“Krrrrriiiiiiiiiiiiiing”,
bel pertanda jam pelajaran usai pun telah berbunyi. Semua siswa mulai memasukan
segala perlengkapan sekolah masing-masing. Guru pun meminta ketua kelas untuk
menyiapkan kelas sebelum siswa beranjak meninggalkan kelas.
Setelah
kelas disiapkan, satu persatu siswa pun mulai keluar kelas. Dari kelas lain pun
tampak mulai kelauar kelas mereka dan segera menuju ke tempat parkir motor.
Memang mayoritas siswa dari sekolah ini adalah siswa dengan kemampuan ekonomi
menangah ke atas hingga tak heran banyak motor yang berbaris rapih dipelataran
sekoalah.
Hari
tampak mendung dan sepertinya akan segera turun hujan. Tapi teman-teman kelas
ku ini hendak menjenguk salah satu teman yang sedang sakit. Diantara mereka ada
yang setuju ada pula yang tidak, dan saya adalah salah satu orang dari pihak
yang tidak setuju. Saya beralasan bahwa cuaca lagi kurang bagus dan juga
mungkin dirumahnya juga sedang turun hujan. Diantara mereka pun ada yang tidak
setuju dengan pendapat saya. Hingga hujan mulai turun satu persatu dari langit.
Walau memang dugaanku tepat tapi mereka masih bersikukuh untuk pergi
menjenguknya.
Akhirnya
saya pun mengikuti apa yang menjadi keinginan mereka yang mayoritas. Dalam hati
saya sebelum berangkat masih ada sesuatu yang terganjal dalam hati ini. Walau
hujan telah berangsur-angsur berhenti. Aku pun bersiap-siap dengan teman yang
lain dan mengambil motor diparkiran.
Beberapa
orang dari kita masih menunggu teman yang lain mengambil kendaraan mereka. Dan
beberapa diantara kami ada yang pergi duluan. Aku pun termasuk kedalam
rombongan yang pergi duluan. Alhasil kita menjadi terpecah menjadi beberapa
kelompok. Masing-masing dari kami membawa tumpangan masing-masing dan saya
menggonceng teman saya namanya Dian. Saya dan Dian serta beberapa motor lain,
pergi duluan dan berharap mereka (teman-teman yang lain) akan menyusul.
Dalam
perjalanan pun kami sudah mulai berpisah, hingga tertinggal saya dan Dian dalam
satu motor yang ku kendarai serta Amel dan fauziah dalam motor yang berbeda. Di
perjalan sengaja saya tidak memacu kendaraan saya dengan kencang karena
berharap teman-teman yang tertinggal dibelakang dapat menyusul.
Dalam
perjalan saya bertanya pada Dian.
“Dian
kau bawa uang tidak?”
“ada,
emang buat apa?”,
“ah
tidak siapa tau ada es kelapa dijalan kah?haha”, sambil tertawa saya membalas
jawabannya.
“ah
kau nih”, balasnya.
“tidak,
siapa tahu kan ada apa-apa dijalan, kebetulan saya lagi tidak bawa uang jadi”
“oh
ia sudah”,
Kini
kami telah sampai di depan saga. Saya melihat kebelakang tidak ada anak-anak
yang lain, hanya ada Amel dan Fauziah yang berada dalam satu motor.
Tiba
di lampu merah Kuda laut, saya menjadi bingung harus lewat mana. Apakah saya
belok kanan yang berarti naik tanjakan, atau lurus yang malah lebih jauh.
Lampu
berganti warna menjadi kemudian dengan perasaan ragu-ragu saya mengambil jalan
lurus dengan anggapan semoga teman-teman yang dibelakang bisa ketemu dijalan.
Dengan kencang ku mulai mengemudikan motorku. Hingga kulihat dari kejauhan ada
polisi ditengah jalan dan mulai menghalau kendaraan roda dua yang melintas. Aku
langsung panik karena memang dompet tidak ku bawa, karena tidak kepikir akan
menjenguk teman yang sedang sakit. Dan sudah dapat ku pastikan bahwa di depan
sedang ada razia kendaraan roda dua. Dengan perlahan pun aku mulai menurunkan
kecepatan motor dan mulai mendekat ke petugas pemeriksaan.
Hingga
kami tepat berada di sampingnya. Kulihat motor yang ditumpangi Amel turut
berhenti dibelakang motor ku. Motor pun ku parkirkan di tepi jalan dan seorang
polisi menghampiri motor saya dan Amel.
“selamat
siang?”,tegur petugas.
“siang
pak,”balas ku dengan perasaan gugup.
“bisa
tunjukan surat-surat motor?”,
“bisa
pak?”,
Dengan
perlahan ku buka jok, dan ku ambil STNK.. Memang motorku yang ini STNK-nya
selalu kusimpan dibawah jok motor, agar jika ingin bepergian tinggal dompet
yang kubawa karena SIM, ku letakan dompet ku. Di belakang motor ku Kulihat Amel
sedang melaukan hal yang sama.
Sambil
menunjukan STNK-nya.
“ini
pak STNK-nya?”, sambil ku berikan padanya.
“SIM-nya?”,
mintanya padaku.
“maaf
pak, tadi saya buru-buru jadi lupa membawa SIM-nya pak”, jawab ku dengan raut
muka yang tegang.
“wah
tidak bisa begitu, kalau begitu kamu ikut saya.”
Dengan
wajah percaya diri dia membawa saya ke bagian administrasi, dimana tempat
pembayarannya dilakukan di cup (penutup mesin) mobil dinasnya.
“permisi
komandan, dia tidak membawa SIM dan belakang tidak pakai helm.”
“baik,
simpan kunci motornya disitu”.(di atas cup mobil) bersatu dengan kunci motor
lain yang kena tilang.
Ditempat
pembayaran administrasi sudah banyak orang dengan berbagai macam pelanggarannya
masing-masing. Ku lihat wajah dari polisi yang memberikan surat tilang kepada
orang-orang yang kena tilang, cukup familiar bagi saya. Saya mulai berpikir
siapa orang ini. Hingga akhirnya ku tahu bahwa dia adalah orang tua murid di SD
yang dulu bapak saya mengajar. Saya berpikir sejenak, apakah saya harus
melaporkan pada bapak saya agar motor saya bisa bebas, tapi sekarang bapak saya
juga sedang sakit di rumah sakit dan memang sudah tidak mengajar lagi di SD
tersebut. Jadi, sepertinya lewat jalur tersebut tidak bisa.
Ku
lihat juga di tempat itu banyak yang hanya membayar kepada polisi itu, dan kemudian
kunci motornya bisa diambil. Ada juga orang pemerintahan yang dengan mudah
motornya keluar dari tempat tilang,padahal surat-surat kendaraannya tidak
lengkap tak luput dari pandangan ku juga seorang tentara yang bebas kena
tilang, “mungkin karena seragamnya ya?”dalam hati ku berucap. Hingga ada orang
yang membisikan sesuatu ke telinga saya.
“ade,,,
ko kalau ada uang seratus atau seratus lima puluh, kau kasih saja sama petugas.
Nanti ko motor bisa keluar.”
Sejenak
saya berpikir. Bagaimana saya mau bayar, uang saja say tidak punya tapi kalau
saya ambil uang dulu, masalahnya mungkin akan lebih repot lagi.
Kemudian
amel mendekati saya dan berbisik.
“go,,,
kalau kau mau, saya ada uang 300 ribu, tapi nanti kau ganti, tapi kau juga yang
ngomong boleh”
“ia
sih mel, saya mau saja ganti. Tapi ngomongnya itu gimana?”. Saya semakin
bingung dan kulihat teman-teman yang lain pun bingung tidak tahu harus berbuat apa, mereka terlihat
dengan wajah tegang mereka dan sesekali bertanya pada ku “go bagaimana ini?”,
yang membuat suasana menjadi semakin tegang.
Saya
pun semakin bingung harus berbuat seperti apa?. Apakah harus membayar kepada
petugas, atau mengikuti prosedur dengan menandatangani surat tilang. Hingga
akhirnya karena hanya tertinggal saya
dan teman-teman saya di TKP. Saya pun dengan pasrah mendekati petugas.
Tiba-tiba
hujan pun kembali turun. Dan petugas meminta kami untuk mengurus motor kami di
kantor polisi pos kuda laut. Motor-motor tilangan yang masih bermasalah mulai
dibawa petugas ke kantor polisi yang dimaksud termaksud motor saya dan teman
saya. Karena penuntasan masalah harus di kantor saya pun meminta STNK saya dari
petugas, dan mereka memberikannya kepada saya.
“go?jadi
kita harus bagaimana?”, Tanya amel yang terlihat bingung dan panik.
“mel
ada bapak mu tidak?”,(bapaknya seorang PM).
“bapak
saya lagi di jawa, nikahkan kakak saya”
saya
baru ingat kalau memang kelurga mereka lagi di luar kota.
“kalau
begitu ada orang rumahmu yang bisa bantu kita tidak”, Tanya ku pada amel.
“oh
ada, tetangga ku”,
“kalau
begitu kita ke rumah mu sudah”, ajak saya.
“iya
dah, ayo ”, jawab amel sambil tersenyum.
Akhirnya
kami berempat, memutuskan untuk pergi ke rumah Amel. Dalam perjalan saya
berpkir mungkin ini, yang membuat saya begitu menolak untuk pergi ke rumah
teman saya itu. Padahal biasanya tidak pernah saya merasa bertentangan dengan
yang lain, mungkin pernah tapi kok tidak sekuat ini keenggananan saya untuk
pergi, walau akhirnya saya tetap pergi dan kena razia kendaraan.
“eh
kau bawa uang toh?”, Tanya saya pada Dian.
“ia
bawa”
“maksud
saya ini, tadi saya merasa akan terjadi sesuatu, makanya tadi saya Tanya kau
waktu di motor”.
“oh
ia ia,heheh”. Dengan tertawa ia membalas.
Sesampai
di depan halte doom kita berempat turun, uang angkot telah Dian kasih ke Amel
tanpa sepengetahuan ku. Ketika Amel turun dan
kita semua telah turun. Supir berteriak kepada kami dan meminta uang
angkot. Saya kaget dan bingung, karena saya tahu Dian yang membawa uang, maka
saya minta Dianuntuk membayarnya. “uangnya ada di Amel!” balas Dian dengan
panik. Kulihat Amel sudah berada di seberang jalan. “mel uangnya?”, teriak
fauziah pada Amel. Amel pun belum berbelik hingga beberapa panggilan. Dengan
cepat kusuruh Dian untuk membayarnya dengan uangnya yang lain, dengan tagkas
pula ia merogoh kantong bajunya dan mengeluarkan uang ribuan untuk membayar
angkot.
Setelah
membayar kami bertiga menyeberang dan menghampiri Amel yang berdiri menunggu
kita. Kulihat sandalnya pun putus dan ia pun langsung membuang sandal yang ia
pakai. Ku hampiri Amel dan ku bilang padanya.
“Wah amel sudah eror nih”.
Setelah
turun dari angkot dan menyeberang jalan kami masih harus menaiki gunung yang
memang rumahnya berada di atas gunung, atau penduduk setempat biasanya
menyebutnya dengan istilah puncak bahari. Kulihat teman-teman hanya terdiam
tanpa guyonan-guyonan yang terdengar, entah apa yang sedang ada dalam
pikirannya saya tidak tahu. “apa mungkin mereka masih gugup?”, ucap ku dalam
hati.
Selangkah
demi langkah, hingga akhirnya kami sampai juga di tempat berteduhnya Amel dan
keluarga. Disana terlihat rumah yang tersusun berbanjar yang salah satunya
adalah rumah Amel.
Kami
pun semua duduk di teras rumah Amel yang juga cukup sejuk, disana kami berempat
sejenak melepaskan kepenatan akibat menaiki gunung ke rumahnya yang cukup curam
dan berkelol. Sebungkus nissin krispi pun di keluarkannya untuk sedikit
mengganjal perut yang kosong.
“eh
makan ini dulu”, tawar amel sambil membawa sebungkus nissin krispi.
“ia,,
mel”, jawabku.
“eh
ayo, makan, makan!”, ucap Dian. Sambil membuka dan mengambilnya.
“ia,”balasku
singkat, karena memang masih memikirkan tentang bagaimana motor ku dan motornya
amel bisa keluar.
Tiba-tiba
tetangganya yang tepat tinggal disamping rumahnya amel datang menghampiri kami
bertiga, karena pada saat itu fauziah sedang berada di dalam rumahnya amel.
“kalian
kenapa?”, Tanyanya pada kami.
“motor
kena tilang”, jawab amel, sambil mencoba menghubungi bapaknya dengan telepon genggamnya.
“wah?dimana?”,
“di
depan usaha mina”, balas amel.
“nanti
suruh bapaknya cika sudah yang ambil”, tawarnya.
“ia
tante, ini juga lagi telepon bapak.”
Kemudian
amel pun terhubung dengan bapaknya. Dan ia kemudian menceritakan apa yang telah
terjadi. Cukup lama amel berbicara dengan bapaknya yag sedang berada di luar
kota. Hingga ia menutup teleponnya dengan senyum.
“kenapa
mel?”, Tanya fauziah.
“bagaimana
mel”, Tanya Dian.
“saya
bapak bilang, nanti bapak saya telepon
temannya untuk ambil motor.”
“bener
mel?”, Tanya ku.
“ia”,
Suasanan
pun kembali mencair dan canda-candaan pun mulai keluar kembali. Yang tadinya
anak-anak pada diam seribu bahasa menjadi ribut seperti seakan-akan masalah
telah selesai padahal motorpun belum kulihat terparkir.
Beberapa
saat kemudian mobil polisi militer keluar dari arah pangkalan dengan begitu
kencang. Dan berhenti tepat di rumahnya Amel. Kami semua berdiri dan melihat
kearah mobil tersebut.
“ame
kau motor ditangkap dimana?”, Tanya salah satu PM yang berada didalam mobil.
“di
depan usaha mina, om ambil kah!sama teman saya punya juga”, pinta amel.
“kau
motor plat nomor berapa sama teman mu punya juga”,
“om
ada STNK-nya nih”, tawar ku padanya.
“oh
ia sudah lebih bagus lagi”,
Saya
pun mengantarkan STNK-nya saya dan Amel tidak lupa helm juga saya naikan ke bak
mobilnya. Setelah mendapat STNK dan helm dengan segera mereka meluncur ke
kantor polisi kuda laut. Rasa lega kembali ku rasakan setelah benar-benar motor
ku di urus untuk di keluarkan.
Dari
kejauhan kulihat seorang tentara datang dan menghampiri kami.
“kenapa
ame?”,
“saya
motor kena tilang di depan usaha mina?”, pungkas amel.
“baru
kau tanda tangan surat tilang tidak?”
“tidak
kayaknya,”sambil melihat kearah ku.
“tidak
om, tadi sempat mau tanda tangan tapi keburu hujan, jadinya tidak jadi.”
“jangan
tanda tangan, kalau kau sudah tanda tangan surat tilang, kau harus bayar sesuai
pelanggaran mu”,
“oh
ia”, jawab ku.
mendengar
penjelasannya saya baru mengetahui kalau kita jangan menandatangani surat
tilang jika mau bebas tanpa terkena denda seperti ini.
Lama
kelamaan, teman-teman mulai lelah menunggu motor yang tak kunjung datang.
Mereka kemudian masuk ke rumahnya amel dan mulai menyalakan televisnya. Kulihat
jam di dinding telah menunjukan pukul setengah empat dan motor pun belum ada
tanda-tandanya telah kembali. Kami mulai merasa bosan dengan keadaan ini.
Terlebih saya, saya merasa khawatir dengan motor saya. Dalam hati apakah motor
saya telah keluar dari kantor polisi dan mungkin ada apa-apa dijalan. Kulihat suasana hening kembali tercipta
diatara kami. Sesekali kami hanya mengomentari ikan hias peliharaannya amel
atau acara yang ada di tv.
Kulihat
jam di dinding hampir menginjak pukul setengah lima, dan kami masih berada di
rumahnya amel. Sejak tadi hingga kini kami selalu di kagetkan oleh suara motor
yang melintasi rumah amel, dan selalu berharap bahwa motor kamilah yang datang
itu.
Tiba-tiba
ku dengar dari bawah ada suara motor yang tidak asing di telinga naik dengan laju.
Ternyata tepat, motor ku akhirnya datang juga dengan diikuti motornya amel dari
belakang. Raut wajah senang pun tak dapat terhindar dari kami berempat.
Motor
tepat berhenti di rumahnya amel dan tentaranya menyerahkan kunci motor dan
STNK-nya kepada ku yang langsung menjemput kunci motor ku.
“makasih
pak”, ucapku pada tentara yang membawa motor ku.
“ia
sama-sama”, balasanya ringan sambil kembali ke pangkalan mereka.
Dengan
lega saya pun kembali ke rumah amel untuk bersiap-siap pulang. Saya pulang
dengan menggonceng Dian dan mengantarkannya ke asrama sekolah kerena memang ia
tinggal disana dengan beberapa anak averos lainnya. Setelah mengantarnya, saya pulang dengan
perasaan lega dan puas dengan apa yang baru saja ku alami, dan mungkin ini akan
menjadi pengalaman lucuku bersama mereka di waktu berseragam putih abu-abu.
Ini kisahku, apa
kisahmu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar