Sabtu, 07 Juli 2012

Merindukan Masa Bersurat-suratan

Unknown | Sabtu, Juli 07, 2012 |

Malam ini saya ingin berkirim surat. Ingin sekali. Tetapi kemana alamat surat itu saya tuju saya tidak tahu. Bila ada yang membaca surat ini, anggaplah ia sebagai pelipur lara, sebagai teman di kala sepi bila lagi sendiri. Semoga, kedatangan surat ini, dapat menjadi obat hati.
Ah, maafkanlah saya bila ada rasa cemburu ketika saya membaca surat-surat sahabat yang ditulis dan dikirim ke dinding grup FAM Indonesia. Saya baca semua surat itu, saya resapi dalam-dalam setiap diksi dan kalimatnya, tak ingin saya kehilangan kata sebaris pun. Membaca surat-surat itu, terkenanglah saya pada masa-masa paling indah dalam hidup saya, sekira 17 tahun lalu, ketika masa bersurat-suratan itu masih ada. Ketika setiap hari, siang hingga petang, saya nanti-nanti dengan penuh harap kedatangan pak pos mengantarkan sepucuk surat dari seorang sahabat di pulau seberang sana.
Ketika terdengar oleh saya deru mesin sepeda motor pak pos, cepat-cepat saya buka pintu dan saya sambut pak pos dengan wajah gembira. Ditunjukinya saya sepucuk surat, di sudut kanan amplop surat itu melekat selembar prangko lengkap dengan stempel pos. Saya baca alamat pengirimnya, ditujukan kepada saya. Duhai, tak terperi senangnya hati. Saya bawa lari surat itu ke dalam rumah, saya nyalakan lampu, saya duduk di sudut kamar, kemudian saya sobek amplop surat itu, lalu saya baca isinya dengan penuh keriangan. Sungguh, tak dapat saya lukiskan dengan kata-kata betapa bahagianya diri ini setiap kali menerima surat, lalu membalasnya, pergi ke kantor pos agar surat balasan itu segera dikirim pula.
Saya akui, berkat berbalas-balas surat itu pula, dikemudian hari saya terlatih menulis karangan. Saya bersyukur kepada Allah SWT, masa bersurat-suratan itu pernah menyinggahi hidup saya, walau saya rasa begitu sejenak saja. Ah, tidak terasa perubahan zaman sedemikian cepat sehingga di masa sekarang tidak lagi datang kepada saya sepucuk pun surat dari seorang sahabat di seberang sana. Sudah lama pak pos tidak menyinggahi rumah saya lagi. Rindu, sungguh rindu ini hati.
Zaman bersurat-suratan sudah diganti handphone, bila perlu sesuatu tinggal kirim pesan saja. Menit itu dikirim menit itu pula sampai kepada orang yang dituju di seberang sana. Teknologi internet juga sudah sedemikian maju, lewat email dan jejaring sosial, orang telah semakin cepat berkomunikasi. Walau demikian, entah mengapa, ada sesuatu yang terasa hilang dan tak lagi ditemui ganti apalagi kembali.
Sebab kerinduan yang kian membuncah itu, malam ini entah mengapa tiba-tiba saya merindukan kembali masa bersurat-suratan. Mengingat semua kenangan itu, mata saya sampai berkaca-kaca tatkala menulis surat ini. Seolah saya menuliskannya di selembar kertas surat, dengan tinta pena murah bekas pakai di sekolah. Ah, sebab kenangan itu pula, saya tulis puisi ini:
Dulu sekali di masa sekolah menengah
Teringat sebuah kenangan paling indah
Sangat berbekas dan tak pernah terlupa
Hingga sekarang terbayang-bayang juga
Tujuh belas tahun saat itu usia beranjak
Bermukim di Aceh negeri yang bergejolak
Sekira dua tahun masa sebelum reformasi
Ada hobi semua orang paling menggemari
Itulah ia korespondensi dan filateli
Di masa itu bila pagi dan petang datang
Berdebar dada menunggu tiba seseorang
Dialah Pak Pos si setia pengantar surat
Datang dari kenalan yang jadi sahabat
Di negeri seberang jauh ia beralamat
Ketika surat diterima terbacalah isinya
Bergetar tangan memegang kertasnya
Tulisan indah ada gambar hati dibawahnya
Duhai, berdegup jantung ini dibuatnya
Berbalas-balas surat sungguh hati riang
Disitulah bermula tumbuh bakat mengarang
Bulan berjalan tahun berganti masa berubah
Hilang sudah itu kenangan sungguh indah
Surat menyurat diganti telepon genggam
Bila berkirim pesan tak perlu waktu satu-dua jam
Dunia dimudahkan dengan itu teknologi
Tapi entah, terasa ada yang hilang di hati
Bila berkirim surat belajar kita mengolah rasa
Berindah-indah kata sungguh santun berbahasa
Tapi lihatlah sekarang sms ditulis anak remaja
Bahasa bangsa yang rancak itu rusak dibuatnya
Kadang kepada yang tua ditulisnya ‘elo-gua’ saja
Hilanglah etika, sungguh itu tidak selayaknya
Ini hari kita rindu itu masa datang kembali
Masa bersurat-suratan untuk suatu keperluan
Kepada ayah, ibu, dan semua handai taulan
Tapi agaknya itu hanya tinggal kenangan
Ya, semua telah tinggal kenangan. Kenangan itu, hanya dapat saya ingat saja, khususnya dikala malam hening tiba. Saya ambil kembali surat-surat lama sahabat yang pernah dikirimkan kepada saya, lalu saya ulang baca. Kadang saya tersenyum, tetapi lebih banyak harunya, sebab semua cerita tersimpan didalamnya.
Duhai, walaupun masa itu tidak ada lagi, besarlah harapan saya, menulis surat jangan ditinggalkan, apalagi dilupakan. Walau tidak lewat sepucuk surat, tetapi dapat pula memanfaatkan bermacam media. Bahasa surat bahasa kesantunan, ia ditulis lewat lubuk hati yang paling dalam, penuh kejujuran, penuh harapan-harapan, agar setiap kata yang dituliskan kian bermakna.
Inilah surat saya, entah buat siapa. Maafkanlah bila kedatangannya mengganggu waktu sahabat. Kalau pun ia membawa manfaat, walau sedikit saja, sungguh senang ini hati telah dapat menuliskannya. Semoga ia menjadi amal ibadah kepada siapa saja yang membacanya. Amin ya Allah, terkabullah ia hendaknya.
Wassalam,
Muhammad Subhan
[www.famindonesia.blogspot.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Search

Blogroll

goresan pena. Diberdayakan oleh Blogger.

About