tidak banyak bicara ketika di depan umum.
Hari minggu tiba, aku mengajaknya makan di warung mie
so. Dia senang sekali sambil cerita-cerita tentang rencana masa depannya. Dia
tahu kalau aku besok setelah lulus SMA ingin melanjutkan ke STAN (Sekolah
Tinggi Akuntansi Negara) mengambil bidang perpajakan. Dia menyatakan mau jika
suatu saat nanti aku tamat dari STAN dan ditugaskan di mana pun, dia akan
mengikuti kemana aku pergi. Cintanya padaku begitu tulus. Pikirannya sudah
sampai jauh menerawang masa depan. Jujur saja, aku belum tahu apakah dia betul-betul
jodohku atau tidak. Aku takut kalau dia bukan jodohku, apakah dia akan merasa
kecewa di kemudian hari? Entahlah….
***
Berita kedekatan kami tersebar luas di kalangan semua
siswa. Ternyata bapak dan ibu asrama juga sudah tahu. Malam ini kami berdua
dipanggil untuk menghadap Ustadz Bustanul dan Bu Dita. Karena mendadak Ustadz
Bustanul ada undangan ceramah di luar, maka Bu Dita yang menangani.
Kami dipaksa untuk jujur mengakui bahwa di antara aku
dan Resva ada hubungan khusus. Karena sudah terdesak, akhirnya aku mengatakan
semuanya dengan jujur. Termasuk latar belakang aku menyatakan cinta kepada
Resva. Semua berawal dari taruhan ulangan matematikaku dengan Fadhil.
Aku duduk di sebelah Resva menghadap Bu Dita. Di
ruangan itu hanya ada aku, Resva dan Bu Dita. Kesempatan kedua Resva diminta
mengatakan hal yang sebenarnya pada Bu Dita. Belum sampai Bu Dita selesai
bicara, Resva sudah menangis. Lama-lama tangisnya semakin manjadi.
Bu Dita merengkuh tubuh Resva dan memeluknya. “Sudah,
jangan menangis…Ibu senang kalian mau jujur di hadapan ibu.”
Tangisan Resva semakin kuat. Aku iba melihatnya.
Mungkin ada kata-kataku yang salah sehingga menyinggung perasaan Resva. Urusan
pribadiku dengan Resva tidak mungkin kuselesaikan di depan Bu Dita.
“Oja, kamu janji tidak akan mengulangi perbuatan ini
lagi ya.” Kata Bu Dita tegas.
“Iya, Bu. Saya juga minta maaf.”
Malam penyidangan berakhir mengharukan. Aku kembali ke
asrama putra dan Resva bersama Bu Dita kembali ke asrama putri. “Semua ini
gara-gara Fadhil !!!” batinku kesal.
Lewat jam sebelas malam teman-teman sekamarku sudah
terlelap. Aku langsung merebahkan diri di atas kasur. Sedih sekali rasanya
melihat Resva yang menangis karena aku. Kalau dipikir, aku juga salah.
Perasaanku selama ini berawal dari keterpaksaan membayar hutangku pada Fadhil.
Akan tetapi Resva menanggapinya serius. Cinta memang buta.
***
Keesokan paginya, waktu sarapan pagi kulihat mata
Resva masih sembab. Wajahnya yang ceria berubah total dipenuhi kabut duka lara.
Dia terlihat tidak berselera makan.
Semalam sudah kutulis sepucuk surat untuknya. Aku
belum berani memberikannya langsung padanya. Karena Bu Ani juga tahu hubunganku
dengan Resva, maka kutitipkan saja surat itu pada Bu Ani yang mau mengajar di
kelas X pada jam pertama.
“Maaf, Bu. Saya mau minta tolong sampaikan surat ini
ke kelas X.”
“Surat ijin siapa yang sakit?”
“Bukan surat ijin sakit, Bu. Mau minta tolong titip
surat saya untuk Resva. Saya sudah bersalah dengannya, Bu.”
“Oh…iya nanti saya sampaikan ke Resva.”
“Terima kasih, Bu.”
Perasaanku sedikit lega. Kira-kira apakah Resva masih
mau berteman denganku atau tidak ya?
Sejak jam istirahat pertama Resva ijin pulang ke
asrama karena pusing dan badannya panas. Finny mengantarkan Resva istirahat di
kamarnya. Dia segera membuka surat yang diberikan Bu Ani.
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Sudah fitrah
manusia memiliki rasa cinta pada lawan jenis. Cinta akan bersatu jika ada
kehendak Allah yang menakdirkannya untuk bersatu. Cinta bertepuk sebelah tangan
memang terasa begitu menyakitkan.
Abang yakin,
ketika membaca surat ini, adik masih marah dengan abang. Kejadian semalam
menjadi pelajaran kita bersama. Abang betul-betul minta maaf dari lubuk hati
yang paling dalam. Bukan maksud abang ingin mempermainkan perasaan adik tetapi
mungkin Allah belum menakdirkan kita untuk bertemu. Terima kasih atas cinta
tulus yang adik berikan selama ini. Abang mengaku salah belum bisa membalas
cinta adik dengan perasaan yang sama seperti apa yang adik berikan kepada
abang. Sekali lagi abang minta maaf yang sebesar-besarnya.
Abang hanya
manusia biasa yang masih banyak kekurangan. Abang selalu mendoakan adik, semoga
kelak ada pangeran yang jauh lebih mulia dan pantas bersanding dengan adik.
Sekarang kita
masih SMA. Masa depan kita masih panjang. Alangkah lebih baik jika masa-masa
ini kita gunakan untuk sebanyak mungkin mengukir prestasi. Abang berharap adik
tidak sedih lagi. Abang tahu kalau luka di hati sulit untuk disembuhkan. Hanya
dokter cinta-lah yang bisa mengobatinya.
Suatu hari adik
pernah berkata kepada abang :
Love is not loving the perfect person. It’s about
loving an IMPERFECT PERSON PERFECTLY.
Sesungguhnya
ada Dzat Yang Maha Sempurna yang lebih utama untuk kita cintai. Teruslah
semangat belajar, hadapi semua cobaan dengan hati yang lapang, semoga masa
depan adik semakin cemerlang.
Permintaan
terakhir dari abang, maafkanlah abangmu ini yang banyak salah dan khilaf…
semoga kita masih tetap bisa berteman seperti biasanya.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
Oja
Air mata Resva membasahi pipi. Dia menangis
tersedu-sedu. Tembok putih kamar menjadi saksi bisu atas permintaan maafku yang
tulus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar