Sabtu, 25 Februari 2012

Pengalaman Berempat

Unknown | Sabtu, Februari 25, 2012 |


                “Krrrrriiiiiiiiiiiiiing”, bel pertanda jam pelajaran usai pun telah berbunyi. Semua siswa mulai memasukan segala perlengkapan sekolah masing-masing. Guru pun meminta ketua kelas untuk menyiapkan kelas sebelum siswa beranjak meninggalkan kelas.
                Setelah kelas disiapkan, satu persatu siswa pun mulai keluar kelas. Dari kelas lain pun tampak mulai kelauar kelas mereka dan segera menuju ke tempat parkir motor. Memang mayoritas siswa dari sekolah ini adalah siswa dengan kemampuan ekonomi menangah ke atas hingga tak heran banyak motor yang berbaris rapih dipelataran sekoalah.
                Hari tampak mendung dan sepertinya akan segera turun hujan. Tapi teman-teman kelas ku ini hendak menjenguk salah satu teman yang sedang sakit. Diantara mereka ada yang setuju ada pula yang tidak, dan saya adalah salah satu orang dari pihak yang tidak setuju. Saya beralasan bahwa cuaca lagi kurang bagus dan juga mungkin dirumahnya juga sedang turun hujan. Diantara mereka pun ada yang tidak setuju dengan pendapat saya. Hingga hujan mulai turun satu persatu dari langit. Walau memang dugaanku tepat tapi mereka masih bersikukuh untuk pergi menjenguknya.
                Akhirnya saya pun mengikuti apa yang menjadi keinginan mereka yang mayoritas. Dalam hati saya sebelum berangkat masih ada sesuatu yang terganjal dalam hati ini. Walau hujan telah berangsur-angsur berhenti. Aku pun bersiap-siap dengan teman yang lain dan mengambil motor diparkiran. 

 
                Beberapa orang dari kita masih menunggu teman yang lain mengambil kendaraan mereka. Dan beberapa diantara kami ada yang pergi duluan. Aku pun termasuk kedalam rombongan yang pergi duluan. Alhasil kita menjadi terpecah menjadi beberapa kelompok. Masing-masing dari kami membawa tumpangan masing-masing dan saya menggonceng teman saya namanya Dian. Saya dan Dian serta beberapa motor lain, pergi duluan dan berharap mereka (teman-teman yang lain) akan menyusul.
                Dalam perjalanan pun kami sudah mulai berpisah, hingga tertinggal saya dan Dian dalam satu motor yang ku kendarai serta Amel dan fauziah dalam motor yang berbeda. Di perjalan sengaja saya tidak memacu kendaraan saya dengan kencang karena berharap teman-teman yang tertinggal dibelakang dapat menyusul.
                Dalam perjalan saya bertanya pada Dian.
                        “Dian kau bawa uang tidak?”
                        “ada, emang buat apa?”,
                        “ah tidak siapa tau ada es kelapa dijalan kah?haha”, sambil tertawa saya membalas jawabannya.
                        “ah kau nih”, balasnya.
                        “tidak, siapa tahu kan ada apa-apa dijalan, kebetulan saya lagi tidak bawa uang jadi”
                        “oh ia sudah”,
                Kini kami telah sampai di depan saga. Saya melihat kebelakang tidak ada anak-anak yang lain, hanya ada Amel dan Fauziah yang berada dalam satu motor.
                Tiba di lampu merah Kuda laut, saya menjadi bingung harus lewat mana. Apakah saya belok kanan yang berarti naik tanjakan, atau lurus yang malah lebih jauh.
                Lampu berganti warna menjadi kemudian dengan perasaan ragu-ragu saya mengambil jalan lurus dengan anggapan semoga teman-teman yang dibelakang bisa ketemu dijalan. Dengan kencang ku mulai mengemudikan motorku. Hingga kulihat dari kejauhan ada polisi ditengah jalan dan mulai menghalau kendaraan roda dua yang melintas. Aku langsung panik karena memang dompet tidak ku bawa, karena tidak kepikir akan menjenguk teman yang sedang sakit. Dan sudah dapat ku pastikan bahwa di depan sedang ada razia kendaraan roda dua. Dengan perlahan pun aku mulai menurunkan kecepatan motor dan mulai mendekat ke petugas pemeriksaan.
                Hingga kami tepat berada di sampingnya. Kulihat motor yang ditumpangi Amel turut berhenti dibelakang motor ku. Motor pun ku parkirkan di tepi jalan dan seorang polisi menghampiri motor saya dan Amel.
                        “selamat siang?”,tegur petugas.
                        “siang pak,”balas ku dengan perasaan gugup.
                        “bisa tunjukan surat-surat motor?”,
                        “bisa pak?”,
                Dengan perlahan ku buka jok, dan ku ambil STNK.. Memang motorku yang ini STNK-nya selalu kusimpan dibawah jok motor, agar jika ingin bepergian tinggal dompet yang kubawa karena SIM, ku letakan dompet ku. Di belakang motor ku Kulihat Amel sedang melaukan hal yang sama.
                Sambil menunjukan STNK-nya.                                        
                        “ini pak STNK-nya?”, sambil ku berikan padanya.
                        “SIM-nya?”, mintanya padaku.
                        “maaf pak, tadi saya buru-buru jadi lupa membawa SIM-nya pak”, jawab ku dengan raut muka yang tegang.
                        “wah tidak bisa begitu, kalau begitu kamu ikut saya.”
                Dengan wajah percaya diri dia membawa saya ke bagian administrasi, dimana tempat pembayarannya dilakukan di cup (penutup mesin) mobil dinasnya.
                        “permisi komandan, dia tidak membawa SIM dan belakang tidak pakai helm.”
                        “baik, simpan kunci motornya disitu”.(di atas cup mobil) bersatu dengan kunci motor lain yang kena tilang.
                Ditempat pembayaran administrasi sudah banyak orang dengan berbagai macam pelanggarannya masing-masing. Ku lihat wajah dari polisi yang memberikan surat tilang kepada orang-orang yang kena tilang, cukup familiar bagi saya. Saya mulai berpikir siapa orang ini. Hingga akhirnya ku tahu bahwa dia adalah orang tua murid di SD yang dulu bapak saya mengajar. Saya berpikir sejenak, apakah saya harus melaporkan pada bapak saya agar motor saya bisa bebas, tapi sekarang bapak saya juga sedang sakit di rumah sakit dan memang sudah tidak mengajar lagi di SD tersebut. Jadi, sepertinya lewat jalur tersebut tidak bisa.
                Ku lihat juga di tempat itu banyak yang hanya membayar kepada polisi itu, dan kemudian kunci motornya bisa diambil. Ada juga orang pemerintahan yang dengan mudah motornya keluar dari tempat tilang,padahal surat-surat kendaraannya tidak lengkap tak luput dari pandangan ku juga seorang tentara yang bebas kena tilang, “mungkin karena seragamnya ya?”dalam hati ku berucap. Hingga ada orang yang membisikan sesuatu ke telinga saya.
                        “ade,,, ko kalau ada uang seratus atau seratus lima puluh, kau kasih saja sama petugas. Nanti ko motor bisa keluar.”
                Sejenak saya berpikir. Bagaimana saya mau bayar, uang saja say tidak punya tapi kalau saya ambil uang dulu, masalahnya mungkin akan lebih repot lagi.
                Kemudian amel mendekati saya dan berbisik.
                        “go,,, kalau kau mau, saya ada uang 300 ribu, tapi nanti kau ganti, tapi kau juga yang ngomong boleh”
                        “ia sih mel, saya mau saja ganti. Tapi ngomongnya itu gimana?”. Saya semakin bingung dan kulihat teman-teman yang lain pun bingung  tidak tahu harus berbuat apa, mereka terlihat dengan wajah tegang mereka dan sesekali bertanya pada ku “go bagaimana ini?”, yang membuat suasana menjadi semakin tegang.
                Saya pun semakin bingung harus berbuat seperti apa?. Apakah harus membayar kepada petugas, atau mengikuti prosedur dengan menandatangani surat tilang. Hingga akhirnya karena  hanya tertinggal saya dan teman-teman saya di TKP. Saya pun dengan pasrah mendekati petugas.
                Tiba-tiba hujan pun kembali turun. Dan petugas meminta kami untuk mengurus motor kami di kantor polisi pos kuda laut. Motor-motor tilangan yang masih bermasalah mulai dibawa petugas ke kantor polisi yang dimaksud termaksud motor saya dan teman saya. Karena penuntasan masalah harus di kantor saya pun meminta STNK saya dari petugas, dan mereka memberikannya kepada saya.
                        “go?jadi kita harus bagaimana?”, Tanya amel yang terlihat bingung dan panik.
                        “mel ada bapak mu tidak?”,(bapaknya seorang PM).
                        “bapak saya lagi di jawa, nikahkan kakak saya”
                saya baru ingat kalau memang kelurga mereka lagi di luar kota.
                        “kalau begitu ada orang rumahmu yang bisa bantu kita tidak”, Tanya ku pada amel.
                        “oh ada, tetangga ku”,
                        “kalau begitu kita ke rumah mu sudah”, ajak saya.
                        “iya dah, ayo ”, jawab amel sambil tersenyum.
                Akhirnya kami berempat, memutuskan untuk pergi ke rumah Amel. Dalam perjalan saya berpkir mungkin ini, yang membuat saya begitu menolak untuk pergi ke rumah teman saya itu. Padahal biasanya tidak pernah saya merasa bertentangan dengan yang lain, mungkin pernah tapi kok tidak sekuat ini keenggananan saya untuk pergi, walau akhirnya saya tetap pergi dan kena razia kendaraan.
                        “eh kau bawa uang toh?”, Tanya saya pada Dian.
                        “ia bawa”
                        “maksud saya ini, tadi saya merasa akan terjadi sesuatu, makanya tadi saya Tanya kau waktu di motor”.
                        “oh ia ia,heheh”. Dengan tertawa ia membalas.
                Sesampai di depan halte doom kita berempat turun, uang angkot telah Dian kasih ke Amel tanpa sepengetahuan ku. Ketika Amel turun dan  kita semua telah turun. Supir berteriak kepada kami dan meminta uang angkot. Saya kaget dan bingung, karena saya tahu Dian yang membawa uang, maka saya minta Dianuntuk membayarnya. “uangnya ada di Amel!” balas Dian dengan panik. Kulihat Amel sudah berada di seberang jalan. “mel uangnya?”, teriak fauziah pada Amel. Amel pun belum berbelik hingga beberapa panggilan. Dengan cepat kusuruh Dian untuk membayarnya dengan uangnya yang lain, dengan tagkas pula ia merogoh kantong bajunya dan mengeluarkan uang ribuan untuk membayar angkot.
                Setelah membayar kami bertiga menyeberang dan menghampiri Amel yang berdiri menunggu kita. Kulihat sandalnya pun putus dan ia pun langsung membuang sandal yang ia pakai. Ku hampiri Amel dan ku bilang padanya.
                        “Wah amel sudah eror nih”.
                Setelah turun dari angkot dan menyeberang jalan kami masih harus menaiki gunung yang memang rumahnya berada di atas gunung, atau penduduk setempat biasanya menyebutnya dengan istilah puncak bahari. Kulihat teman-teman hanya terdiam tanpa guyonan-guyonan yang terdengar, entah apa yang sedang ada dalam pikirannya saya tidak tahu. “apa mungkin mereka masih gugup?”, ucap ku dalam hati.
                Selangkah demi langkah, hingga akhirnya kami sampai juga di tempat berteduhnya Amel dan keluarga. Disana terlihat rumah yang tersusun berbanjar yang salah satunya adalah rumah Amel.

                Kami pun semua duduk di teras rumah Amel yang juga cukup sejuk, disana kami berempat sejenak melepaskan kepenatan akibat menaiki gunung ke rumahnya yang cukup curam dan berkelol. Sebungkus nissin krispi pun di keluarkannya untuk sedikit mengganjal perut yang kosong.
                        “eh makan ini dulu”, tawar amel sambil membawa sebungkus nissin krispi.
                        “ia,, mel”, jawabku.
                        “eh ayo, makan, makan!”, ucap Dian. Sambil membuka dan mengambilnya.
                        “ia,”balasku singkat, karena memang masih memikirkan tentang bagaimana motor ku dan motornya amel bisa keluar.
                Tiba-tiba tetangganya yang tepat tinggal disamping rumahnya amel datang menghampiri kami bertiga, karena pada saat itu fauziah sedang berada di dalam rumahnya amel.
                        “kalian kenapa?”, Tanyanya pada kami.
                        “motor kena tilang”, jawab amel, sambil mencoba menghubungi bapaknya dengan telepon genggamnya.
                        “wah?dimana?”,
                        “di depan usaha mina”, balas amel.
                        “nanti suruh bapaknya cika sudah yang ambil”, tawarnya.
                        “ia tante, ini juga lagi telepon bapak.”
                Kemudian amel pun terhubung dengan bapaknya. Dan ia kemudian menceritakan apa yang telah terjadi. Cukup lama amel berbicara dengan bapaknya yag sedang berada di luar kota. Hingga ia menutup teleponnya dengan senyum.
                        “kenapa mel?”, Tanya fauziah.
                        “bagaimana mel”, Tanya Dian.
                        “saya bapak bilang, nanti bapak saya telepon  temannya untuk ambil motor.”
                        “bener mel?”, Tanya ku.
                        “ia”,
                Suasanan pun kembali mencair dan canda-candaan pun mulai keluar kembali. Yang tadinya anak-anak pada diam seribu bahasa menjadi ribut seperti seakan-akan masalah telah selesai padahal motorpun belum kulihat terparkir.
                Beberapa saat kemudian mobil polisi militer keluar dari arah pangkalan dengan begitu kencang. Dan berhenti tepat di rumahnya Amel. Kami semua berdiri dan melihat kearah mobil tersebut.
                        “ame kau motor ditangkap dimana?”, Tanya salah satu PM yang berada didalam mobil.
                        “di depan usaha mina, om ambil kah!sama teman saya punya juga”, pinta amel.
                        “kau motor plat nomor berapa sama teman mu punya juga”,
                        “om ada STNK-nya nih”, tawar ku padanya.
                        “oh ia sudah lebih bagus lagi”,
                Saya pun mengantarkan STNK-nya saya dan Amel tidak lupa helm juga saya naikan ke bak mobilnya. Setelah mendapat STNK dan helm dengan segera mereka meluncur ke kantor polisi kuda laut. Rasa lega kembali ku rasakan setelah benar-benar motor ku di urus untuk di keluarkan.
                Dari kejauhan kulihat seorang tentara datang dan menghampiri kami.
                        “kenapa ame?”,
                        “saya motor kena tilang di depan usaha mina?”, pungkas amel.
                        “baru kau tanda tangan surat tilang tidak?”
                        “tidak kayaknya,”sambil melihat kearah ku.
                        “tidak om, tadi sempat mau tanda tangan tapi keburu hujan, jadinya tidak jadi.”
                        “jangan tanda tangan, kalau kau sudah tanda tangan surat tilang, kau harus bayar sesuai pelanggaran mu”,
                        “oh ia”, jawab ku.
                mendengar penjelasannya saya baru mengetahui kalau kita jangan menandatangani surat tilang jika mau bebas tanpa terkena denda seperti ini.
                Lama kelamaan, teman-teman mulai lelah menunggu motor yang tak kunjung datang. Mereka kemudian masuk ke rumahnya amel dan mulai menyalakan televisnya. Kulihat jam di dinding telah menunjukan pukul setengah empat dan motor pun belum ada tanda-tandanya telah kembali. Kami mulai merasa bosan dengan keadaan ini. Terlebih saya, saya merasa khawatir dengan motor saya. Dalam hati apakah motor saya telah keluar dari kantor polisi dan mungkin ada apa-apa dijalan.  Kulihat suasana hening kembali tercipta diatara kami. Sesekali kami hanya mengomentari ikan hias peliharaannya amel atau acara yang ada di tv.
                Kulihat jam di dinding hampir menginjak pukul setengah lima, dan kami masih berada di rumahnya amel. Sejak tadi hingga kini kami selalu di kagetkan oleh suara motor yang melintasi rumah amel, dan selalu berharap bahwa motor kamilah yang datang itu.
                Tiba-tiba ku dengar dari bawah ada suara motor yang tidak asing di telinga naik dengan laju. Ternyata tepat, motor ku akhirnya datang juga dengan diikuti motornya amel dari belakang. Raut wajah senang pun tak dapat terhindar dari kami berempat.
                Motor tepat berhenti di rumahnya amel dan tentaranya menyerahkan kunci motor dan STNK-nya kepada ku yang langsung menjemput kunci motor ku.
                        “makasih pak”, ucapku pada tentara yang membawa motor ku.
                        “ia sama-sama”, balasanya ringan sambil kembali ke pangkalan mereka.
                Dengan lega saya pun kembali ke rumah amel untuk bersiap-siap pulang. Saya pulang dengan menggonceng Dian dan mengantarkannya ke asrama sekolah kerena memang ia tinggal disana dengan beberapa anak averos lainnya.  Setelah mengantarnya, saya pulang dengan perasaan lega dan puas dengan apa yang baru saja ku alami, dan mungkin ini akan menjadi pengalaman lucuku bersama mereka di waktu berseragam putih abu-abu.
Ini kisahku, apa kisahmu?


                 
           
 
                                   
                       
                 
                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Search

Blogroll

goresan pena. Diberdayakan oleh Blogger.

About