penampakan kota shibuya pada pagi hari, nampak kepadatan diseluruh sudut kota |
Mungkin ini tiap hari terjadi di Tokyo: di stasiun Shibuya, ribuan
orang ke luar masuk peron atau berjalan dari gerbang barat menyeberang —
dari tempat patung anjing Hachikō yang mati menunggui tuannya yang tak
kunjung pulang, ke arah toserba “Shibuya 109″ yang membuka dengan meriah
lebih dari 100 boutique.
Anak-anak muda masih seperti dulu. Mereka tak putus-putusnya bergerak riang, riuh, mengingatkan kembali gaya gyaru
gadis-gadis a-be-ge tahun 1970-an yang mencoba melepaskan diri dari
sikap jinak dan konformitas. Tapi, pada saat yang sama, mereka adalah
bentuk konformitas yang baru
.
Di sini hidup adalah degup siang dan malam — terutama malam. Setelah
pukul 18, lampu-lampu iklan digital menegaskan bahwa yang gemebyar,
yang mewah, yang meriah, adalah pertemuan antara hasrat dan
kemustahilan. Kapitalisme busana menampakkan ambisinya di ratusan papan
iklan dan layar DOOH dengan ukuran besar: di tubuh manusia kota, pakaian
adalah pertarungan untuk menggapai satu mode yang modelnya terlampau
rupawan untuk ditiru, tapi selalu ditiru. “A fashion is nothing but an induced epidemic.“ Saya kira George Bernard Shaw benar.
Epidemi itu terutama berkecamuk di kelimun seperti di Shibuya ini. Lebih dari setengah abad yang lalu David Riesman menulis The Lonely Crowd, tapi sampai sekarang observasinya masih kena: kalangan metropolis ini adalah orang-orang yang other-directed, ”diarahkan-liyan”. Bukan lagi diarahkan tradisi. Juga bukan lagi digerakkan kecenderungan diri yang terbentuk sejak kecil.
Di tempat seperti Shibuya, yang
mengarahkan bukan hanya orang-orang di lingkungan yang dekat, tapi juga
yang lebih “tinggi”.”Liyan” itu hanya mereka kenal dari media massa dan billboard:
Hiroshi Oshima atau Hoyt Richards — para model dengan nama yang berubah
jadi Versace atau Hugo Boss. Mereka sangat responsif terhadap nama
dan gambar macam itu. Bahkan mereka selamanya memasang radar untuk
mendeteksi bagaimana di depan “liyan” yang jauh itu mereka harus
mematut-matut diri. Mereka ingin selalu menangkap — dan kemudian
mengikuti — selera apa yang tengah berkembang dan opini apa yang tengah
dikumandangkan.
Mereka bukan orang yang hidup dalam kolektifitas dusun; mereka tak
dibentuk rasa malu. Mereka juga bukan orang yang hidup di tengah
kolektifitas keluarga atau agama; mereka tak dibentuk rasa bersalah.
Hubungan antara orang-orang di metropolis ini dan sekitarnya dibentuk
rasa cemas.
Tapi di celah-celah cemas itu, pada orang-orang yang
“diarahkan-liyan” ini sebenarnya ada sejenis petualangan. Analisa
Riesman cenderung menyepelekan mereka, tapi dengan sifat kosmopolitan
mereka, mereka sesungguhnya punya keberanian: meniadakan batas antara
dunia yang mereka kenal dan yang asing. Mereka serentak bisa ada di
mana saja.
Mungkin itu sebabnya Tokyo adalah kota yang pas untuk mereka: tak ada “Timur” dan “Barat” di sini.
Di dinding stasiun Shibuya, dalam lorong ke arah pintu masuk jurusan
Keiō Inokashira, terpampang sebuah mural karya Tarō Okamoto, “Mithos
Hari Esok”, yang menggambarkan sesosok manusia yang dihantam bom atom.
Okamoto belajar di Panthéon-Sorbonne di tahun 1930-an di mana ia hidup
dengan kaum Surrealis Prancis. Mural itu semula ia buat untuk sebuah
bangunan di Meksiko. Setelah 30 tahun di sana, sejak empat tahun yang
lalu karya itu dibawa ke stasiun Shibuya: ia menegaskan sifat Tokyo yang
Jepang tapi tak lagi hanya Jepang. Ia juga menunjukkan bahwa bagi kota
ini, yang penting bukanlah corak satu yang padu.
“Di Tokyo,” tulis Donald Ritchie, kritikus film yang telah berpuluh
tahun tinggal di Jepang dan di tahun 1999 menulis tentang Tokyo, “orang
merasa…bahwa kota ini tak punya satu gaya yang tunggal”. Yang ada
“hanya usaha yang tak terhitung untuk mendapatkan gaya”. Di kota ini,
terutama bagi seorang asing yang menyusuri lekuk-lekuknya dengan
berjalan kaki, akan kelihatan “hal-hal yang dikenal dipergunakan dengan
cara yang tak dikenal.”
Justru dengan demikian si orang asing, menurut Ritchie, ia tak perlu
terikat dengan makna yang biasa bila ia misalnya menyaksikan
tiang-tiang Yunani kuno di celah arsitektur kota, sebab tak berarti
bangunan itu sebuah bank; atap merah nun di sana itu juga belum tentu
berarti “Spanyol”.
Bahkan pemaknaan selalu bisa berlangsung tanpa penerjemahan. Dalam film Sophia Coppola, Lost in Translation,
dua orang asing di Tokyo menemukan dunia dalam dua sisi: yang sudah
mereka kenal dan yang tidak. Tapi ternyata bukan alih bahasa yang
menghubungkannya.
Dalam salah satu adegan kita lihat Bob Harris, yang datang ke kota
itu untuk jadi bintang iklan bir, mendengar kalimat-kalimat bahasa
Jepang yang panjang diterjemahkan dengan begitu singkat tapi
efektif: tiba-tiba kita sadar banyak kata yang bisa hilang begitu saja —
tapi kita tetap mengerti apa yang dikehendaki. Dalam film itu kita
juga lihat Charlotte, seorang perempuan muda yang baru menikah dan
kecewa, menyentuhkan hidupnya kepada Bob; tapi di Tokyo, bukan bahasa
yang menentukan komunikasi mereka, melainkan kesepian.
Tokyo: sebuah kesepian di ruang riuh. Seperti di tiap kota besar, di sini orang — the lonely crowd
–merapat, seakan menyadari bahwa rasa cemas adalah nasib, dan nasib
adalah, seperti kata Chairil Anwar, “kesunyian masing-masing”.
Perjumpaan tak punya waktu yang pasti, tempat yang pasti.
It seems that we have met before, laughed before, loved before, but who knows where and when…
Itu satu adegan dalam Lost in Translation: seorang penyanyi jazz melagukan ‘Where and When’ di bar NY di Shinjuku: Tapi itu bisa juga satu adegan siapa saja di keriuhan Shibuya. Atau bukan Shibuya.
catatan Goenawan Mohamad
dari http://goenawanmohamad.com/2013/02/14/shibuya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar