Barangkali Kita Memang Berada di Sebuah Negeri Asing
Kita selalu bertanya di mana ujung hari sebenarnya? Dan kita tak pernah berkata-kata, selain wabah malaria yang merenggut segala perjumpaan. Barangkali memang akan terasa hampa, jika senja seperti tergerus tiba-tiba dan kau tak sempat melambaikan tangan. Maka, akan terdengar angin yang luruh, menyerah. Di daerah perbatasan antara hutan dan setapak, nasib seolah tak beranjak.
Rumputan dan padang kelabu, suram dalam warna tak tentu. Mengenang dermaga kecil yang jauh—di lereng bukit itu. Aku berkata padamu, kebahagiaan adalah masa lalu yang disamarkan gelombang pada dinding batu-batu. Juga sepucuk kartu pos buram yang terselip di dalam noken, entah siapa yang mengirimnya. Barangkali dari negeri letih tak bernama, atau seorang pengembara yang tersesat—kerapkali kita mabuk romansa. Dan tiang-tiang dermaga telah patah oleh dingin, ditinggalkan nubuat yang ingkar pada angin.
Lalu, apa sebenarnya rindu dalam pekat ini? Barangkali hanya namamu yang merasukku. Hingga akhirnya masing-masing kita tak ada, tak pernah ada untuk ingatan. Juga sebait syair perpisahan, tentang tanda, bekas, jejak, sisa, dan fana.
Maghrib sayup-sayup meresap, seperti mengingatkan tentang revolusi. Dan kau tak bergeming dalam hening. Hutan-hutan gerilya tak lagi terjaga, gerimis turun tiba-tiba. Di jalan setapak, bergegas kutinggalkan dermaga. Gelap ini benar-benar tak bernama.
Sorong, 2012
Nukilan Mei
Aku menyerupai danau dalam biru semata; damai yang fana
kugambarkan burung-burung terbang dan ranting-ranting menjulang hampa
ketika daun-daun gugur tanpa warna
Sungguh, aku tak pernah melihat surga atau apapun keindahan sebenarnya
terkecuali lukisan belaka, warna-warna itu berubah nyeri
di musim yang senyap; kosong mengubur diri
Aku, akar, pohon, dan akanan hanyalah kenangan
di wajahku yang sunyi dan beku, musim membekas diam-diam
dan lupa adalah kegetiran jika langit berangsur malam
Dan di beberapa akhir sajak, pohon-pohon itu lekas mati
memutih di tepi danau yang beku
—aku sudah tidak ada, di situ bersamamu
Mei 2012
Kelahiran
Kita telah berdoa dalam sebuah nama, seperti Tuhan menyeru hambanya
di tembok dan kitab, mereka mencatatnya
—sejarah adalah nostalgia nama-nama
dalam huruf yang disucikan dan dikucilkan; sebuah kejadian bermula
dan darimanakah ia berasal?
di sebuah gua tak bernama, ia menjelma—senyap
lalu dalam dengus dan udara terbata
kedua tangannya meminta,
“Alangkah dingin dunia ini!” ia merintih, berpilin, menggeliat,
ketika ia gelisah, hari berubah basah
dan jendela kosong tanpa udara
Kemudian, di kesunyian, orang-orang tua membacakan sajak
tentang nama-nama kepergian
mereka lekas berangkat dalam gugup yang kesekian
dan tak ada seorang pun menduga
2012
Rumah Pulau
Buat Aniku
Aku berumah pada sesak dan ombak
Di hamparan pasir tanpa karang; putih belaka
“Singgahlah, hai pengembara
Sebelum hari terasa suram, tajam mendesak”
Hanya gerimis sederhana yang kutawarkan
Juga beberapa kasbi dan segelas kopi
Dan udara semakin nihil kukira
Berhembus gigil dari arah jendela
—tak ada lagi cinta bagi mereka yang tua
Selebihnya sepi dalam sisa nostalgia
Setiap kali gelap memikat, di sanalah segala riwayat
Bersemayam atau berangkat, kita tidak mengerti
“Ah, hidupku sekedar menghabiskan sajak
Terkubur dalam bayang-bayang”
Tak ada yang terjadi lagi di sini
Terkecuali kesepian yang mengerak
Dan semakin menghilang
Mei, 2012
Pala
Di tanah-tanah tinggi dan teluk sunyi ini
Kapal dan sampan para syahbandar mengangkut ikan-ikan
Berderak dari burit hingga haluan
Lambaikan tangan pada bayangmu, kawan!
Kau akan singgah dan mendarat di tanah ini
Beberapa kedai kopi dan obrolan pengisi hari
Selalu hadir sepanjang pantai
Dengarlah, suara teluk yang memeluk kapal-kapal
Pertanda hari telah tua dan usang di ujung sana,
Udara mendadak dingin dan kita kunyah beberapa pinang
Semacam kenangan; obrolan-obrolan nelayan, amis ikan,
Dan juga senja yang kian melembayung-saga
Masihkah kita menjadi pengembara? Ah, kita teramat tua
Mengingatnya. Kopi dan kerinduan musim semi,
Adalah kepulangan bagi pulau ini
Pohon-pohon pala yang berwarna tembaga
Berpendar dalam cahaya senja, dan suar menara
Sebenarnya merayakan hidup bukanlah hal yang sia-sia
Aroma itu tercium hingga ujung beludru para pedagang eropa
—hikayat, rempah, tenun, kitab-kitab, kopi, ikan, ukiran, lanskap
Adalah riwayat nenek moyang kami berabad-abad lampau
Jauh sebelum para syahbandar barat mengembangkan layar
Ekspedisi mereka semacam praduga tentang rindu dan risau
Hingga laut menunjukkan mereka teluk ini, lewat pendar menara suar
Singgahlah, dalam senyap ini
Dalam ketuaan, kita tak lagi mengimpikan revolusi
Biarkan anak-anak itu yang bergegas melempar jangkar besi
Hingga para pedagang merapatkan kapal ke syahbandar
Butir-butir pala diangkut kapal-kapal besar dan tak pernah ada kabar
Di mana mereka menimbunnya?
Hari berangkat sepi, seperti getir belaka
Dan teluk masih terasa sejuk, ia seolah berkata lirih:
Inilah kampung halaman pengembara kabut
Kita sudah memutih, dan kerut-kerut kulit ini
Adalah senyum ketabahan yang sunyi
Setiap kali ada yang pergi tak kembali
Biarkan kami sendiri!
Sorong, Mei 2012
Di Sebuah Rumah
Di sebuah rumah—entah milik siapa,
Kita seperti pengembara yang hibuk tersesat arah angin,
Arah kiblat berubah pekat dan udara semakin dingin
Kita tak mengetuk pintu, bahkan mengucap salam
Sebab kita hanyalah sepasang diam—dalam jasad ini
Dan rindu tidak tenggelam menjadi sunyi
Di dinding papan itu menggantung lukisan tentang danau kering, sampan,
Udara dingin, serta kalender usang yang kehilangan hari liburnya
Siapa kita sebenarnya, mengapa kita saling mengingat
Kenangan ibarat pintu dengan engsel berkarat, kita teramat hati-hati
Menduga segala isyarat—kau dan aku, tak pernah sepakat bahwa kita hanyalah
Sepasang pengagum kesepian dalam sebuah kematian
Dari arah jendela, angin bersiur hampa
Hari sejenak senja dalam tiba-tiba
Segala nostalgia menembus sia-sia
Di sebuah rumah, dalam sejarah masa lalu tubuh kita
Barangkali akan kita ingat sunyi yang tersesat oleh hampa
Dan suara jam begitu baka
Akankah kita bergegas dalam sunyi?
Dan udara menggigil. Semua terasa ganjil
Kita hanyalah kabut yang segera lenyap, di suatu sudut terpencil
Mei, 2012
Tamsil
Dalam keheningan kata-katamu menjelma unta padang pasir
memuji sunyi yang silih berganti, dan larik-larik hangatmu menemukan kabutku
yang menyatu dalam hati setiap lelaki
Aku mendengar bisikmu melewati bukit-bukit biru, samudera sepi, dan sejumlah
pemburu yang tersesat di gurun hakekat—bulan runcing inikah isyarat?
Dan para muadzin yang terjaga membangunkan waktu, pasir, batu, ilalang, perdu;
langit ini adalah baka dalam tanda kuasaMu, terkecuali imam sesungguhnya
Lantas kulafalkan setiap kekal ke dalam kematian, begitu seterusnya
seperti sisa-sisa kerak yang menjelma debu dan memasuki tanah
2012
Kawah
dinding-dinding batu, hawa dingin menyatu
lanskap membiru
dan debu-debu menjadi sunyi
di pundak para pemikul batu
hari kembali pagi
menyatu dengan kabut
seperti daun bersemi
melupakan maut
Mei, 2012
Pertemuan
Barangkali kita tak lagi bertanya tentang kenangan, atau percakapan-percakapan senja, semua telah menjelma masa lalu; asing dan getar.
Barangkali waktu pun berubah senyap, ditikam malam yang tiba-tiba lenyap.
Kita tahu, pergi adalah nubuat tentang nasib, tentang segala pahit.
Hingga akhirnya kita pun mulai ingkar pada senja yang samar
Mei, 2012
Ketika Hujan Turun
Aku meminum kopiku ketika hujan menjadi kaca jendela
Dan membisikkan rintik-rintik berirama tentang dunia yang hampa
Lalu kutemukan dua baris puisi lama, membacanya bersama sepi
Seolah ketakutan berkobar di penjuru negeri
Tapi inilah revolusi—sesuatu yang diperjuangkan
Sebelum kematian, menggantikan kenangan
Dan hujan akan kembali deras
Menjadi dingin yang membekas
2012
Kita selalu bertanya di mana ujung hari sebenarnya? Dan kita tak pernah berkata-kata, selain wabah malaria yang merenggut segala perjumpaan. Barangkali memang akan terasa hampa, jika senja seperti tergerus tiba-tiba dan kau tak sempat melambaikan tangan. Maka, akan terdengar angin yang luruh, menyerah. Di daerah perbatasan antara hutan dan setapak, nasib seolah tak beranjak.
Rumputan dan padang kelabu, suram dalam warna tak tentu. Mengenang dermaga kecil yang jauh—di lereng bukit itu. Aku berkata padamu, kebahagiaan adalah masa lalu yang disamarkan gelombang pada dinding batu-batu. Juga sepucuk kartu pos buram yang terselip di dalam noken, entah siapa yang mengirimnya. Barangkali dari negeri letih tak bernama, atau seorang pengembara yang tersesat—kerapkali kita mabuk romansa. Dan tiang-tiang dermaga telah patah oleh dingin, ditinggalkan nubuat yang ingkar pada angin.
Lalu, apa sebenarnya rindu dalam pekat ini? Barangkali hanya namamu yang merasukku. Hingga akhirnya masing-masing kita tak ada, tak pernah ada untuk ingatan. Juga sebait syair perpisahan, tentang tanda, bekas, jejak, sisa, dan fana.
Maghrib sayup-sayup meresap, seperti mengingatkan tentang revolusi. Dan kau tak bergeming dalam hening. Hutan-hutan gerilya tak lagi terjaga, gerimis turun tiba-tiba. Di jalan setapak, bergegas kutinggalkan dermaga. Gelap ini benar-benar tak bernama.
Sorong, 2012
Nukilan Mei
Aku menyerupai danau dalam biru semata; damai yang fana
kugambarkan burung-burung terbang dan ranting-ranting menjulang hampa
ketika daun-daun gugur tanpa warna
Sungguh, aku tak pernah melihat surga atau apapun keindahan sebenarnya
terkecuali lukisan belaka, warna-warna itu berubah nyeri
di musim yang senyap; kosong mengubur diri
Aku, akar, pohon, dan akanan hanyalah kenangan
di wajahku yang sunyi dan beku, musim membekas diam-diam
dan lupa adalah kegetiran jika langit berangsur malam
Dan di beberapa akhir sajak, pohon-pohon itu lekas mati
memutih di tepi danau yang beku
—aku sudah tidak ada, di situ bersamamu
Mei 2012
Kelahiran
Kita telah berdoa dalam sebuah nama, seperti Tuhan menyeru hambanya
di tembok dan kitab, mereka mencatatnya
—sejarah adalah nostalgia nama-nama
dalam huruf yang disucikan dan dikucilkan; sebuah kejadian bermula
dan darimanakah ia berasal?
di sebuah gua tak bernama, ia menjelma—senyap
lalu dalam dengus dan udara terbata
kedua tangannya meminta,
“Alangkah dingin dunia ini!” ia merintih, berpilin, menggeliat,
ketika ia gelisah, hari berubah basah
dan jendela kosong tanpa udara
Kemudian, di kesunyian, orang-orang tua membacakan sajak
tentang nama-nama kepergian
mereka lekas berangkat dalam gugup yang kesekian
dan tak ada seorang pun menduga
2012
Rumah Pulau
Buat Aniku
Aku berumah pada sesak dan ombak
Di hamparan pasir tanpa karang; putih belaka
“Singgahlah, hai pengembara
Sebelum hari terasa suram, tajam mendesak”
Hanya gerimis sederhana yang kutawarkan
Juga beberapa kasbi dan segelas kopi
Dan udara semakin nihil kukira
Berhembus gigil dari arah jendela
—tak ada lagi cinta bagi mereka yang tua
Selebihnya sepi dalam sisa nostalgia
Setiap kali gelap memikat, di sanalah segala riwayat
Bersemayam atau berangkat, kita tidak mengerti
“Ah, hidupku sekedar menghabiskan sajak
Terkubur dalam bayang-bayang”
Tak ada yang terjadi lagi di sini
Terkecuali kesepian yang mengerak
Dan semakin menghilang
Mei, 2012
Pala
Di tanah-tanah tinggi dan teluk sunyi ini
Kapal dan sampan para syahbandar mengangkut ikan-ikan
Berderak dari burit hingga haluan
Lambaikan tangan pada bayangmu, kawan!
Kau akan singgah dan mendarat di tanah ini
Beberapa kedai kopi dan obrolan pengisi hari
Selalu hadir sepanjang pantai
Dengarlah, suara teluk yang memeluk kapal-kapal
Pertanda hari telah tua dan usang di ujung sana,
Udara mendadak dingin dan kita kunyah beberapa pinang
Semacam kenangan; obrolan-obrolan nelayan, amis ikan,
Dan juga senja yang kian melembayung-saga
Masihkah kita menjadi pengembara? Ah, kita teramat tua
Mengingatnya. Kopi dan kerinduan musim semi,
Adalah kepulangan bagi pulau ini
Pohon-pohon pala yang berwarna tembaga
Berpendar dalam cahaya senja, dan suar menara
Sebenarnya merayakan hidup bukanlah hal yang sia-sia
Aroma itu tercium hingga ujung beludru para pedagang eropa
—hikayat, rempah, tenun, kitab-kitab, kopi, ikan, ukiran, lanskap
Adalah riwayat nenek moyang kami berabad-abad lampau
Jauh sebelum para syahbandar barat mengembangkan layar
Ekspedisi mereka semacam praduga tentang rindu dan risau
Hingga laut menunjukkan mereka teluk ini, lewat pendar menara suar
Singgahlah, dalam senyap ini
Dalam ketuaan, kita tak lagi mengimpikan revolusi
Biarkan anak-anak itu yang bergegas melempar jangkar besi
Hingga para pedagang merapatkan kapal ke syahbandar
Butir-butir pala diangkut kapal-kapal besar dan tak pernah ada kabar
Di mana mereka menimbunnya?
Hari berangkat sepi, seperti getir belaka
Dan teluk masih terasa sejuk, ia seolah berkata lirih:
Inilah kampung halaman pengembara kabut
Kita sudah memutih, dan kerut-kerut kulit ini
Adalah senyum ketabahan yang sunyi
Setiap kali ada yang pergi tak kembali
Biarkan kami sendiri!
Sorong, Mei 2012
Di Sebuah Rumah
Di sebuah rumah—entah milik siapa,
Kita seperti pengembara yang hibuk tersesat arah angin,
Arah kiblat berubah pekat dan udara semakin dingin
Kita tak mengetuk pintu, bahkan mengucap salam
Sebab kita hanyalah sepasang diam—dalam jasad ini
Dan rindu tidak tenggelam menjadi sunyi
Di dinding papan itu menggantung lukisan tentang danau kering, sampan,
Udara dingin, serta kalender usang yang kehilangan hari liburnya
Siapa kita sebenarnya, mengapa kita saling mengingat
Kenangan ibarat pintu dengan engsel berkarat, kita teramat hati-hati
Menduga segala isyarat—kau dan aku, tak pernah sepakat bahwa kita hanyalah
Sepasang pengagum kesepian dalam sebuah kematian
Dari arah jendela, angin bersiur hampa
Hari sejenak senja dalam tiba-tiba
Segala nostalgia menembus sia-sia
Di sebuah rumah, dalam sejarah masa lalu tubuh kita
Barangkali akan kita ingat sunyi yang tersesat oleh hampa
Dan suara jam begitu baka
Akankah kita bergegas dalam sunyi?
Dan udara menggigil. Semua terasa ganjil
Kita hanyalah kabut yang segera lenyap, di suatu sudut terpencil
Mei, 2012
Tamsil
Dalam keheningan kata-katamu menjelma unta padang pasir
memuji sunyi yang silih berganti, dan larik-larik hangatmu menemukan kabutku
yang menyatu dalam hati setiap lelaki
Aku mendengar bisikmu melewati bukit-bukit biru, samudera sepi, dan sejumlah
pemburu yang tersesat di gurun hakekat—bulan runcing inikah isyarat?
Dan para muadzin yang terjaga membangunkan waktu, pasir, batu, ilalang, perdu;
langit ini adalah baka dalam tanda kuasaMu, terkecuali imam sesungguhnya
Lantas kulafalkan setiap kekal ke dalam kematian, begitu seterusnya
seperti sisa-sisa kerak yang menjelma debu dan memasuki tanah
2012
Kawah
dinding-dinding batu, hawa dingin menyatu
lanskap membiru
dan debu-debu menjadi sunyi
di pundak para pemikul batu
hari kembali pagi
menyatu dengan kabut
seperti daun bersemi
melupakan maut
Mei, 2012
Pertemuan
Barangkali kita tak lagi bertanya tentang kenangan, atau percakapan-percakapan senja, semua telah menjelma masa lalu; asing dan getar.
Barangkali waktu pun berubah senyap, ditikam malam yang tiba-tiba lenyap.
Kita tahu, pergi adalah nubuat tentang nasib, tentang segala pahit.
Hingga akhirnya kita pun mulai ingkar pada senja yang samar
Mei, 2012
Ketika Hujan Turun
Aku meminum kopiku ketika hujan menjadi kaca jendela
Dan membisikkan rintik-rintik berirama tentang dunia yang hampa
Lalu kutemukan dua baris puisi lama, membacanya bersama sepi
Seolah ketakutan berkobar di penjuru negeri
Tapi inilah revolusi—sesuatu yang diperjuangkan
Sebelum kematian, menggantikan kenangan
Dan hujan akan kembali deras
Menjadi dingin yang membekas
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar