Karya : Dwi Rahariyoso
Fragmen I
Maka, di kering tubuhku tersimpan
aroma laut membiru; perjalanan yang karam
bersama terumbu
kau membuat sayatan kecil tentang hidup
juga rasa nyeri yang asin, tatkala senja
berhenti di sini sebagai kehilangan
dalam udara terbuka aku bertanya,
apakah ini surga, langit yang jauh itu?
sebab aku tak lagi melihat gelombang
lubuk dan palung yang teramat tajam
kutinggalkan belaka, seperti seorang munafik
alangkah sia-sia kepergian ini
sungguh, aku tak berharap terbang—
mengingkari nasibku dengan memilih kematian,
tapi kalian adalah nelayan-nelayan yang kehilangan
seperti pulau yang ditenggelamkan
dan selanjutnya kalian diam-diam melawan
sebagai para pendayung ulung
kiranya lautmu adalah teluk yang tersembunyi
tanpa dermaga dan pantai
hanya angin yang senantiasa berderai
meniupkan puisi
sehingga sunyi ini menjelma hikayat
tentang laut yang kau hidangkan setiap hari
di setiap perjamuan tanpa meja makan
“makanlah dari tubuhku ini; dengan begitu
kau semakin rindu pada tanah kelahiranmu”
Fragmen II
pada daratan aku belajar mengerti sunyi
ketika kuangkat jala dan menuju pantai
tak lagi ada yang menggelepar atau berenang
hanya langit semakin petang menjelang
selanjutnya hampa
pohon-pohon rumahmu sembunyi telah mengeras
dalam udara luar biasa panas
aku telah melatih kepalaku dengan musim,
juga batang sagu, dan pelepah pinang
mengunyahnya bersamaan setiap senja datang
sambil menyaksikan kapal-kapal pendatang
semakin menggerus teras rumah
sungguh, aku tak memikirkan apa-apa
hanya ikan-ikan kami mengecil di antara aroma
para syahbandar yang semuanya asing
mereka adalah pemilik pulau ini
sementara aku termangu di rumah papan
mengaduk papeda pelahan dan para tetangga
sibuk berpesta bir dan roti, entah apa yang dirayakan
semua silih berganti dengan cepat
sampan-sampan mengelupas dalam kerak,
bertahun lamanya mangi-mangi ini sunyi ditingkah pasang,
namun tiba-tiba orang-orang menjelma api
penuh sesak seperti puri terbawa arus
yang memanggilimu seperti sesembahan tak berperi
betapa gemuruh mereka dalam kulit jingga
dan mata berbinar mengumpulkan pendar demi pendar
yang tersisa dari pinggir pantaiku
“barangkali di sinilah surga, bilamana setiap hakikat berpusat,”
aku bergumam dan sirih yang perih melelehi bibir
dan ikan-ikan ini telah mengering oleh pukat
dan aku tak pernah mengenali siapa dirimu
sebenarnya, dalam asin lidahku
agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar