oleh : Ikmi Nur Oktaviani
Pada
saat saya menayangkan tulisan saya yang di dalamnya membandingkan
secara sepintas antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, saya
mendapati seseorang yang berkomentar bahwa bahasa Inggris lebih rumit
dari bahasa Indonesia. Beberapa penutur asing yang mempelajari bahasa
Indonesia pun awalnya berasumsi demikian. Hal ini terjadi karena mereka
berkaca pada bahasa-bahasa Indo-Eropa atau bahasa-bahasa Asia Timur yang
karakteristiknya jauh berbeda dengan bahasa Indonesia. Maka tak ayal
bahasa Indonesia yang secara sekilas tampak tidak serumit bahasa-bahasa
tersebut dicap sebagai bahasa yang mudah dipelajari.
Adapun
bahasa-bahasa di dunia ini sejatinya tidak ada yang lebih rumit atau
lebih sederhana sehingga tidak ada bahasa yang berposisi lebih tinggi
dibanding bahasa lainnya, terlepas dari fungsinya sebagai bahasa
internasional atau tidak. Semua bahasa itu unik dengan caranya
masing-masing, termasuk bahasa Indonesia.
Berikut akan saya ulas beberapa sumber kesalahpahaman atas adanya anggapan mudahnya mempelajari bahasa Indonesia.
1. Bahasa Indonesia tidak mempunyai sistem kala (tense)
Bahasa Inggris, misalnya, sangat peka terhadap informasi kala. Sebagai contohnya:
I studied Dialectology last night.
Verba study dilekati infleksi kala lampau –ed mengindikasikan kegiatan tersebut dilakukan pada waktu lampau (yang dipertegas dengan kehadiran adverbia last night). Informasi demikian tidak diperoleh dalam verba bahasa Indonesia. Misalnya,
Icuk makan nasi goreng.
Verba makan tidak
memuat informasi selain tindakan apa yang dilakukan subjek (tidak ada
informasi waktu). Jika seseorang ingin menambahkan informasi temporal,
maka dilakukan secara perifrastis, misal dengan menambahkan frase
adverbia temporalkemarin seperti pada contoh di bawah ini.
Icuk makan nasi goreng kemarin.
Menurut
Dardjowidjojo (1983:242) penanda waktu dalam bahasa Indonesia yang
dilakukan secara perifrastis dianggap sebagai sebagai suatu cara untuk
menghindari keridundanan (redundancy). Dengan adanya keterangan waktu seperti kemarin sudah lebih dari cukup untuk memberikan informasi dan tidak perlu lagi menandai verba makandengan
infleksi seperti dalam bahasa Inggris. Sementara itu, bahasa Inggris
memerlukan infleksi kala untuk tetap hadir karena infleksi tersebut
memungkinkan identifikasi verba dan membedakannya dari kategori lainnya
(Poedjosoedarmo).
2. Bahasa Indonesia tidak mengenal kasus
Sistem
kasus biasanya hadir dalam bahasa yang urutan katanya longgar (loose).
Salah satu bahasa dengan sistem kasus paling kuat adalah bahasa Latin.
Dengan kondisi urutan kata yang longgar, bahasa Latin memerlukan
pemarkah untuk membedakan subjek dari objek pada nomina-nominanya. Oleh
sebab itu, lahirlah kasus. Sebut saja kasus akusatif, nominatif,
ablatif, absolutif, datif, dsb. Mari perhatikan contoh berikut.
Puer Puellam amat
Girl boy love
‘girl loves boy’
Urutan
kata dalam contoh di atas tidak penting. Karena puella (boy) sudah
dikenai kasus akusatif dengan dimarkahi infleksi –m menjadi puellam,
maka konstituen tersebut lah yang menjadi objek (puer menjadi subjek),
sehingga bagaimanapun urutannya tetap bermakna sama, yaitu ‘girl love
boy’. Misalnya diubah menjadi
Puellam Puer amat
Boy girl love
‘girl loves boy’
atau:
Amat Puellam Puer
Love boy girl
‘girl loves boy’
Keduanya tetap bermakna sama, yaitu ‘girl love boy’.
Adapun
bahasa Indonesia tidak mengenal sistem kasus seperti ini karena sudah
menerapkan urutan kata ketat pada konstruksinya untuk membedakan mana
subjek dan mana objek (konstituen tidak dapat dipindah-pindahkan sesuka
hati). Maka tidak mengherankan jika bahasa Indonesia tampak lebih
sederhana.
3. Bahasa Indonesia tidak punya pemarkah jender
Bahasa
Indonesia memang tidak mengenal jender. Berbeda dengan bahasa Jerman
misalnya yang mempunyai pronomina khusus untuk orang ketiga perempuan
(sie) dan orang ketiga laki-laki (er). Bahasa Jerman juga mengenal tiga
buah jender untuk mengidentifikasi nominanya; maskulin, feminin, dan
netral. Sementara itu, bahasa Perancis mempunyai dua buah jender untuk
mengidentifikasi nominanya (maskulin dan feminin). Bahasa Inggris tidak
memiliki identifikasi jender terhadap nomina, namun bahasa Inggris
mengenal pronomina ketiga tunggal perempuan (she) dan pronomina ketiga
tunggal laki-laki (he), juga sejumlah leksikon yang dibedakan antara
laki-laki dan perempuan (actor-actress, waiter-waitress, dsb).
Bahasa
Indonesia tidak demikian. Nuansa jender yang hadir dalam bahasa
Indonesia sesungguhnya merupakan hasil pemengaruhan bahasa Sansekerta
(dewa, dewi, putra, putri, -wan, -wati, dsb.). Hal ini wajar mengingat
bahasa Sansekerta merupakan keluarga besar bahasa Indo-Eropa (satu
keluarga dengan bahasa Inggris, Jerman, Latin) yang memang peka terhadap
jender. Karena kontak bahasa Melayu dengan bahasa Sansekerta yang
terjadi pada masa Sriwijaya, tidak mengherankan jika banyak kosakata
Sansekerta yang diserap ke dalam bahasa Melayu. Dan pada akhirnya
ketidakpekaan bahasa Indonesia terhadap jenis kelamin menjadikannya
terlihat lebih sederhana dibandingkan bahasa-bahasa Indo-Eropa.
4. Bahasa Indonesia tidak mengenal persesuaian subjek dan verba
Bahasa-bahasa
Indo-Eropa yang kebanyakan digilai oleh masyarakat kita untuk dikuasai
adalah bahasa yang mengenal persesuaian subjek dengan verba, sehingga
mereka cenderung meremehkan bahasa Indonesia yang tidak mengenal hal
serupa. Demikian halnya para pembelajar dari penutur berbahasa asli
bahasa-bahasa Indo-Eropa pun merasakan hal yang sama. Contoh yang mudah
dapat diamati dalam bahasa Inggris sebagai berikut.
I am smart.
She is smart.
They are smart.
She watches TV.
They watch TV.
Bahasa
Inggris (dan juga bahasa-bahasa Indo-Eropa lain) sarat akan informasi
kala, jender, persona, serta jumlah (tunggal atau jamak) sehingga
dilakukan persesuaian terhadap sejumlah poin tersebut. Adapun bahasa
Indonesia tidak mengenal persesuaian semacam itu. Itulah sebabnya banyak
yang menganggap bahasa Indonesia lebih mudah dipelajari.
5. Bahasa Indonesia dituliskan dalam aksara latin
Tidak
seperti bahasa Mandarin, Jepang atau Korea yang mempunyai aksara
tersendiri, Bahasa Indonesia dituliskan dalam aksara Latin sehingga
tidak membutuhkan waktu khusus untuk belajar menulis dan membacanya.
Oleh karena itu, sekali lagi, bahasa Indonesia terlihat mudah untuk
dipelajari.
Poin-poin
di atas adalah benar adanya, namun tidak menjadi dasar pembenaran bahwa
bahasa Indonesia lebih sederhana dibandingkan bahasa-bahasa lainnya.
Sekali lagi, setiap bahasa mempunyai keunikan masing-masing dengan
tingkat kompleksitas dan simplisitas masing-masing pula. Di bawah ini
akan saya ulas secara singkat beberapa hal yang merupakan karakteristik
bahasa Indonesia yang menjadikannya unik dengan caranya sendiri dan pada
akhirnya menjadikan bahasa Indonesia tidak serta merta dilabeli bahasa
“mudah”.
1. Bahasa Indonesia mempunyai konstruksi pasif yang beragam
Konstruksi
pasif adalah konstruksi yang menempatkan objek pada kalimat aktif
menjadi subjek pada kalimat pasif, dan acapkali subjek pada kalimat
aktif (pelaku) dihilangkan karena sudah diketahui atau tidak
dipentingkan.
Bahasa Indonesia dapat dikatakan sebagai bahasa yang kaya dengan bentuk pasif. Jika bahasa Inggris mempunyai formula pasif
S + to be + V3 + by ….
Maka bahasa Indonesia tidak hanya sebatas itu saja. Perhatikan contoh-contoh di bawah ini:
(a) Semua anggota ditunjuk oleh Presiden. (pelaku dijelaskan)
(b) Kemerdekaan individu diutamakan. (tanpa pelaku)
(c) Buku itu dibawanya.
(d) Anak itu terjatuh.
(e) Dia kupukul.
(f) Uang itu mereka bawa.
(g) Saya kena tilang.
(h) Desa saya kebanjiran.
Contoh-contoh
di atas merupakan konstruksi pasif dalam bahasa Indonesia yang sangat
beragam, berbeda dengan bahasa-bahasa Indo-Eropa yang tidak beragam
dalam konstruksi pasifnya. Inilah salah satu persoalan yang menjadikan
bahasa Indonesia bahasa yang kompleks di mata para peneliti bahasa
(linguis) asing, juga linguis asli Indonesia sendiri.
Selain
itu, konstruksi pasif adalah salah satu konstruksi yang sering
dijumpai/digunakan dalam bahasa Indonesia. Kaswanti Purwo menyatakan
bahwa sebanyak 30-40% konstruksi dalam narasi merupakan konstruksi
pasif. Tidak demikian dengan bahasa Inggris yang hanya menggunakan pasif
sebanyak 9% saja dalam narasinya.
Selain itu, pasif dalam bahasa Indonesia tidak sepasif namanya. Coba perhatikan contoh berikut.
Setelah rambut Hasnah disusunnya, diambilnya cat bibir dan tasnya, dan digincunya bibir Hasnah.
Kalimat
di atas sangat kental dengan bentuk pasif. Namun pelaku (tindakan) yang
berusaha dilesapkan pada konstruksi pasif pada umumnya, pada konstruksi
di atas justru mendapatkan pementingan dengan intensitas kehadiran –nya yang
cukup tinggi. Oleh sebab itu, menurut van den Berg, konstruksi semacam
itu tidak tepat jika diterjemahkan ke dalam bentuk pasif ke dalam
bahasa-bahasa Indo-Eropa karena secara semantis bersifat sangat aktif (menyusun, mengambil dan menggincu)
Pada
akhirnya linguis seperti van den Berg pun sepakat bahwa pasif dalam
bahasa Melayu (bahasa Indonesia) digunakan lebih luas dibandingkan pasif
bahasa-bahasa Eropa, misalnya saja digunakan dalam konstruksi imperatif
atau larangan (Jangandimakan!) dan untuk menyatakan permintaan secara sopan (Tolong ditunggu, ya).
2. Bahasa Indonesia mempunyai karakteristik negasi yang unik
Dalam kaitannya dengan pertanyaan ya/tidak, bahasa Indonesia adalah bahasa setuju-tidak setuju. Oleh sebab itu ketika mengajukan pertanyaan seperti
Apakah Anda belum punya pacar?
Dapat dijawab dengan:
Ya, (saya belum punya) = menyetujui belum punya pacar
Tidak, (saya punya pacar) = tidak menyetujui dan menyatakan sudah punya pacar
Di samping itu, bentuk negasi ya/tidak juga dapat menghasilkan pertanyaan yang mengandung jawaban alternatif atau pilihan dengan menggunakan penegasi tidak pada posisi final seperti berikut:
Kamu lapar tidak?
Sebenarnya terjadi pelesapan pada konstruksi di atas ==> kamu lapar (atau) tidak?
Yang
dapat dijawab dengan salah satu dari pilihan berikut (itu sebabnya
disebut sebagai pertanyaan yang menyediakan pilihan jawaban):
Ya, saya lapar
Tidak, saya tidak lapar
Adapun pemakaian penegasi bukan pada posisi final untuk pertanyaan ya/tidak lebih
cenderung berupa penegasan dan umumnya hanya membutuhkan jawaban berupa
persetujuan (tidak menerima ketidaksetujuan). Contohnya:
Kamu lapar bukan?
Yang hanya dapat dijawab dengan penegasan:
Ya, saya lapar.
3. Bahasa Indonesia mempunyai valensi kosong pada predikatnya.
Yang
dimaksud dengan valensi adalah kesanggupan predikat itu untuk disertai
oleh penyerta lain (nomina) dalam suatu kalimat. Contoh valensi: verba membeli
= bervalensi dua karena diikuti dua penyerta, yakni si pembeli (subjek)
dan sesuatu yang dibeli (objek),seperti dalam kalimat: Icuk membeli baju.
Sekarang amati contoh lain berikut.
(a) Icuk makan.
(b) Icuk makan nasi goreng.
Predikat makan mempunyai
valensi satu (a) atau dua (b). Valensi satu (a) untuk menyatakan siapa
pelaku aktivitas makan (Icuk), sedangkan valensi dua (b) jika memuat
informasi apa yang dimakan (nasi goreng).
Uniknya,
bahasa Indonesia mempunyai predikat yang bervalensi kosong (tidak
mempunyai perserta). Dengan kata lain terdapat predikat tertentu dalam
bahasa Indonesia yang bervalensi nol sehingga tidak didahului atau
diikuti oleh argumen lain (Wijana, 2010:40-41).
Seperti halnya ketika mengatakan kondisi cuaca, seseorang cukup mengatakan
Hujan.
Panas.
Atau menambahkan keterangan tempat/waktu/adverbia.
Hujan di sini.
Sekarang panas sekali.
Hujan, panas, dan dingin merupakan
predikat yang bervalensi nol atau kosong. Dengan demikian, bahasa
Indonesia mempunyai valensi yang lebih beragam, mulai dari valensi
kosong, satu, dua, hingga tiga. Berbeda dengan bahasa Indonesia, bahasa
Inggris tidak memperkenankan predikatnya bervalensi kosong, sehingga
kemungkinan valensi predikat pada bahasa Inggris tidak seberagam bahasa
Indonesia (valensi satu, dua dan tiga).
4. Bahasa Indonesia kaya akan morfologi verba
Bahasa
Indonesia memang tidak mengenal informasi kala pada verbanya, akan
tetapi hal tersebut tidak menjadikan verba bahasa Indonesia kehilangan
keunikannya. Verba bahasa Indonesia kaya akan aspek morfologi. Yang
dimaksud dengan morfologi pada verba adalah afiksasi yang melekat pada
verba. Karena bahasa Indonesia adalah bahasa dengan urutan kata ketat,
maka afiksasi ini cukup berpengaruh, misalnya:
(a) Anjing mengejar kucing
Jika meN- tersebut diganti dengan afiks di- menjadi:
(b) Anjing dikejar kucing
Makna
konstruksi tersebut sudah berubah. Jika pada kalimat (a), anjing adalah
subjek sekaligus pelaku, maka pada kalimat (b), anjing adalah subjek
namun bukan pelaku.
Sebagai
penutur asli, kita memang dianugerahi naluri alamiah perihal morfologi
verba ini. Namun, tidak demikian dengan penutur asing. Seorang dosen
pernah menceritakan pada saya sebuah kisah tentang ini. Saat beliau
mengajar bahasa Indonesia di Jepang, beliau meminta muridnya untuk
membuat karangan singkat tentang diri mereka. Dan salah satu kalimat
yang “lucu” yang dihasilkan oleh pembelajar tersebut adalah:
Saya meninggal di Kobe. (yang dia maksud adalah ‘Saya tinggal di Kobe’) tinggal yang
tidak memerlukan afiksasi apapun untuk merujuk pada kegiatan menempati
suatu lokasi, oleh pembelajar tersebut dilekati dengan afiksasi meN-
yang memang lazim dijumpai dalam bahasa Indonesia (membaca, menulis, memasak,
dll).
Penutur asing tidak mempunyai naluri kapan harus menggunakan
afiksasi dan kapan menanggalkannya sehingga acapkali mereka melekatkan
afiksasi pada verba yang sebenarnya tidak perlu dilakukan (seperti
contoh di atas). Itulah salah satu keunikan bahasa Indonesia yang harus
kita ketahui.
Selain
itu, morfologi verba (melalui afiksasi) bahasa Indonesia juga cukup
terasa dalam pembentukan konstruksi kausatif. Konstruksi kausatif adalah
konstruksi yang menyatakan ‘X menyebabkan Y jadi Z’. Contoh di bawah
ini (b) merupakan contoh konstruksi kausatif dari konstruksi (a) dengan
afiks meN-/-kan sebagai pembentuk kekausatifan (menjatuhkan)
Contoh:
a) Buah itu jatuh. = verba jatuh hanya bervalensi satu (apa yang jatuh? à subjek)
b) Ali menjatuhkan buah itu. = verba menjatuhkan bervalensi dua (siapa yang menjatuhkan? dan apa yang jatuh?)
Pembentukan
konstruksi kausatif dengan morfologis verba menambah valensi verba
(bahasa Indonesia). Hal ini karena: dalam konstruksi (b) di atas
(konstruksi kausatif) muncul unsur baru, yaitu si penyebab terjadinya
sesuatu (Ali). Dalam konstruksi (a) yang bersifat non-kausatif, tidak
ada penyebab, hanya ada akibat yang ditimbulkan saja.
5. Bahasa Indonesia mempunyai banyak preposisi dan karakteristik sintaksisnya pun unik
Bahasa Indonesia mempunyai preposisi dalam jumlah yang banyak dan penggunannya pun cukup marak.
Sebut saja preposisi seperti tentang, mengenai, kepada, ke, dari, di, di atas, di bawah, di antara,
dan masih banyak yang lainnya. Dibandingkan dengan bahasa Inggris,
perilaku sintaksis preposisi bahasa Indonesia lebih unik. Kendati
demikian, secara semantik preposisi bahasa Inggris dalam hal tertentu
lebih kaya: lebih peka terhadap ruang. Sebagai contoh:
I put a book on the table.
on the table merupakan
preposisi yang berperan sebagai elemen periferal (memberikan informasi
tambahan terhadap keseluruhan kalimat). Secara semantis, on memang
mempunyai kadar kepekaan yang tinggi terhadap ruang karena menunjukkan
aspek semantis [+ posisi atas] yang jika dipadankan ke dalam preposisi
bahasa Indonesia menjadi frase di atas yang kepekaannya terhadap ruang lebih berkurang (di + atas). Kendati demikian, secara sintaksis, on the table tidak mempunyai perilaku khusus, berbeda dengan preposisi bahasa Indonesia yang akan saya jelaskan sebentar lagi.
Maraknya
pemakaian preposisi dalam bahasa Indonesia diasumsikan karena adanya
pengaruh dari melemahnya penggunaan morfologi verba. Sebagaimana
diketahui, perubahan bahasa selalu terjadi dari bentuk kompleks ke
sederhana, dari “kaya” ke “miskin”. Demikian pula halnya dalam bahasa
Indonesia, morfologi verba dinilai terlalu rumit. Salah satu afiks yang
dulunya kental digunakan dalam bahasa Melayu adalah sufiks–kan dan –i. Seiring dengan perlahan ditinggalkannya morfologi verba, sufiks –kan dan –ijuga
ditinggalkan karena dinilai rumit. Imbasnya, hadirlah preposisi sebagai
unit lingual yang mengisi kekosongan. Hal ini karena setiap unit
lingual yang hilang harus digantikan oleh unit lingual yang lain untuk
mengisi kekosongan yang ditimbulkan agar tatabahasa tetap bisa berfungsi
untuk menjadikan bahasa padat dan ringkas.
Misalnya contoh berikut.
(a) Dia memikirkan masa depannya.
Penggunaan –kan yang memudar kemudian menjadikan verba tidak sekompleks sebelumnya (berpikir) dan memunculkan preposisi:
(a1) Dia berpikir tentang masa depannya.
Selain sufiks –kan, sufiks –i juga mengalami nasib yang serupa. Amati contoh di bawah ini:
(b) Mereka menaiki gunung Bromo.
Pemakaian sufiks –i yang
memudar karena kompleksitas morofologi verba yang dianggap rumit
sehingga
cenderung diabaikan memicu munculnya preposisi seperti dalam:
(b1) Mereka naik ke gunung Bromo.
Baik berpikir maupun naik lebih sederhana dibandingkan dengan memikirkan danmenaiki (yang lebih kompleks karena dilekati meN-/-kan dan meN-/-i). Ketika berpikir dannaik lebih dipilih untuk digunakan, hadirlah preposisi tentang dan ke untuk mengisi kekosongan yang ditimbulkan, seperti dalam contoh di atas
(a1 dan b1).
Sebagai
bahasa dengan urutan kata ketat, konstituen dalam kalimat bahasa
Indonesia tidak dapat seenaknya dipindahkan. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku sepenuhnya bagi preposisi. Frase preposisi dalam bahasa
Indonesia bersifat cukup mobile. Contohnya:
(c) Icuk main bulu tangkis di halaman.
Frase preposisi di halaman dapat dipindah-pindahkan pada beberapa posisi, antara lain
(c1) Di halaman, Icuk main bulu tangkis.
(c2) Icuk di halaman main bulu tangkis.
Meskipun
demikian, frase preposisi di halaman tidak dapat menyela predikat
(main) dan objek (bulu tangkis) sehingga kalimat berikut tidak
gramatikal.
(c3) * Icuk main di halaman bulu tangkis.
Berdasarkan
uraian tersebut jelas terlihat bahwa preposisi (frase preposisi) dalam
bahasa Indonesia mempunyai perilaku sintaksis yang cukup unik dan
menjadi salah satu karakteristik bahasa Indonesia, yakni preposisi yang
hadir mensubtitusi sufiks –kan dan –i dan preposisi yang cenderung dapat dipindah-pindahkan.
Poin-poin
di atas merupakan sebagian kecil perihal bahasa Indonesia yang dapat
saya sampaikan. Sebagai informasi tambahan perihal aksara dalam bahasa
Melayu, sejatinya bahasa Melayu (cikal bakal bahasa Indonesia) mulai
periode Melayu Kuna, Klasik, hingga Modern (abad 19-20) menggunakan
aksara yang beragam dalam sistem penulisannya, mulai dari Palawa
(pengaruh Aksara dari India) hingga Arab Jawi (Pengaruh kedatangan
Islam). Penggunaan aksara Latin baru diperkenalkan oleh Pemerintah
Kolonial untuk mempermudah mereka mengatur kekuasaan di Nusantara.
Mengingat begitu kentalnya penggunaan aksara Palawa dan Arab Jawi di
eranya masing-masing, sungguh mengherankan jika aksara-aksara tersebut
(Palawa dan Arab Jawi) tidak pernah diajarkan di sekolah secara
menyeluruh di Indonesia, kecuali bagi yang mengambil penjurusan Bahasa
sewaktu SMA pasti sempat memperoleh pengenalan aksara Arab Jawi
(termasuk saya) untuk mempelajari naskah-naskah Melayu Klasik/Modern.
Sebenarnya
masih banyak lagi hal menarik dari bahasa Indonesia yang semakin
memperjelas kekhasannya yang belum dapat saya paparkan di sini karena
keterbatasan ruang. Setidaknya, melalui tulisan sederhana ini, kita
semua dapat berpandangan lebih luas dan menganggap bahwa tiap bahasa
itu unik dengan karakternya sendiri, termasuk bahasa Indonesia. Sekadar
informasi saja, banyak mahasiswa asing yang mengambil subjek bahasa
Indonesia karena mengira bahasa Indonesia itu mudah pada akhirnya
mengaku kesulitan mempelajarinya dan beberapa di antaranya bahkan drop out.
Maka jangan pernah malu, justru harus bangga, mempelajari bahasa
Indonesia. Apalagi bahasa Melayu (red: Bahasa Indonesia) sudah diakui
sebagai salah satu bahasa kebudayaan di dunia. Mengapa demikian? Untuk
dapat mengetahui jawabannya, silakan Anda pelajari (atau setidaknya
baca) kesusastraan Melayu yang begitu kaya dan bernilai sastra serta
budaya yang tinggi, yang barangkali tidak dikenal lagi oleh generasi
muda sekarang.
Jadi, siapa sekarang yang berani mengatakan bahasa Indonesia itu mudah?
Salamsumber http://sajakharapan.wordpress.com/2012/04/08/siapa-bilang-bahasa-indonesia-itu-mudah/#more-78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar