Kamis, 15 Desember 2011

Bagian 2 Penjara Suci (Mutiara Pesisir Meukek)

Unknown | Kamis, Desember 15, 2011 |
Karya : Anik Kusmiatun
Akhir pekan ketiga telah kutunggu. Dua hari lagi aku punya kesempatan untuk pulang ke rumah. Rinduku pada ayah dan ibu terasa begitu dalam. Sudah hampir tiga minggu aku berpisah dengan mereka dan selama itu pula aku meninggalkan segala kemewahan fasilitas di rumah. Sementara itu di asrama tidak ada fasilitas televisi. Bahkan HP yang dulunya hampir setiap saat berada di genggamanku terpaksa harus kutinggal di rumah karena peraturan asrama tidak boleh membawa HP. Komputer di rumah pun sepertinya juga merindukan kepulanganku.
          Malam semakin larut tapi mata ini belum mau terpejam. Suara ombak memecah tanggul batu terdengar sangat jelas di keheningan malam ini. Kulihat teman-teman sekamarku sudah berkelana di pulau mimpi. Sesekali mereka terusik dengan gigitan nyamuk-nyamuk nakal yang hinggap di sana-sini mencari sasaran yang empuk. Mataku kupaksakan untuk tidur namun tetap saja gagal. Akhirnya aku keluar kamar menuju teras asrama. Kudapati salah seorang siswa penghuni asrama sampingku ternyata mengalami nasib yang sama denganku. Susah tidur.
          “Burhan, kok kamu belum tidur ?” sapaku sambil mendekati Burhan yang duduk termenung di depan asramanya.
          “Kamu juga belum tidur ?” Burhan pun balik bertanya.
          “Entahlah, beberapa hari ini aku susah tidur. Tidak sabar rasanya ingin segera pulang ke rumah.”
          “Aku juga.” jawab Burhan singkat.
          Aku dan Burhan pun berbagi cerita tentang suka duka kami di masa-masa awal hidup di asrama. Memang terasa berat harus berpisah dengan orang tua dan berusaha berlatih hidup mandiri. Biasanya di rumah baju masih dicucikan ibu, sementara di sini aku harus latihan mencuci sendiri. Belum lagi kalau dapat giliran piket cuci piring, kami satu kelompok harus mencuci semua tempat makan dan minum siswa dan guru. Tanganku bisa kasar kalau sering terkena sabun.
          “Oja, aku sudah mulai ngantuk. Jam berapa sekarang ?”
          “Entah ? aku nggak tahu sekarang jam berapa. Aku juga sudah ngantuk. Sampai ketemu lagi besok di kelas.” Kami pun berpisah masuk ke kamar masing-masing.
          Malam ini udara pesisir terasa begitu panas. Kubuka sedikit jendela kamar supaya angin dapat menyelinap masuk. Hasilnya bukan hanya angin saja yang masuk, nyamuk pun mulai ikut masuk. Kututup lagi jendela kamar. Lebih baik kepanasan daripada harus tidur ditemani nyamuk-nyamuk nakal.
***
          Terdengar sayup-sayup suara pintu kamar diketuk. Mataku masih berat. Suara itu semakin jelas dan keras. Aku terpaksa bangun karena bapak asrama sudah berkali-kali mengetuk pintu kamarku. Tiga teman sekamarku pun masih enggan untuk bangun. Adzan subuh mulai berkumandang. Gemericik air wudhu mulai terdengar. Keributan kamar mandi begitu bising. Aku duduk jongkok di depan kamar mandi menunggu giliran tiba. Mata ini masih enggan bertemu dengan dinginnya air wudhu. Tubuh ini masih separuh nyawa.
          Sholat Subuh berjamaah di masjid selalu dibiasakan di asrama ini. Bahkan yang terlambat berjamaah pasti paginya diminta untuk membersihkan ruangan masjid. Selama hampir tiga minggu ini aku pernah mendapatkan konsekuensi terlambat lima kali. Kami tidak menyebutnya sanksi tetapi ‘konsekuensi’. Biasanya kalau sholat subuh terlambat, sarapan pagi dan masuk kelas pun terlambat.
          Subuh ini untuk yang keenam kalinya aku terlambat. Saat imam memasuki rekaat yang kedua membaca surat Al Fatihah, aku baru berdiri di saff paling belakang dan merapatkan barisan. Ustadz sudah mengajarkan kepada kami bahwa setiap barisan sholat berjamaah harus lurus dan rapat tidak ada celah. Karena jika ada celah di antara dua orang, maka syaitan akan mengisinya dan menggoda manusia saat sholat sehingga sholat seseorang tidak akan pernah khusyuk. Selesai salam, aku pun bangkit lagi untuk melanjutkan satu rekaat subuhku yang masih kurang. Usai sholat subuh dilanjutkan kajian tafsir Al Quran.
          “Baiklah, kajian tafsir Al Quran pagi ini saya cukupkan sekian. Bagi siswa yang terlambat sholat subuh berjamaah, konsekuensinya pagi ini adalah membersihkan tempat wudhu dan kamar mandi masjid. Silahkan berdiri nama-nama yang saya sebutkan berikut ini: Syahrul, Frieska, Najian, Said, Ikhsan, Fadhil, Sidiq.” kata Ustadz Bustanul sambil menyuruh kami berdiri di hadapan semua jamaah subuh.
          Ada-ada saja konsekuensi yang harus kami terima. Sekarang membersihkan tempat wudhu dan kamar mandi masjid. Kemarin yang terlambat berjamaah diminta menyapu ruangan masjid. Semua yang melakukan pelanggaran harus menanggung konsekuensi yang telah ditetapkan dalam peraturan asrama.
          “Hei Fadhil, jangan lari kamu !” teriak Bang Ikhsan melihat Fadhil mau melarikan diri sementara kami masih sibuk menyikat lantai kamar mandi masjid.
          “Curang kamu, Dhil !” yang lain pun ikut berteriak.
          Fadhil terpaksa putar balik ke teman-temannya yang sama-sama menanggung konsekuensi. Dia terpaksa kembali lagi karena melihat Ustadz berdiri menatapnya di halaman masjid. Fadhil lari terbirit-birit kembali masuk ke kamar mandi masjid. Apabila dibandingkan denganku, Fadhil jauh lebih sering melanggar peraturan asrama.
          “Fadhil, kamu sebenarnya pintar. Kenapa kamu sering melanggar peraturan?” tanyaku sambil sibuk menyikat tembok kamar mandi.
          “Aku sudah terlanjur dicap sebagai siswa yang bandel. Buat apa aku berubah?”
          “Kamu kan bisa memperbaiki sedikit demi sedikit, Fadhil.”
          “Nasi sudah menjadi bubur.” Jawabnya singkat.
          Berulang kali kami semua menasihati Fadhil. Namun hasilnya nihil. Bahkan kepala sekolah sudah sering mengingatkan agar kami semua belajar untuk memperbaiki diri dan berlomba-lomba dalam kebaikan. Pak Agus selaku kepala sekolah sudah sering menegaskan bahwa peraturan itu dibuat bagi orang-orang yang kurang tertib. Kalau semua sudah tertib, peraturan itu seolah-olah tidak ada. Hanya saja masih ada siswa yang beranggapan bahwa peraturan itu ada untuk dilanggar. Memang untuk mengubah anggapan ini sangat sulit. Itulah sebabnya tiada hari tanpa pelanggaran.
          Pukul 06.30 WIB aku dan teman-teman baru selesai membersihkan tempat wudhu dan kamar mandi masjid. Kami bergegas lari ke asrama yang jaraknya sekitar 300 meter dari masjid. Sampai di asrama ternyata antrian mandi masih panjang. Kebiasaan tidur lagi setelah pulang dari masjid belum juga hilang. Akibatnya masih banyak yang terlambat mandi. Terpaksa aku hanya cuci muka dan gosok gigi saja karena takut terlambat ke GSG makan pagi.
          “Kamu nggak mandi, Ja?” tanya Najian.
          “Aku takut telat, yang penting wangi.” kusemprotkan minyak wangi ke bajuku.
          “Kalau begitu aku juga nggak mandi saja ah…daripada telat dapat hukuman lagi. Apalagi nanti sebelum masuk kelas ada Pak Edi. Aku bisa kena KOBINSI lagi.”
          Awal tahun ajaran baru sudah disosialisasikan tentang KOBINSI (Kontrak Bina Prestasi). Buku ini memuat sejumlah peraturan sekolah dan asrama. Apabila ada siswa yang melakukan pelanggaran, maka akan mendapat point pelanggaran yang dicatat dalam buku KOBINSI. Sebaliknya kalau ada siswa yang mendapat prestasi dalam suatu lomba akan mendapatkan point prestasi. Kami biasa menyebutnya buku catatan amal di bumi Insan Madani. Point prestasi dapat mengurangi point pelanggaran. Pada batas point tertentu, orang tua akan mendapat panggilan untuk datang ke sekolah. Panggilan itu bisa dua kemungkinan. Bisa panggilan yang menyenangkan dan bisa juga panggilan yang akan membuat orang tua kami sedih. Semua tergantung dari sikap kami selama di sekolah dan asrama. Tentunya semua siswa berharap orang tuanya mendapat panggilan yang membanggakan. Namun kenyataannya sudah beberapa orang tua dipanggil ke sekolah karena sikap anak yang perlu mendapatkan perhatian khusus.
          Aku bersyukur pagi ini tidak terlambat masuk kelas. Pak Edi Sutomo sudah berdiri di depan kelas dan siap memberikan senam pagi bagi anak-anak yang terlambat masuk kelas. Beliau sering mengingatkan akan pentingnya menegakkan kedisiplinan. Pagi ini ada tiga siswa yang mendapatkan bonus dari Pak Edi. Mereka diminta memungut sampah yang tercecer di halaman kelas.
          Menurut peraturan sekolah, siswa ke sekolah wajib bersepatu. Karena kompleks asrama dan gedung sekolah jadi satu, tidak jarang anak-anak memakai sandal jepit. Hampir setiap hari ada sandal jepit yang dibuang ke tempat sampah oleh Pak Edi. Belum lagi seragam yang harus rapi sesuai aturan sekolah. Dua hari yang lalu ada salah satu siswa putra kelas X yang bajunya tidak dimasukkan. Lagi-lagi KOBINSI beraksi. Semua guru saling mendukung untuk menegakkan kedisiplinan di sekolah ini.
          Kemarin ada juga siswa putri yang dapat point konsekuensi karena memakai jilbab yang bahan kainnya agak tipis. Anak-anak putri juga sering cerita kalau di asrama ada yang keluar kamar ke tempat umum tanpa mengenakan jilbab, rambut mereka akan digunting sedikit oleh ibu asrama. Awal-awal kami sebagai siswa baru yang belum terbiasa dengan peraturan asrama merasa terkekang dengan segala peraturan yang mengikat. Di sisi lain, sebenarnya kalau dipikir dengan akal sehat, peraturan itu benar-benar ingin mengantarkan kami semua menjadi siswa yang berakhlaq mulia. Entah kenapa kadang masih berat menjalankannya.
          Jam belajar pun padat. Apalagi semua siswa dan guru-guru mata pelajaran yang diUN-kan tinggal di asrama sehingga porsi jam belajar lebih banyak dibandingkan sekolah yang tidak berasrama. Kelas pagi dimulai pukul 07.20 dan berakhir pukul 12.55 WIB. Istirahat pertama kami dianjurkan untuk sholat Dhuha ke masjid. Namun masih banyak juga yang absen. Aku sendiri belum terbiasa sholat Dhuha. Kadang-kadang sholat Dhuha kalau musim ulangan saja.
          Istirahat siang bertepatan dengan sholat Dhuhur. Setelah keluar kelas, kami langsung menuju masjid untuk sholat berjamaah. Kemudian selesai sholat ada jadwal kultum sesuai jadwal yang sudah dibuat oleh pengurus asrama. Kultum selesai langsung dilanjutkan makan siang bersama. Jadwal piket cuci piring sehari dua kali, setelah makan siang dan makan malam. Kalau pagi biasanya yang mencuci adalah ibu-ibu dapur. Jam pelajaran akan dimulai lagi pukul 14.30 sampai pukul 16.00. Kemudian sholat Ashar. Pukul 16.30 ada bimbingan belajar lagi untuk pengayaan. Belum lagi nanti malamnya setelah makan malam ada jam belajar lagi. Bagi anak yang tidak terbiasa belajar, pasti merasa berat. Namun bagi yang bisa fokus belajar akan semakin senang karena jam belajar jauh lebih banyak dibandingkan jam bermain-main.
          Aku merasa senang karena bisa banyak belajar dibandingkan saat masih di rumah dulu. Jadwal belajar yang ditetapkan oleh sekolah tidak pernah membuatku merasa berat. Satu hal yang cukup berat bagiku adalah hafalan Al Quran. Target semester 1 ini aku harus hafal setengah juz 30. Padahal ketika di rumah aku tidak terbiasa menghafal Al Quran. Waktu yang tidak kusenangi adalah sebelum Subuh dan setelah Maghrib. Aku tidak suka waktu sebelum Subuh karena aku agak susah bangun pagi dan sering terlambat sholat subuh berjamaah di masjid. Aku juga tidak suka waktu setelah sholat Maghrib karena harus setor hafalan Al Quran dengan Ustadz Bustanul.
          Istirahat siang ini aku tidak dapat tugas piket cuci piring. Sementara beberapa teman-temanku kembali ke asrama untuk tidur siang sebelum masuk kelas lagi pukul 14.30. Aku berjalan menyusuri depan kelas. Sambil menunggu kelas siang mulai, kusempatkan untuk mengakses informasi yang tertempel di mading. Mataku langsung tertarik untuk membaca puisi karya salah seorang siswa.
Penjara Suci
          Malam berganti pagi
          Dari matahari terbit hingga terbenam lagi
          Kami akan selalu ada di sini
          Untukmu Insan Madani
                   Walau terpisah dari ibu bapak kami
                   Tapi kami berjanji untuk selalu berprestasi
                   Walau air mata kami tiap hari jatuh
                   Tapi semangat kami tak akan pernah rapuh
          Biarpun kata orang di sini bagai penjara
          Tapi bagi kami seperti istana
          Biarpun di sini banyak hantu
          Tapi kami akan selalu bersatu
                   Di tempat ini kami dilatih
                   Untuk jadi pemberani
                   Di tempat ini kami dilatih
                   Untuk jadi insan yang madani
          Di tempat ini kami menyimpan sejuta mimpi
          Merajut mimpi dalam Penjara Suci
Ketika sedang asyik menyelami isi puisi, aku kaget karena tiba-tiba ada yang menepuk bahuku. Bang Umar siswa kelas XI sudah berdiri di belakangku. Tidak biasanya Bang Umar sudah di depan kelas sebelum bel berbunyi. Biasanya Bang Umar tidur siang dulu sebelum masuk kelas. Dia pun sering terlambat masuk kelas siang.
          “Puisi siapa tuh? Cocok sekali dengan kondisi kita sekarang ya, Ja?” komentar Bang Umar setelah membaca puisi itu.
          “Iya Bang.”
          “Benar-benar Penjara Suci. Berarti sudah satu tahun lebih aku berada dalam penjara ini.”
          “Tapi namanya Penjara Suci, Bang… Tidak seperti penjara biasa….”
          “Dulu awalnya aku juga nggak mau masuk penjara ini, Ja.”
          “Terus, kenapa Bang Umar sanggup bertahan selama ini?”
          “Orang tuaku yang memaksa.”
          “Tapi buktinya Bang Umar bisa dapat peringkat 5 besar di kelas?”
          “Kujalani saja apa adanya…” jawab Bang Umar santai.
          Berarti aku juga harus menjalani hidup dalam penjara suci ini apa adanya seperti apa yang dikatakan Bang Umar. Kenyataannya dia juga bisa berprestasi. Tapi pesan orang tuaku dulu, aku harus serius belajar agar mampu bersaing dengan teman-temanku. Kalau tidak berani bersaing, bisa kalah karena rata-rata yang masuk sekolah ini dulunya anak-anak yang berprestasi.
          Aku masih berpikir, benar juga yang dikatakan syair puisi itu. Aku pun merasakan seperti terkurung di dalam penjara yang penuh dengan peraturan. Kata penjara itu diikuti dengan kata suci. Artinya sesuatu yang bersih dan baik. Dua kata itu jika digabungkan dapat ditafsirkan sebagai tempat anak-anak dididik, dilatih, dan dikembangkan potensinya untuk menjadi generasi yang sesuai dengan nama sekolah kami. Insan yang madani.



1 komentar:

  1. dalam bermain judi online seperti poker misalkan memang memiliki resiko yang cukup besar yaitu bisa dipenjara. Namun jika kita meilhat hadiah yang bisa didapatkan dari qq8889 situs agen poker bandar judi online aman dan terpercaya adalah sesuatu yang harus dipikirkan kembali.

    BalasHapus

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Search

Blogroll

goresan pena. Diberdayakan oleh Blogger.

About