Karya : Anik Kusmiatun
Satu tahun berlalu. Aku masih kuat bertahan di sekolah ini. Alhamdulillah selama dua semester aku bertahan di peringkat dua. Usaha dan doaku selama ini banyak yang terkabul. Orang tuaku pun bangga dengan prestasi yang kuraih. Naik ke kelas XI aku harus berusaha lebih keras lagi agar dapat mengalahkan Nurdiana Dewi dan merebut kursi peringkat satu.
Jam belajar yang penuh dari pagi hingga malam rupanya menuai banyak protes di kalangan siswa. Mereka merasa bosan harus belajar terus tanpa ada program pengembangan potensi diri. Sebenarnya aku lebih senang punya porsi jam belajar yang banyak. Namun lebih banyak siswa yang tidak suka belajar dari pagi hingga malam.
Malam ini Bang Umar yang terkenal sebagai senior yang paling disegani mengumpulkan seluruh ketua kelas. Karena sekolah kami baru ada 3 kelas, maka ketiga ketua kelas itu menemui Bang Umar di bawah pohon cemara pinggir laut. Pertemuan itu tidak diketahui bapak asrama maupun guru-guru yang tinggal di asrama.
“Kita harus melakukan suatu tindakan untuk mengubah sistem belajar yang full dari pagi hingga malam. Apa kalian tidak merasa bosan?” Bang Umar mulai memprovokasi tiga ketua kelas. Mereka semua mangangguk-angguk sambil berpikir.
“Betul Bang. Sekarang masa demokrasi. Kita berhak mengemukakan pendapat di depan umum.” kata Arkha, ketua kelas X.
“Kalian punya ide cemerlang?”
“Begini saja, besok siang kita ajak semua siswa demo di depan kantor guru.”
“Ide ditampung. Ada yang lain?”
“Kita mogok belajar saja.”
“Oke, kita sepakati saja. Mogok belajar atau demo di depan kantor guru?”
Diskusi mengalami perdebatan seru layaknya anggota DPR di rapat siding paripurna. Belum ada titik temu yang pasti. Safrul sebagai ketua kelas XI angkat bicara, “Aku punya usul baru. Kita adakan jajak pendapat. Semua siswa kita minta untuk menulis surat yang berisi kritik dan saran yang membangun. Surat itu kita tujukan kepada para pengambil kebijakan di sekolah. Menurutku itu jauh lebih efektif.”
Ketua kelas XII, Bang Rivan, akhirnya juga bersuara, “Aku setuju dengan usul Safrul. Semua siswa bebas mengemukakan pendapat lewat tulisan. Daripada kita capek aksi di depan kantor, belum tentu semua siswa mau diajak aksi. Mereka pasti takut kalau berpengaruh pada nilai raport.”
“Ide yang sangat cerdas. Baiklah, besok kita sebarkan kertas untuk menulis surat. Lebih amannya, jangan cantumkan nama kita di surat itu. Arkha, kamu yang bertanggungjawab di kelas X. Safrul di kelas XI, aku akan membantu Rivan di kelas XII. Paham?”
Musyawarah petinggi kelas sudah mencapai mufakat. Besok saat jam istirahat pertama masing-masing kelas menulis surat itu. Jika belum selesai, akan dilanjutkan pada jam istirahat siang. Malam harinya surat itu harus sudah sampai di tangan Bang Umar. Rencana Bang Umar, surat itu akan dimasukkan ke ruang kepala sekolah melalui celah ventilasi.
Supaya guru piket tidak curiga, setiap kelas membagi kertas itu pada jam istirahat. Jadi tidak ada sedikit pun kejanggalan yang terjadi siang itu. Aksi protes ini akan dilanjutkan nanti malam. Semua siswa harus berjanji tidak akan melaporkan misi rahasia ini kepada guru-guru maupun pendamping asrama. Bahkan semua diminta bungkam jika ditanya siapa dalang di balik aksi ini.
Aksi surat tanpa nama berjalan lancar tanpa mengundang kecurigaan para guru. Malam ini semua surat sudah masuk ke ruang kepala sekolah. Bisa dipastikan surat-surat itu kondisinya berhamburan tidak karuan memenuhi ruang kerja Pak Agus. Besok pagi kami tinggal menunggu respon dewan guru. Semoga usaha itu membuahkan hasil yang positif.
***
Matahari belum muncul dari balik Gunung Meukek. Aktivitas sekolah belum dimulai. Setiap pagi sebelum jam kantor, Bang Ansar sebagai office boy selalu menyapu dan membereskan semua ruang kantor guru dan kepala sekolah. Saat membuka ruang kepala sekolah, Bang Ansar terkejut seperti bertemu dengan makhluk lain. Ruangan berukuran 3x4 meter itu dipenuhi kertas yang berserakan di lantai. Bang Ansar langsung menutup kembali ruang kerja Pak Agus. Ia bergegas lari ke rumah Pak Agus.
“Ada apa, An? Kenapa kamu seperti dikejar babi hutan saja.” Tanya Pak Agus penasaran.
Bang Ansar mengatur napas, “Pak, sepertinya semalam ada orang yang menyelinap masuk ke ruangan Bapak.”
“Memangnya apa yang terjadi di ruangan saya?”
“Ruangan Bapak berantakan sekali. Saya tidak berani menyentuh satu pun kertas yang berhamburan di lantai. Saya takut kalau memang ada pencuri masuk kemudian ada pemeriksaan dari pihak yang berwajib, saya bisa jadi tersangka kalau sidik jari saya tertinggal di sana.”
“Tenang dulu, An. Kita langsung ke kantor saja sekarang.”
Pak Agus dan Bang Ansar berjalan ke kantor. Pak Agus pun kaget melihat kertas berhamburan di lantai. Kemudian beliau memungut satu kertas dan membaca tulisan tangan yang ada di kertas itu. Pak Agus duduk di kursi tempat beliau bekerja. Sementara itu Bang Ansar membereskan kertas-kertas sampai ruangan kembali rapi.
Beberapa surat sudah dibaca oleh Pak Agus. Sebagai kepala sekolah yang arif dan bijaksana, beliau tidak langsung reaktif. Beliau tersenyum mengangguk-angguk paham maksud tulisan yang disampaikan oleh siswa.
Jam belajar masih berjalan seperti hari-hari biasanya. Pak Agus sudah mendiskusikan surat itu dengan dewan guru. Beliau akan membahas isu hangat ini di rapat mingguan kepala sekolah dengan para wakasek.
Selesai sholat Dhuhur berjamaah, Pak Edi meminta kami tetap tinggal di tempat. Siswa masih duduk rapi di barisan sholat masing-masing. Kemudian Pak Agus maju ke depan, berdiri di hadapan kami. Kini surat itu ada di genggaman beliau. Raut muka beliau tidak terlihat marah. Beliau mulai memberikan pengarahan dengan senyuman yang tulus.
“Terima kasih anak-anakku tercinta, surat kalian sudah kami terima. Kami akan menindaklanjuti aspirasi kalian. Siapa pun keluarga besar SMA kita, boleh mengemukakan pendapat yang akan mendukung kemajuan sekolah kita. Yang sangat kami sayangkan adalah surat kalian tanpa nama yang jelas. Jadi kami kesulitan untuk mencari tahu siapa yang bertanggung jawab pada surat ini.”
Kami semua terdiam seribu bahasa. Perasaan takut bercampur cemas. Bisa jadi aku akan masuk daftar tersangka karena aku pernah berulah membentuk tim ekspedisi empat malam. Semua siswa menundukkan kepala. Tidak ada satu pun yang berkomentar.
“Baiklah anak-anakku, kalau tidak ada yang bersuara, maka surat kalian tidak akan kami tindaklanjuti.”
Mulailah terdengar kasak-kusuk di kalangan siswa putra maupun putri. Rasanya rugi kalau surat itu tidak direspon oleh pihak sekolah. Sebenarnya kami tahu bahwa Pak Agus menginginkan rasa tanggung jawab atas apa yang sudah kami suarakan lewat tulisan itu. Kulirik Bang Umar yang menjadi provokator semua aksi ini. Bang Umar tetap cuek seolah-olah tidak tahu menahu tentang maslah ini.
“Saya tunggu sampai besok pagi kalau tidak ada yang menghadap saya, surat ini tidak akan kami respon. Kami akan menganggapnya seperti angin lalu saja. Kami senang kalian telah memberikan masukan yang sangat bagus. Hanya saja cara menyampaikan pendapat itu yang masih perlu perbaikan. Baik, saya tunggu perwakilan dari kalian untuk diskusi baik-baik di ruangan saya. Terima kasih.” Penjelasan Pak Agus panjang lebar. Beliau langsung keluar dari GSG kembali ke kantor.
Selesai makan siang, kami kembali ke asrama. Sampai di asrama, kami saling menyalahkan. Belum ada satu pun yang mau mengalah atas perbuatan yang telah dilakukan bersama.
“Safrul, kamu yang punya ide harus bertanggung jawab!” bentak Bang Umar dengan nada suara yang tinggi.
Safrul naik darah, “Kenapa harus aku, Bang? Justru Abang yang harus bertanggung jawab karena ide awal berasal dari Bang Umar.”
Perang mulut pun terjadi. Hampir saja kepalan tangan Bang Umar mendarat di pipi Safrul. Bang Rivan segera melerai mereka berdua. “Sudah, berhenti!!! Aku saja yang akan menghadap Pak Agus sekarang juga.”
Bang Rivan langsung keluar asrama menuju kantor guru. Meskipun tidak banyak persiapan kata-kata, Bang Rivan memberanikan diri ke ruang kepala sekolah. Dia juga merasa turut andil dalam masalah ini.
Sampai di depan ruang kepala sekolah, Pak Agus sedang sibuk di depan laptop. Bang Rivan memberanikan diri mengetuk pintu, “Assalamu’alaikum, maaf Pak bolehkah saya diskusi dengan Bapak sebentar? Tapi sebelumnya saya minta maaf karena sudah mengganggu Bapak yang sedang bekerja.”
“Silahkan masuk, ada apa Rivan?”
“Begini Pak, mengenai surat tanpa nama tadi. Kami minta maaf atas kejadian ini. Bagaimanapun juga niat kami sebenarnya baik Pak, tetapi kami masih harus belajar lagi adabnya orang yang memberikan masukan. Kami sadar bahwa tindakan kami kurang baik sehingga kami mau meluruskan masalah ini.”
“Terima kasih atas masukan kalian. Besok lagi yang kami harapkan adalah adanya diskusi atau musyawarah untuk mencari solusi terbaik. Sebenarnya kami juga tidak ingin menjadikan kalian seperti robot yang bisa digerakkan sesuka hati kami. Faktanya yang ada sekarang itu kemandirian kalian masih perlu banyak dilatih. Saya sendiri lebih senang jika memberikan masukan lewat tulisan tetap diberi nama sebagai bentuk pertanggungjawaban kita atas masukan yang kita berikan ke orang lain. Semoga kalian bisa belajar dari kejadian yang pernah kalian alami.”
“Iya, Pak. Terima kasih atas nasihat Bapak. Nanti akan saya sampaikan ke semua siswa.”
Sejak kejadian itu, kami belajar tentang prinsip-prinsip demokrasi, musyawarah mufakat dan harus berlatih bertanggung jawab. Yang namanya belajar pasti butuh proses. Harapannya apa yang kami pelajari di sini akan selamanya kami bawa hingga kami menjadi bagian dari masyarakat umum.
Alhamdulillah, satu bulan kemudian jam belajar formal sore setelah Ashar diganti dengan waktu khusus untuk kegiatan pengembangan potensi diri. Setiap siswa diwajibkan mengikuti kegiatan ektrakurikluler sesuai minat dan bakat masing-masing. Ada ekskul tari saman, kaligrafi, elektronika, menjahit, bina rangkai, karya tulis ilmiah. Kelompok bimbingan olimpiade sains juga dibentuk dan dilaksanakan seminggu sekali. Kami senang ada kegiatan yang lebih bervariasi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar