Kamis, 15 Desember 2011

Bagian 3 Ekspedisi Empat Malam (Mutiara Pesisir Meukek)

Unknown | Kamis, Desember 15, 2011 |
Karya : Anik Kusmiatun
Penyakit susah tidurku kambuh lagi. Kali ini aku bersama dengan Bang Akmal, Burhan dan Safrul duduk di pinggir pantai menikmati indahnya bulan purnama. Sinar bulan yang dipantulkan oleh air laut begitu sayang untuk dilewatkan. Permukaan air semakin naik. Kami duduk di tanggul batu depan asrama putra. Di laut lepas tampak sinar lampu kapal-kapal para nelayan. Sinar lampu itu terombang-ambing di tengah laut. Kadang-kadang sinar itu kabur saat tertiup angin dan digoyang gelombang.
Sebagai siswa baru, aku belum tahu banyak tentang seluk-beluk sekolah ini. Beberapa temanku pernah bercerita bahwa hanya orang-orang yang imannya kuat saja yang mampu bertahan di sini.
          “Bang Akmal, katanya ada cerita horor tentang sekolah kita?” tanya Safrul.
          “Apa kamu berani mendengar ceritaku, Frul?” kata Bang Akmal.
          “Mau, Bang.” Suara kami kompak penuh semangat.
          Sebelum sekolah ini dibangun, dulu masih berupa hutan. Kemudian pihak yayasan membeli tanah seluas kurang lebih 4 hektar. Lokasi yang dipilih memang sangat strategis di pinggir jalan raya, dekat gunung Meukek dan di pinggir laut. Beberapa pohon besar terpaksa ditebang untuk areal pembangunan gedung sekolah dan asrama. Pohon-pohon kelapa masih banyak yang disisakan. Cemara di pinggir pantai juga tidak ditebang. Karena dulu tanah ini adalah tanah kosong, katanya masih banyak dihuni makhluk lain.
          Bang Akmal belum sempat melanjutkan ceritanya, aku sudah mulai merinding. Apalagi udara malam yang semakin dingin menambah cerita itu semakin seru. Memang selama di sini aku sendiri belum pernah bertemu dengan makhluk lain itu. Aku berharap jangan sampai aku bertemu dengannya. Pantas saja anak-anak putri sempat beberapa kali diganggu. Kakak kelasku ada yang pernah kesurupan waktu belajar di kelas. Tanpa sebab yang jelas, kakak yang kesurupan itu tiba-tiba teriak dan menjerit sejadi-jadinya. Kejadian dua minggu yang lalu lebih parah lagi. Siswa putri yang kesurupan ada empat orang. Anehnya jin yang masuk ke tubuh mereka adalah jin satu keluarga. Setiap jin yang masuk selalu ingin mencelakakan tubuh yang ditumpanginya. Biasanya mereka yang kesurupan akan lari ke laut. Kalau ada di antara mereka yang akan terjun ke laut, ramai-ramai kami berlari mengejarnya jangan sampai ke laut.
          “Kenapa ya Bang, kebanyakan yang diserang anak-anak putri?”
          “Kata ibu asrama, kadang-kadang mereka suka melamun dan pikirannya kosong.”
          “Mungkin jin takut sama kita ya?”
          Ha…ha…ha… kami tertawa terbahak-bahak.
          Suara kami terdengar sampai di asrama. Rupanya tertawa kami yang terlalu keras mengundang Pak Edi keluar dari asrama guru.
          “Hei, sudah malam…pulang!” teriak Pak Edi dari depan asrama guru.
          Kami langsung berlari masuk ke asrama masing-masing. Takut kena KOBINSI. Belum puas rasanya mendengarkan cerita-cerita aneh dari Bang Akmal. Cerita malam ini putus di tengah jalan karena teriakan Pak Edi.
          Aku dan Safrul masuk ke kamar dan kudapati Najian dan Fadhil sudah tertidur pulas. Kulihat jam tangan Fadhil yang tergeletak di atas meja. Jam itu selalu terjaga 24 jam, berputar dan terus berputar. Sudah pukul 01.15 WIB. Asrama benar-benar sudah sepi. Suara ombak semakin jelas. Lama-kelamaan suara ombak itu menghilang dari pendengaranku. Aku berharap tidak akan mimpi buruk setelah mendengar cerita tadi.
          Kehidupan asrama kembali seperti semula. Rutinitas setiap hari yang hampir sama terkadang membuatku bosan. Aku dan teman-teman sekamar berencana melakukan sesuatu yang belum pernah kami lakukan. Kami ingin mencoba memecahkan teka-teki keberadaan dunia ghaib yang selama ini ditakuti hampir semua siswa putri. Aku, Safrul, Najian, dan Fadhil sepakat akan melakukan ekspedisi malam hari selama dua minggu ke depan.
          Sore ini kami mengadakan rapat kecil-kecilan di belakang rumah idaman. Rumah ini pada hari-hari biasa kosong alias tidak berpenghuni. Kami biasa duduk di belakang rumah idaman sambil menikmati pemandangan matahari terbenam. Rumah idaman berbentuk rumah panggung, dindingnya kayu, lantai kayu, beratap daun rumbia berwarna hitam. Rumah ini didesain seperti rumah adat Aceh Selatan. Pendiri yayasan kalau berkunjung ke sekolah pasti singgah di rumah ini. Rumah idaman juga biasa dipakai untuk rumah tamu yang menginap di sekolah. Apabila dibandingkan dengan asrama putra, rumah idaman jauh lebih dekat dengan bibir pantai.
          “Baiklah teman-teman, kira-kira langkah awal apa yang perlu kita lakukan untuk memulai ekspedisi malam kita?” aku memulai rapat.
          “Usulku, kita tentukan dulu tujuan ekspedisi kita apa?” kata Safrul.
          “Iya, kita belajar dari guru-guru kita. Setiap awal pembelajaran, guru kita selalu menegaskan tentang tujuan pembelajaran. Jadi, kita juga harus punya tujuan yang jelas agar kita tidak rugi di tengah jalan.” komentar Najian.
          Akhirnya kami sepakat menentukan tujuan ekspedisi malam. Kami penasaran dengan dunia lain yang selama ini hidup berdampingan dengan kami di sekolah. Awalnya Fadhil ingin mundur dari tim. Kami terus memaksanya akhirnya dia pun memberanikan diri untuk tetap bertahan dalam tim. Sebenarnya aku sendiri ingin meyakinkan kepada semua orang bahwa keberadaan makhluk lain di sekolah ini tidak akan mengalahkan kita jika kita punya kekuatan untuk melawannya.
          Sesuai dengan hasil rapat, selama dua minggu ini kami akan melakukan ekspedisi empat kali. Minggu pertama malam Senin dan malam Jumat. Minggu kedua akan kami lakukan pada malam Selasa dan malam Sabtu. Ekspedisi pertama akan kami lakukan di sekitar asrama putra. Ekspedisi kedua di sekitar rumah idaman. Ekspedisi ketiga di sekitar asrama putri dan yang terakhir di sekitar gedung sekolah.
          “Oke, kita sepakati saja siapa yang akan menjadi ketua tim ekspedisi?” tanyaku sebelum rapat berakhir.
          “Kamu saja ya, Ja.” jawab Safrul, Fadhil, dan Najian kompak.
          “Peralatan apa yang harus kita bawa?” aku kembali bertanya.
          “Seperti yang sudah seringkali disampaikan Ustadz dan Pak Agus, kita tidak boleh berbuat syirik. Memang dunia ghaib itu ada tetapi kita harus tetap percaya pada tempat kita memohon pertolongan dan perlindungan. Ingat Allah SWT, jangan yang lainnya.”
          “Oke, kita bawa Al Quran saja. Karena hafalanku masih sedikit, jadi kalau aku mau melafalkan ayat Al Quran bisa langsung membacanya.”
          “Tapi ingat Ja, kita tidak memakai Al Quran itu sebagai jimat.”
          “Iya, aku paham.”
          Rapat berakhir pukul 18.00 WIB. Kami segera kembali ke asrama untuk mandi karena sebentar lagi kajian sore menjelang Maghrib akan segera dimulai. Beberapa anak putra masih ada yang bermain voli di lapangan. Anak putri juga ada yang masih duduk-duduk di bawah pohon jati. Mereka tampak asyik bercerita sambil menikmati semilir angin sore. Pak Agus sudah berjalan menuju masjid. Dua putri kecil beliau, Ema dan Zia ikut serta ke masjid. Sore ini giliran Pak Agus mengisi kajian sore. Jadwal digilir dengan Ustadz Bustanul. Siswa kelas XII yang paling tertib mengikuti kajian sore jelang Maghrib. Sementara siswa kelas X dan XI paling sering terlambat.
***
          Malam ini tim ekspedisi kami sudah tidak sabar menunggu tengah malam tiba. Aksi akan dilakukan setelah kondisi asrama benar-benar sepi. Berdasarkan kesepakatan yang sudah ditetapkan kemarin sore, ekspedisi malam ini lokasinya di sekitar asrama putra. Perlengkapan yang akan kami bawa ada jaket, senter, dan Al Quran. Berhubung setiap malam nyamuk menyerang, kami juga tidak lupa mengolesi seluruh tangan dan kaki kami dengan lotion penolak nyamuk.
          Saat beraksi pun tiba. Lewat tengah malam kami harus diam-diam menyelinap keluar asrama. Nampaknya seluruh penghuni asrama putra sudah masuk ke dalam dunia mimpi masing-masing. Sementara itu di asrama guru juga sudah tidak tampak tanda-tanda kehidupan. Awalnya aku merasa agak merinding. Bulu kudukku berdiri. Namun apa boleh buat, kesepakatan hasil rapat tim harus dilaksanakan sebaik mungkin. Aku yang menjadi penanggung jawab utama dalam ekspedisi malam ini. Sebenarnya aku juga agak khawatir jika terjadi sesuatu yang di luar prediksi kami. Aku harus berani menanggung semua resikonya.
          “Gimana Bos, apa kita siap keluar sekarang?” tanya Safrul penuh semangat ’45.
          “Sebentar lagi. Hey Fadhil, Najian, bangun! Siap beraksi nih.”
          Najian dan Fadhil sepulang dari belajar malam sudah langsung tidur. Sekarang perlu kesabaran ekstra untuk membangunkan mereka. Setelah sepuluh menit berlalu, usahaku membuahkan hasil. Akhirnya mereka pun terbangun. Tanpa harus cuci muka, Najian dan Fadhil langsung mengambil lotion penolak nyamuk. Wangi bunga lavender ini akan membantu kami mengusir nyamuk-nyamuk nakal yang siap menyerang kami.
          Aku yang pertama kali keluar asrama diikuti 3 anggota timku. Mata Najian dan Fadhil masih agak lengket tetapi sudah dipaksa untuk beraksi. Beberapa kamar asrama putra dimatikan. Tandanya penghuninya tidak suka tidur dibawah sorotan sinar lampu yang terang. Hanya kamar nomor 3 dan 6 saja yang masih terang benderang. Asrama guru hanya terasnya saja yang menyala.
          Kami berjalan mengendap-endap seperti pencuri yang siap beraksi. Tangan Najian menggenggam erat lengan kiriku. Tanngannya dingin dan terasa agak gemetar. Fadhil membuntuti Safrul. Suara serangga bernyanyi terdengar nyaring.
          “Ja, aku mulai merinding nih…” Najian ketakutan.
          “Tenang saja, belum apa-apa sudah ketakutan.” Aku berusaha menenangkannya.
          Satu jam kami menyelidiki sekitar asrama putra. Semua sunyi senyap. Berulang kali kami menyelidiki sekitar asrama Pak Edi dan Pak Hadi. Katanya di kamar Pak Hadi pernah ada sosok berambut panjang yang mengintip dari balik jendela. Peristiwa itu terjadi saat senja mulai terbenam. Pak Hadi sendiri mengaku apakah itu mimpi atau tidak, yang jelas bayangan itu sungguh nyata. Sebenarnya cerita ini belum bisa kami percaya sepenuhnya karena waktu itu kondisi Pak Hadi bangun tidur. Apalagi kalau tidur setelah sholat Ashar sampai menjelang Maghrib kurang bagus untuk daya ingat pikiran kita.
          Ekspedisi malam pertama hasilnya nol. Tidak satu pun tanda-tanda kehidupan makhluk ghaib dapat kami temukan. Safrul yang sejak awal sudah semangat ’45 pulang dengan wajah bermuram durja.
          “Kita rugi malam ini!” kata Safrul kesal.
          “Tenang saja, Frul. Masih ada tiga malam lagi. Justru kita beruntung karena itu tandanya kondisi sekitar asrama kita aman dari gangguan makhluk itu. Seharusnya kita bersyukur tidak bertemu mereka. Ih…amit-amit kalau sampai bertemu langsung dengan mereka. Bisa pingsan tiga hari.” Jawab Fadhil. Sebenarnya Fadhil sendiri merasa ketakutan.
          “Kita masih harus tetap melanjutkan ekspedisi kita.”
          “Oke, sekarang tidur dulu. Besok sebelum Subuh kita harus sudah bangun karena kamu piket adzan subuh lho, Frul…lupa ya?”
          “Astaghfirullah…iya, besok piketku.” Tanpa pikir panjang Safrul segera tidur. Dia masih penasaran dengan ekspedisi ini.
***
          Keesokan harinya kami tidak tahan untuk menceritakan perjalanan kami semalam. Teman-teman sangat antusias mendengarkan cerita kami. Nanda, Deby, Wanhar, Burhan, Surya dan Sufi sampai berdecak kagum mengetahui keberanian kami beraksi di malam hari. Semua anak putra kelas XI sudah mengetahui aksi kami semalam. Beberapa anak putri sempat mencuri dengar tetapi sepertinya kurang begitu paham dengan topik hangat yang kami ceritakan. Najian dan Fadhil tersenyum bangga mendengar pujian dari teman-teman. Padahal mereka berdua yang paling ketakutan tadi malam.
          “Oja, aku boleh ikut tidak?” pinta Burhan dengan wajah memelas.
          “Jangan, Burhan…nanti kalau beramai-ramai bisa ketahuan Pak Edi atau Ustadz Bustanul. Kita bisa kena hukuman semua.”
          Semua mengangguk paham. Cukup seperti rencana awal satu tim empat orang saja. Fadhil ingin minta digantikan sama Burhan. Selaku ketua tim, aku tidak mengijinkannya. Najian juga meminta hal yang sama. Katanya Deby yang badannya lebih besar jauh lebih tangguh dibanding dia. Keputusan tetap sama bahwa aku tidak merestuinya. Najian dan Fadhil agak kecewa. Namun bagaimana lagi karena nasi sudah menjadi bubur. Terlanjur menyepakati hasil rapat tim. Dengan sedikit terpaksa, mereka berdua tetap ikut di ekspedisi kedua sampai ekspedisi malam keempat.
          “Kalian harus menjaga rahasia ini ya.”
          “Okey!!!” jawab semuanya kompak.
          Bel berbunyi tiga kali tanda jam pelajaran dimulai lagi. Aku paling benci dengan pelajaran Biologi di jam terakhir. Aku selalu memesan kursi paling pojok dan bersiap-siap untuk tidur. Lebih aman lagi karena Shara duduk di bangku depanku. Agak aman terlindung oleh badan Shara yang lumayan besar. Jadi kalau aku tidur tidak terlalu kelihatan.
          Bu Ani masuk kelas dengan gayanya yang sama seperti hari-hari kemarin. Masuk kelas, meletakkan tas di kursi, menjawab salam dari kami, kemudian menanyakan kehadiran siswa, baru duduk. Hari ini Ravensky tidak masuk karena sakit perut di asrama. Kulihat ada sesuatu yang beda pada guruku itu. Baju Bu Ani baru. Kemeja biru bercorak garis, rok biru tua, berpadu dengan jilbab biru yang tepinya ada borbir bunga-bunga.
          Pelajaran biologi ini termasuk pelajaran yang membosankan bagiku. Aku lebih suka pelajaran Fisika, Matematika dan Kimia. Lebih enak menghitung daripada menghafal teori-teori Biologi yang kuanggap seperti dongeng pengantar tidur. Makanya hampir di setiap pelajaran biologi aku pasti tidur. Dua kali aku tidak mengumpulkan tugas dan dua kali juga aku dipanggil menghadap Bu Ani diceramahi panjang lebar.
          “Oja, coba jelaskan kembali apa yang sudah ibu sampaikan tadi.” Kata Bu Ani sambil membereskan media pembelajaran yang beliau pakai siang ini.
          Aku tersentak kaget. Wanhar membangunkanku. Aku kelimpungan tanya kesana kemari tentang apa yang sudah Bu Ani jelaskan. Sejak awal pelajaran aku sudah tidak konsentrasi. Di tengah-tengah pelajaran aku masih sempat mendengar sayup-sayup. Wanhar ingin membantuku. Tetapi pandangan Bu Ani ke arah Wanhar memberikan isyarat agar Wanhar tidak membantuku. Sungguh sial nasibku bertemu dengan guru yang satu ini.
          Aku terpaksa berkata yang sebenarnya, “Maaf, Bu. Oja tidak paham apa yang Ibu jelaskan.”
          Bu Ani tersenyum, “makanya kalau ibu sedang menjelaskan tolong didengarkan ya…”
          Beruntunglah aku masih selamat dari hukuman Bu Ani. Kemarin satu jam pelajaran aku terpaksa disuruh belajar sendiri di depan kelas gara-gara selama satu jam pertama aku tidur. Andaikan Bu Ani tahu apa yang kulakukan tadi malam, pasti beliau akan memakluminya.
          Empat puluh lima menit akhirnya berlalu. Lamanya terasa seperti setahun. Hanya orang-orang yang sabar yang bisa menikmati dongeng biologi.
Adzan Dhuhur berkumandang syahdu. Pelajaran biologi pun berakhir. Safrul sebagai ketua kelas memimpin doa. Selesai berdoa, satu per satu siswa putri bersalaman dengan Bu Ani. Siswa putra mengantri di belakang. Bu Ani tidak berjabat tangan langsung dengan siswa putra. Karena beliau menganggap kami sudah beranjak dewasa, bukan anak-anak lagi. Meskipun Bu Ani masih muda dan statusnya guru kami, tetap saja kami bukan muhrim. Kami semua sudah tahu syariat. Interaksi dengan nonmuhrim dalam syariat sudah diatur sedemikian cantiknya. Kadang masih banyak orang yang menganggap aturan itu mengekang dan tidak enak. Tapi di sisi lain, justru aturan itulah yang akan melindungi kita.
***
          Hari demi hari kulalui dengan penuh penantian. Misi ekspedisiku belum selesai. Nanti malam giliran di sekitar rumah idaman. Berdasarkan cerita yang kudapatkan dari Pak Edi, beliau pernah tidur di rumah idaman dengan Pak Alimi mengalami kejadian yang sangat aneh. Pak Edi punya dua HP. Malam itu saat tidur di rumah idaman, kedua HP Pak Edi dalam keadaan dinonaktifkan. Tengah malam Pak Edi kaget karena dua HP-nya bunyinya bersahut-sahutan. Dua HP itu seperti saling menelepon berganti-ganti. Pak Edi heran melihat kejadian itu. Saat itu Pak Alimi tidur di samping Pak Edi. Karena Pak Edi ketakutan, beliau terpaksa membangunkan Pak Alimi yang sedang tertidur pulas. Ketika Pak Alimi terbangun, bunyi HP itu tiba-tiba berhenti. Akhirnya Pak Alimi kembali tidur. Pak Edi sadar betul bahwa itu bukanlah mimpi.
          Cerita kedua versi Pak Agus. Sebelum Pak Agus ditugaskan menjadi kepala sekolah di sini, beliau sudah dua kali mengisi training motivasi di sekolah ini. Para tamu biasanya tidur di rumah idaman. Sepertiga malam terakhir Pak Agus bangun untuk sholat tahajud. Pada rekaat pertama beliau khusyuk. Apalagi posisi rumah idaman yang dekat sekali dengan laut membuat orang sholat semakin khusyuk. Sholat malam ditemani suara deburan ombak semakin merasakan keagungan Sang Pencipta. Rekaat kedua beliau ada yang mengganggu. Saat mau bangkit dari rukuk, Pak Agus merasakan ada yang duduk di punggung beliau. Rasanya sangat berat. Setelah banyak menyebut asma Allah dalam rukuk yang panjang itu barulah ‘dia’ menghilang.
          Karena mendengar cerita misteri di rumah idaman itu, ekspedisi malam ini harus lebih waspada. Hati dan lisan kami tak henti-hentinya berdzikir. Jantungku berdetak lebih kencang. Sekujur tubuhku merinding. Semangat Safrul mulai menipis. Dia semakin erat memegang lengan kananku. Najian memegang lengan kiriku. Tangan Fadhil melekat erat di kedua bahuku. Kini tubuhku yang kurus menjadi tumpuan keberanian ketiga anggota timku.
          Sebenarnya aku sendiri juga takut. Dalam hati aku bisa tenang karena kalau terjadi apa-apa, justru merekalah yang melindungiku. Soalnya, Safrul di sebelah kananku, Najian sebelah kiri dan Fadhil di belakangku. Posisi paling aman justru aku.
          Suasana semakin mencekam karena tiba-tiba lampu padam. Kami bertiga lupa membawa senter. Baru satu kali putaran mengelilingi rumah idaman, tanpa pikir panjang kami semua spontan lari terbirit-birit kembali ke asrama. Napasku sesak, jantung terasa mau copot. Keringat dingin Najian mengucur deras. Fadhil langsung naik ke atas kasur dan bersembunyi di balik selimut. Safrul pun masih terengah-engah mengatur napas. Lama aku menunggu lampu menyala kembali. Mataku sudah tidak kuat dan aku pun ikut terlelap di samping Najian.
***
          Pagi harinya penonton kecewa. Ekspedisi kedua belum berhasil. Kami ketakutan karena lampu tiba-tiba padam. Di sekolah kami sering mati lampu. Kata Pak Alimi, kalau tidak sering mati lampu itu namanya bukan Meukek.
          “Cuma mati lampu saja kalian takut.” Ejek Nanda.
          Yang lain tertawa terbahak-bahak. Ha…ha…ha...ha….ha….
          “Kalian jangan tertawa. Coba sendiri kalau berani!” Protes Safrul kesal.
          Masih dua malam lagi kami akan beraksi. Meskipun ekspedisi kedua kami ketakutan, kami tidak pernah merasa jera. Rencana awal ekspedisi ketiga akan dilakukan di sekitar asrama putri. Namun Oja sebagai ketua tim membuat kebijakan baru. Malam ketiga akan dilakukan di sekitar gedung sekolah.
          Lain tempat lain cerita. Lain korban lain pula pengalamannya. Kali ini Pak Hilal dan Bang Ghafur yang pernah menjadi korban. Malam itu setelah jam belajar malam di kelas, Bang Ghafur minta belajar privat Fisika dengan Pak Hilal di ruang kelas XII. Setelah semua siswa kembali ke asrama, tinggal Pak Hilal dan Bang Ghafur berdua di kelas. Berhubung semua sudah meninggalkan lingkungan kelas, suasana ramai berubah manjadi sunyi. Pak Hilal sedang asyik menerangkan rumus-rumus fisika jitu kepada Bang Ghafur. Tiba-tiba Pak Hilal berhenti menjelaskan cara penyelesaian soal termodinamika.
          “Ghafur, kamu mendengar suara aneh tidak?” tanya Pak Hilal sambil mendengarkan dengan seksama.
          Bang Ghafur pun konsentrasi mencari sumber suara itu, “Iya Pak. Saya juga mendengar ada suara tapak kaki yang lari berkejar-kejaran. Sepertinya suara itu dari lorong kamar mandi siswa.”
          Pak Hilal dan Bang Ghafur saling memandang. Bulu kuduk berdiri, aura mistis memenuhi seisi ruang kelas. Mereka memutuskan untuk kembali ke asrama saja. Pak Hilal dan Bang Ghafur berlari sekencang-kencangnya. Sejak kejadian itu, Pak Hilal hanya melayani belajar privat di teras asrama beliau.
          Perasaan takut sedikit menyelinap masuk ke dalam relung hati kami. Dengan mengucapkan Bismillah, kami pun melangkah menuju sasaran ekspedisi ketiga. Alhamdulillah malam ini tidak mati lampu. Lelah kami mengelilingi gedung sekolah dan masuk ke kamar mandi siswa yang bau amonia menyengat saraf-saraf pembau di hidung kami. Sampai di depan kelas XI, terdengar seperti suara angin tornado. Pintu kelas tidak dikunci. Kami memberanikan diri masuk dan menyalakan lampu. Rasa tegang itu sedikit berkurang. Ternyata suara yang kami dengar seperti angin tornado itu adalah suara kipas angin besar di kelas yang lupa dimatikan. Pantas saja bidang kesiswaan sering mengingatkan kami agar irit dalam penggunaan listrik. Kelalaian kecil seperti inilah yang bisa membengkakkan rekening listrik sekolah.
          Kami pun kembali ke asrama dengan perasaan yang lebih tenang dibandingkan ekspedisi kedua. Namun di tengah perjalanan sebelum sampai di asrama, aku melihat sesuatu. Di kebun sekolah ada tanaman jagung yang sudah berbuah. Kulihat gerombolan bayangan hitam di balik jagung itu.
          Aku memaksa teman-teman berhenti sejenak, “Tunggu dulu, kalian lihat batang jagung itu bergoyang-goyang?”
          “Iya, ada bayangan hitam di sana.”
          Lagi-lagi Najian sudah ketakutan sebelum maju. Kami berjalan pelan-pelan mendekati penampakan aneh itu. Bayangan hitam itu semakin terlihat jelas. Bayangan itu ada dua yang besar dan tiga yang kecil. Jarak tiga meter dengan mata telanjang kami bisa melihat dengan jelas bayangan hitam itu.
          “Babi hutan……lari..….” kami lari tunggang langgang dikejar babi hutan.
          Selamatlah kami dari kejaran babi hutan. Sudah tiga hari ini sekawanan babi hutan masuk ke kebun sekolah dan merusak tanaman yang ada di sana. Om Ja’far yang bertanggung jawab pada kebun itu marah-marah melihat kebunnya dirusak oleh keluarga babi hutan. Tak satu pun perangkap yang dipasang bisa menjerat babi itu. Dua perangkap yang dipasang di kebun belakang kantor guru berhasil menjerat mangsa. Bukan babi hutan tetapi biawak yang lumayan besar.
***
          Inilah saat-saat yang paling menegangkan. Ekspedisi akan berlajut atau tidak tergantung dari ekspedisi malam keempat. Kami berharap membuahkan hasil yang menggembirakan. Tepat pukul 01.30 kami kembali melancarkan aksi. Diam-diam kami keluar dari asrama menuju kompleks asrama putri. Menurut prediksi kami, di sanalah markas besar makhluk lain.
          Penyelidikan dimulai dari belakang asrama guru putri. Nihil. Hanya ada kucing yang sibuk memindahkan anaknya yang masih kecil-kecil. Kami terus berjalan pelan-pelan. Terdengar suara air dari kran yang mengucur deras di dalam kamar mandi. Suara anak putri bernyanyi di kamar mandi. Suara itu kurang begitu jelas karena beradu dengan suara air kran itu.
          “Aku takut sekali…” Najian menggigil ketakutan.
          Belum lama ini gosib yang paling hangat di lingkungan asrama putri adalah misteri gemericik kamar mandi tengah malam. Siswa putri banyak bercerita bahwa mereka tidak berani ke kamar mandi sebelum fajar tiba.
          “Sssssttt…..kamu jangan banyak ribut Najian! Dengarkan, suara itu sudah menghilang.” Bisik Safrul.
          “Jangan-jangan hantu kamar mandi itu mengetahui keberadaan kita?”
          “Hati-hati kalau bicara, Dhil. Aku tambah takut nih…”
          Akhirnya pintu kamar mandi paling ujung terbuka. Kami bersembunyi di balik semak tanaman sereh. Perasaan takut kami sirna. Bukan hantu yang kami temui melainkan Bu Wiga (guru kimia) yang keluar dari kamar mandi itu. Mungkin saja beliau bernyanyi hanya untuk menghilangkan perasaan takut beliau sendiri. Najian akhirnya bisa bernapas lega.
          Ekspedisi asrama putri berlanjut ke blok 3. Deretan kamar ini paling dekat dengan tembok asrama. Di sebelah luar tembok itu ada lapangan sepak bola milik warga desa Kuta Baro.
          Kami kaget melihat ada orang luar yang menyelinap masuk ke lingkungan asrama. Karena teras asrama putri semua lampunya menyala, penampakan orang itu sangat jelas. Tubuhnya tinggi, kurus, mengenakan kaos hitam, sayangnya wajah tidak kelihatan karena ditutup sarung. Kami curiga melihat orang itu mengintip setiap kamar.
          Melihat kejadian aneh itu kami langsung lari berusaha menangkap orang itu. Aku dan Fadhil menyerang dari ujung barat asrama blok 3, Safrul dan Najian menyerang dari ujung timur. Tanpa banyak bersuara, kami langsung menyerang dan laki-laki itu tertangkap. Dia sempat berontak mau melarikan diri tetapi kami melawannya dengan sekuat tenaga. Aku memegang tangan kanan, Najian tangan kiri, Fadhil kaki kanan dan Safrul kaki kiri. Kami langsung menyeret dan mengangkat ke depan rumah Pak Agus. Selama tugas menjadi kepala sekolah di sini, keluarga beliau tinggal di rumah yang disediakan oleh yayasan. Rumah itu di seberang blok 3 asrama putri.
          Kuberanikan diri mengetuk pintu rumah Pak Agus, “Assalamu’alaikum, Pak Agus.”
          Dua kali mengucapkan salam, terdengar jawaban dari dalam. Pintu terbuka dan Pak Agus kaget melihat kami.
          “Pak, kami menangkap pencuri di asrama putri.”
          Pak Agus semakin heran melihat kami. Sepertinya ada yang salah dengan kami. Astaghfirullah…aku sadar kalau ini tengah malam. Pasti Pak Agus curiga, bagaimana kami bisa berkeliaran di asrama putri dini hari.
          Laki-laki mencurigakan itu kami ikat dan dikunci di gudang. Selesai sholat subuh laki-laki itu diadili. Aksi yang dilakukan laki-laki itu ternyata bukan yang perdana. Dia sering menyelinap masuk kompleks asrama putri dan sering mengintip dari celah tembok asrama. Pemuda itu berusia 23 tahun. Selidik punya selidik, dia tidak berniat mencuri. Dia hanya suka mengintip aktifitas anak-anak putri.
          “Baiklah, nanti kita serahkan pemuda ini ke orang yang berwenang.” Kata Pak Agus bijak.
          “Dia harus dihukum, Pak.” Teriak siswa putri.
          Pak Agus selaku kepala sekolah memutuskan akan menyerahkan pemuda itu ke kantor polisi Meukek. Biar pihak yang berwajib yang memberikan hukuman. Siswa putra kesal melihat kelakuan pemuda itu. Kami hampir menghakimi sendiri pemuda tidak waras itu.
          Kini giliran aku, Fadhil, Najian, dan Safrul yang harus menghadap kepala sekolah. Kami pasrah. Entah hukuman apa yang akan kami terima karena sudah berkeliaran sampai di asrama putri tengah malam.
          Kami dipanggil ke ruang kepala sekolah. Sebagai ketua tim, aku harus bertanggung jawab jika kami diintrogasi. Sebelum menghadap kepala sekolah, mereka bertiga menyalahkanku karena akulah yang punya ide ekspedisi empat malam ini. Aku menceritakan dengan jujur semua kejadian selama kami melakukan ekspedisi. Pak Agus mendengarkan dengan penuh perhatian.
          Pak Agus tersenyum simpul, “Kami tahu kalian adalah pemuda yang pemberani. Kami juga berterima kasih karena kalian berhasil menangkap pemuda itu. Tapi kami berharap, ekspedisi ini labih baik sampai di sini saja.”
          Wajah kami tertunduk malu. Kami sadar bahwa tindakan menyelinap di asrama putri itu tidak etis. Akhirnya kami percaya bahwa jika kita kuat dan senantiasa berdzikir, gangguan itu tidak akan ada. Memang sudah fitrahnya syaitan akan menggoda manusia sampai hari kiamat. Tinggal kita yang harus menguatkan diri dan selalu mendekatkan diri kepada Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Search

Blogroll

goresan pena. Diberdayakan oleh Blogger.

About