Aku baru membuka mata dan langsung saja berita “mogok” kerja para dokter menjadi penyambut pagi ku kali ini. Awalnya aku tidak begitu menggubris mengenai aksi mogok tersebut, ku piker hal ini adalah wajar. Tuntutan tidak terpenu, lalu memutuskan untuk membentuk sekumpulan orang lalu melakukan aksi demo. Berdiri di depan gedung Istana atau di Bundaran HI atau di depan gedung DPR/MPR.
Tapi ternyata isu – awalnya isu – ini berkembang luas.
Mereka – para pasien, politikus, dan masyarakat biasa – mulai mengkhawatirkan
aksi ini. Dengan terpaksa pun aku harus mencari tahu mengenai isu tersebut – sebagai
rujukan tulisan ini.
Isu “mogok” para dokter pun dengan cepat menjadi prioritas
utama para pemburu berita. Secara real-time mereka melakukan pemberitaan kepada
khalayak mengenai isu ini. Mulai dari tanggapan para politisi, pasien, hingga
lumpuhnya aktifitas beberapa rumah sakit.
Isu ini menjadi sangat menarik ketika twitter – dunia maya –
menjadi ladang opini. Para penghuni dunia maya ini berlomba-lomba memberika
sudut pandangnya mengenai aksi ini. Ada yang pro dan ada yang kontra. Sayangnya,
dukungan positif terhadap aksi ini hanya berasal dari segelintir kalangan dokter
itu sendiri, Orang biasa – bukan orang yang berlatar pendidikan dokter – justru
lebih mempertanyakan aksi ini. Mengapa hal ini bisa terjadi dan apa tujuannya?
Dengan bertanya kepada salah seorang teman, saya mendapat
sedikit gambaran tentang aksi ini – saya juga melakukan verifikasi data melalui
portal berita. Aksi solidaritas – saya menyebutnya seperti itu – yang dilakukan
oleh para aliansi dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ini
ternyata berawal dari penjatuhan hukuman kepada dokter Ayu atas tuduhan malpraktek.
Sebelum lebih jauh tulisan ini bergulir, sebaiknya kita
simak terlebih dahulu kronologi kejadiannya. Kasus ini berawal dari meninggalnya Julia Fransiska Maketey, di
Rumah Sakit R.D. Kandou Malalayang, Manado, Sulawesi
Utara, pada 10 April 2010. Hal tersebut lantas membuat pihak keluarga Julia
menggugat dokter Ayu dan rekannya – dokter Ayu beserta Tim – ke pengadilan negeri.
Sayangnya, pada tingkatan pengadilan negeri gugatan tersebut tidak dikabulkan.
Gugatan tersebut baru berpihak pada keluarga ketika sampai pada sampai pada
tingkatan kasasi. dr. Dewa Ayu Sasiary,Sp.OG bersama rekannya – dr.Hendy
Siagian dan dr. Hendry Simanjuntak – kemudian dijatuhi vonis hukuman penjara
selama 10 bulan.
Hal tersebut yang kemudian membuat para dokter yang
tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tidak terima dengan putusan
tersebut. Mereka menuntut agar para dokter tidak dikriminalisasi. Mereka – para
dokter – masih percaya bahwa sebenarya dr. Ayu tidak bersalah.
Apakah benar dr. Ayu tidak bersalah? Mungkin sebaiknya kita
simak poin-poin yang menjadi bahan pertimbangan hakim kasasi dalam menjatuhkan
hukuman kepada dr. Ayu dan
rekan-rekannya.
1. Pemeriksaan jantung baru dilakukan setelah
operasi.
Menurut dr. Januar, pengurus Ikatan Dokter Indonesia, operasi yang dilakukan terhadap Siska, tak memerlukan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan jantung. "Operasinya bersifat darurat, cepat, dan segera. Karena jika tidak dilakukan, bayi dan pasien pasti meninggal," ucap dokter kandungan ini.
2. Penyebab kematian masuknya udara ke bilik kanan jantung. Ini karena saat pemberian obat atau infus karena komplikasi persalinan.
Menurut O.C. Kaligis, pengacara Ayu, putusan Mahkamah Agung tak berdasar. Dalam persidangan di pengadilan negeri, kata Kaligis, sudah dihadirkan saksi ahli kedokteran yang menyatakan Ayu dan dua rekannya tak melakukan kesalahan prosedural. Para saksi itu antara lain Reggy Lefran, dokter kepala bagian jantung Rumah Sakit Profesor Kandou Malalayang; Murhady Saleh, dokter spesialis obygin Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta; dan dokter forensik Johanis.
Dalam sidang itu, misalnya, dokter forensik Johanis menyatakan hasil visum et repertum emboli yang menyebabkan pasien meninggal BUKAN karena hasil operasi. Kasus itu, kata dia, jarang terjadi dan tidak dapat diantisipasi.
Para ahli itu juga menyebutkan Ayu, Hendry, dan Hendy telah menjalani sidang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran pada 24 Februari 2011. Hasil sidang menyatakan ketiganya telah melakukan operasi sesuai dengan prosedur. (Baca juga: MKEK Pusat Sebut dr. Ayu Tidak Melanggar Etik)
3. Terdakwa tidak punya kompetensi operasi karena hanya residence atau mahasiswa dokter spesialis dan tak punya surat izin praktek (SIP)
Ketua Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) dr. Nurdadi, SPOG dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi mengatakan tidak benar mereka tidak memiliki kompetensi. "Mereka memiiki kompetensi. Pendidikan kedokteran adalah pendidikan berjenjang. Bukan orang yang tak bisa operasi dibiarkan melakukan operasi," katanya.
Soal surat izin praktek juga dibantah. Semua mahasiswa kedokteran spesialis yang berpraktek di rumah sakit memiliki izin. Kalau tidak, mana mungkin rumah sakit pendidikan seperti di RS Cipto Mangunkusumo mau mempekerjakan para dokter itu.
4. Terjadi pembiaran pasien selama delapan jam.
Menurut Januar, pengurus Ikatan Dokter Indonesia, saat menerima pasien Siska, Ayu telah memeriksa dan memperkirakan pasien tersebut bisa melahirkan secara normal. Namun, hingga pukul 18.00, ternyata hal itu tak terjadi. "Sehingga diputuskan operasi," ujar Januar.
Sesuai prosedur kedokteran saat air ketuban pecah, biasanya dokter akan menunggu pembukaan leher rahim lengkap sebelum bayi dilahirkan secara normal. Untuk mencapai pembukaan lengkap, pembukaan 10, butuh waktu yang berbeda-beda untuk tiap pasien. Bisa cepat bisa berjam-jam. Menunggu pembukaan lengkap itulah yang dilakukan dokter Ayu.
Menurut dr. Januar, pengurus Ikatan Dokter Indonesia, operasi yang dilakukan terhadap Siska, tak memerlukan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan jantung. "Operasinya bersifat darurat, cepat, dan segera. Karena jika tidak dilakukan, bayi dan pasien pasti meninggal," ucap dokter kandungan ini.
2. Penyebab kematian masuknya udara ke bilik kanan jantung. Ini karena saat pemberian obat atau infus karena komplikasi persalinan.
Menurut O.C. Kaligis, pengacara Ayu, putusan Mahkamah Agung tak berdasar. Dalam persidangan di pengadilan negeri, kata Kaligis, sudah dihadirkan saksi ahli kedokteran yang menyatakan Ayu dan dua rekannya tak melakukan kesalahan prosedural. Para saksi itu antara lain Reggy Lefran, dokter kepala bagian jantung Rumah Sakit Profesor Kandou Malalayang; Murhady Saleh, dokter spesialis obygin Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta; dan dokter forensik Johanis.
Dalam sidang itu, misalnya, dokter forensik Johanis menyatakan hasil visum et repertum emboli yang menyebabkan pasien meninggal BUKAN karena hasil operasi. Kasus itu, kata dia, jarang terjadi dan tidak dapat diantisipasi.
Para ahli itu juga menyebutkan Ayu, Hendry, dan Hendy telah menjalani sidang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran pada 24 Februari 2011. Hasil sidang menyatakan ketiganya telah melakukan operasi sesuai dengan prosedur. (Baca juga: MKEK Pusat Sebut dr. Ayu Tidak Melanggar Etik)
3. Terdakwa tidak punya kompetensi operasi karena hanya residence atau mahasiswa dokter spesialis dan tak punya surat izin praktek (SIP)
Ketua Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) dr. Nurdadi, SPOG dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi mengatakan tidak benar mereka tidak memiliki kompetensi. "Mereka memiiki kompetensi. Pendidikan kedokteran adalah pendidikan berjenjang. Bukan orang yang tak bisa operasi dibiarkan melakukan operasi," katanya.
Soal surat izin praktek juga dibantah. Semua mahasiswa kedokteran spesialis yang berpraktek di rumah sakit memiliki izin. Kalau tidak, mana mungkin rumah sakit pendidikan seperti di RS Cipto Mangunkusumo mau mempekerjakan para dokter itu.
4. Terjadi pembiaran pasien selama delapan jam.
Menurut Januar, pengurus Ikatan Dokter Indonesia, saat menerima pasien Siska, Ayu telah memeriksa dan memperkirakan pasien tersebut bisa melahirkan secara normal. Namun, hingga pukul 18.00, ternyata hal itu tak terjadi. "Sehingga diputuskan operasi," ujar Januar.
Sesuai prosedur kedokteran saat air ketuban pecah, biasanya dokter akan menunggu pembukaan leher rahim lengkap sebelum bayi dilahirkan secara normal. Untuk mencapai pembukaan lengkap, pembukaan 10, butuh waktu yang berbeda-beda untuk tiap pasien. Bisa cepat bisa berjam-jam. Menunggu pembukaan lengkap itulah yang dilakukan dokter Ayu.
(sumber : http://www.tempo.co/read/news/2013/11/27/173532785/Malpraktek-atau-Tidak-dr-Ayu-Lihat-Empat-Poin-Ini)
Bagaimana kesimpulannya? Apakah sang dokter bersalah? Silakan
menilai sendiri dengan nalar dan logika yang ada. Tapi disini saya ingin
mengajak pembaca sekalian untuk berandai-andai. Andai saja tuntutan para dokter dikabulkan.
Tentu kita masih ingat mengenai kasus Prita Mulya Sari yang
karena celotahannya di dunia maya mengenai dugaan kasus malpraktek yang
dialaminya, prita kemudian menjadi tersangka atas tuduhan pencemaran nama baik
dan divonis 6 bulan penjara serta 1 tahun masa percobaan -- http://nasional.news.viva.co.id/news/read/232417-ma-vonis-prita-6-bulan-bui-1-tahun-percobaan.
Hanya karena mengeluh di dunia maya – jangan-jangan tulisan
ini pun akan berakhir sama :p – sang pengeluh malah terjerat hukum. Padahal apa
yang diungkapkan Prita semuanya dapat dibuktikan secara hukum. Tapi, mengapa
Prita malah menjadi tersangka?
Dengan kasus-kasus anomali seperti ini, saya (setidaknya)
dapat gambaran jika saja tunututan para dokter dikabulkan MA. Para dokter akan
menjadi kebal hukum dan efeknya, mereka akan merasaa punya tameng untuk membela diri saat mereka melakukan kesalahan dalam melayani masyarkat.
Sudah terbukti dengan kisah-kisah malpraktek yang ada. Para "korban" justru menjadi tumbal dari kecacatan hukum yang ada. Mereka seakan tak bisa berbuat apa-apa ketika amar putusan pengadilan justru berpihak pada dokter-dokter itu. Mereka hanya bisa bergeming dan mencoba melupakan kisah ketidakadilan yang mereka alami.
Janganlah kita terlalu mendewakan suatu golongan atau kaum. Mereka pun adalah manusia, mereka pun pasti punya "cacat". Jika kita menafsirkan bahwa kaum dokter harus kebal hukum, maka apa yang akan menjadi pemantau mereka dalam mengambil keputusan? Lantas apa yang akan jadi "algojo" mereka saat mereka benar-benar salah?
Sudah terbukti dengan kisah-kisah malpraktek yang ada. Para "korban" justru menjadi tumbal dari kecacatan hukum yang ada. Mereka seakan tak bisa berbuat apa-apa ketika amar putusan pengadilan justru berpihak pada dokter-dokter itu. Mereka hanya bisa bergeming dan mencoba melupakan kisah ketidakadilan yang mereka alami.
Janganlah kita terlalu mendewakan suatu golongan atau kaum. Mereka pun adalah manusia, mereka pun pasti punya "cacat". Jika kita menafsirkan bahwa kaum dokter harus kebal hukum, maka apa yang akan menjadi pemantau mereka dalam mengambil keputusan? Lantas apa yang akan jadi "algojo" mereka saat mereka benar-benar salah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar