Sabtu, 19 Oktober 2013

“Piknik ke PKU”

Unknown | Sabtu, Oktober 19, 2013 | |


Hari ini hari senin, tepat sehari sebelum perayaan Idul Adha. Udara pagi ini cukup bersahabat khususnya bagi siapa pun yang mau berolahraga. Kebetulan hari ini kampus sedang libur begitu pun dengan keesokan harinya yang jelas-jelas sudah pasti libur. Maka tak ada alasan untuk tidak berolah raga hari ini.

Pagi ini ku awali dengan sholat subuh, walau mungkin waktu sholat sudah selesai. Langit tampak terang walau cahaya matahari belum jelas ku lihat. 

Setelah sholat sejenak ada keraguan untuk melanjutkan niat ini. Niat berolah raga. Ku lirik sepatu olah raga ku yang sedang asyik duduk di samping meja laptop. “Kalau gak sekarang kapan lagi ya,” gumam ku dalam hati seraya mengambil sepatu.

“Nah sekarang mau olah raga kemana?” seperti ada sosok lain yang bertanya pada diri ku. Ku kira olah raga keliling komplek cukup membuat keringat bercucuran. Ah, tidak. Sepertinya lebih asyik kalau berolah raga santai disekitaran Lapangan Bola Maguwo. Ku lihat jam telah menunjukkan pukul 05.34, “kalau ke alun-alun (selatan) paling sampai sana sekitar jam 6, masih bisa lah kalau hanya untuk berolah raga,” aku menimbang-nimbang.

Kunci motor lalu ku ambil, tak lupa juga ku bawa sepatu olah raga yang sedari tadi aku pelototi. Ku buka pintu kos dan ku naiki motor. “Enaknya kemana ya,” kembali batin ini menanyakan hal yang sama. “Yaudah ke stadion maguwo saja”. Aku mulai meluruskan niat. 

Dengan perlahan  ku arahkan motor ini keluar kos dan mulai beranjak menuju jalan raya. “Ah ke alun-alun aja lah,” tiba-tiba ada bisikkan lain untuk tidak memutar arah motor menuju Stadion Maguwo. 

Motor pun ku kendarai dengan santai, tidak ada sesuatu juga yang ku kejar disana. Suasana tampak masih lengang, kendaraan pun masih belum seramai biasanya. Tapi udara kali ini benar-benar dingin, menusuk dan merangsek hingga ke tulang. Apa karena akunya yang terlalu kurus ya?

***


Tak terasa motor ini sudah sampai di Jalan Malioboro. Terlihat disana orang-orang sedang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing ; ada yang sedang berolah raga, membersihkan jalan, atau sekedar menikmati jajanan pagi. Masih lengang memang, terasa begitu merdeka.

Tiba-tiba perut ini mendadak sakit, sepertinya isi di dalamnya ingin segera dikeluarkan. Tapi dimana? Tak ada tempat untuk membuang hajat yang baik dan menyenangkan. Motor pun terus ku jalankan sembari mencari tempat untuk menuntaskan hasrat ini. “Mungkin disekitar Alun-Alun Selatan ada tempat untuk buang hajat,” aku membatin. 

Motor ini pun bertemu pertigaan Alun-Alun Utara. Terlihat sampah berceceran dimana-mana. Sepertinya sampah sisa pementasan Opera Van Java (OVJ) Trans 7  pada sabtu malam masih belum tuntas dibersihkan.

 Sekilas terlihat WC Umum keliling sedang terparkir di sudut Alun-Alun Utara. “Ah disana aja lah,(Alun-Alun Selatan)” batin ku langsung saja menolaknya.

Motor ini terus saja ku arahkan menuju Alun-Alun Selatan, terlihat Taman Sari dari kejauhan. Ia begitu gagah dengan dinding batu yang menjulang tinggi. Corak tuanya seakan berkisah atas dirinya yang begitu kuat dan tergar.

Tanpa berlama-lama menikmati bangunan itu. Langsung saja aku bergegas menuju Alun-Alun Selatan. Jalan menuju ke sana tampak sempit, hanya satu jalan yang dipakai untuk dua arah. Di depan mata terlihat  ada dua mobil yang bejalan searah dengan ku. Langsung saja mobil pertama ku dahului, berhasil.

Saat hal yang sama ingin ku lakukan, tiba-tiba saja motor Vario dari arah kiri masuk ke badan jalan dan berjumpa dengan ku di lajur kanan. Lebih tepatnya agak di jalur kanan. Kaget, tak bisa berkelit. Langsung saja kedua motor saling berciuman dan aku pun tertimpa motor Vario itu.

Suasana lengang kini berangsur padat. Beberapa orang bahkan menyempatkan diri untuk melihat kejadian ini lebih dekat. Aneh memang hal seperti ini selalu menjadi hiburan gratis bagi orang-orang. Entah apa yang dipikirkan mereka tapi ku rasakan mereka akan  membuat pelaku semakin merasa bersalah.

Siapa yang salah dalam hal ini tak jelas. Mungkin aku mungkin juga dia. Aku punya alibi begitu pun dia. Tapi masyarakat lebih menyalahkan kejadian ini bersumber dari kesalahan ku. Tidak masalah, semua punya perspektif masing-masing.

Mungkin alasan itu terlihat dari kondisi orang yang terlibat dalam tabrakan itu. Di bagian hidungnya terdapat luka dan mulutnya berdarah. Dugaan ku bibirnya terantuk sesuatu hingga membuat giginya mengeluarkan darah. Tangan, lutut dan beberapa bagian tubuhnya pun terlihat luka. Rasa iba pun tertumpuk padanya.        

Memang secara fisik aku baik-baik saja. Tak ada luka sehebat apa yang terlihat pada orang itu. Hanya sedikit luka lecet pada tangan kiri dan kaki. Tapi bagian dalam tubuh ku sepertinya yang lebih merasakan sakit. Tangan kiri memar, dan dada ini menjadi sesak. Aku merasakan sedikit ngilu saat menarik napas lebih dalam. 

Motor ku pun sepertinya harus segera masuk “rumah sakit”. Lampu sein sebelah kirinya pecah, dan dashboard pada motor ku lepas. Ku kira uang tabungan ku lagi-lagi harus ku keluarkan untuk hal yang seharusnya tidak ku keluarkan. Pengeluaran sepanjang bulan ini sudah cukup boros, dan kerusakan ini tentu akan menambah tumpukkan nota belanja bulan ini.

“Ya sudah, bawa saja ke RS. PKU, biar dilihat luka-lukanya,” ucap salah satu bapak-bapak.

“Iya, di bawa saja kesana,” timpal yang lain.
“Bisa jalan kan Mas?” tanya bapak itu.
Dia hanya mengangguk.
“Di bonceng saja sama Mas ini,” bapak-bapak itu menunjuk ke arah ku.
Aku kemudian berdiri dan mulai menyiapkan motor.
“Tolong bilang bapak, aku di RS. PKU,” kata orang itu kepada dua anak kecil yang juga turut terlibat dalam kecelakaan itu. Hanya saja kedua anak itu lebih beruntung, mereka sama sekali tidak mengalami luka atau apa pun itu. Yang jelas beban ku tidak semakin banyak.

Motor ku nyalakan dan beberapa saat kemudian dia naik ke motor yang sama.

“Udah pak,” tanya ku menyapanya. 
“Iya udah.” Balasnya singkat.

            Sampai di Rumah Sakit kami lalu di”jemput” oleh tukang parkir yang membawa kursi roda. Dia begitu ramah kepada kami, “Kakinya kenapa Mas?”. “Di tabrak motor,” matanya menatap ku. Aku semakin jatuh dalam jurang kesalahan. “ Ya Tuhan, apa emang aku yang salah?”

            “Nanti mas nya daftar kan pasien di tempat itu, aku tak bawa mas ini ke IGD,” perintah tukang parkir itu kepada ku.

            “Oh iya pak, makasih”
            “Mas nya bawa KTP?,” tanya tukang parkir itu kepada “korban”.
            “Bawa,” dikeluarkannya KTP lalu memberikannya kepada ku.

***

            “Permisi Bu mau daftar Pasien,” tanya ku pada penjaga loket pendaftaran pasien.
            “Oh iya, Pasien lama atau baru?”
            “Baru”
            “Oh iya kalau begitu silakan Masnya mengisi formulir pasien terlebih dahulu disana (sambil menunjuk ke arah kertas-kertas yang berada dibelakang ku) setelah itu formulirnyanya bawa kesini.”
            “Oh iya”

***

            Ku isi formulir pendaftaran pasien itu kolom per kolom. Ku cocokkan dengan identitas orang itu yang sedang ku pegang. Nama Puguh, Alamat : Dipowanatan, dan semuanya ku isikan hingga ku rasa cukup. 

            “Ini mbak sudah.”

Kemudian ptugas tersebut memeriksa formulir tersebut. Ia melihat masih ada beberapa kolom yang belum terisi, lalu menanyakannya pada ku. Ku jawab secara spontan, tidak ada waktu lagi untuk sekedar menanyakan identitas kepada pasien seperti pendidikan terakhirnya.

 “SMA,” ku jawab singkat.
“Pasien sudah di bawa ke IGD?”
“Sudah”
“Baik, kalau begitu mas bisa langsung ke IGD”

***

kaki ini ku arahkan menuju ruangan yang terletak di sebelah tempat pendaftaran itu. Ku masuki dan ku lihat Mas Puguh sudah berada di tempat tidur periksa. Suasana ruangan tidak begitu ramai, hanya terlihat ada satu pasien lain dan beberapa orang yang menemaninya, juga seorang dokter jaga dan beberapa perawat.

“Gimana mas keadaanya? Ada yang parah?”
“Gak ada, tapi belum tahu ini”

Seorang mantri pun mendekatinya dan mulai membersihkan luka pada hidungnya. Diolesnya luka itu dengan cairan pembersih ( baca : alkohol). Sepertinya memang tidak ada masalah yang besar. Ku pikir jika hanya luka seperti ini, uang di dompet ku masih bisa menanggulanginya.

“Pak Toliet dimana ya?” tanya ku pada mantri tersebut.
“Oh, disana mas,” menunjuk ke arah pintu.

Aku lalu meninggalkan “korban” bersama seorang mantri yang sedang sibuk mengobatinya. Sampai di Toilet, langsung saja ku tunaikan hasrat ku yang sempat tertunda. Cukup melegakkan, apalagi saat ini aku sedang berada dalam masalah. “Ritual” tersebut seakan berubah menjadi prosesi pelepasan sial.

Lega rasanya. Setelah melengkapi hasrat tersebut. Aku kembali pada orang itu untuk sekedar agar tidak terkesan lari dari tanggung jawab.

Tiba-tiba dari pintu masuk ruang IGD, tampak seorang pria yang udah cukup umur berjalan mendekati ku dan Mas Puguh. Dia menyapa ku dengan senyumnya yang begitu khas dari seorang tua yang bijak. Terkahir ku tahu kalau orang itu adalah Bapak dari “korban”.

“Gimana keadaan mu?” tanya Bapak itu pada anaknya.
“Gak papa,”
“Masnya,,,,?”
“Iya pak,” jawab ku sambil sedikit mengangguk.
“Oh.” Ia kemudian tersenyum.

Bapak itu sepertinya telah memahami bahasa tubuh ku. Ia sepertinya telah mengetahui kalau aku lah yang menyebabkan ini terjadi. Tapi tak ada amarah yang terucap dari mulutnya. Siratan kekesalan dari wajahnya pun tak dapat ku temui.

Dokter kemudian memeriksa Mas Puguh secara detil. Diambilnya pengukur tensi darah dan disematkan alat tersebut pada lengan kiri Mas Puguh. Sambil mengamati kerja sang dokter, aku hanya berharap jika luka yang ada hanyalah luka yang terlihat. Selain agar biaya yang dikeluarkan tidak semakin mahal, beban moril pun akan lebih ringan jika hanya sekedar luka lecet dan linu yang diderita.    

Setelah memeriksa tekanan darahnya, dokter tersebut kemudian menekan-nekan dada “korban”. Sambil mengenakan stetoskop ia sesekali bertanya apakah ada rasa sakit disekitaran dada. “Gak dok,” hanya kata itu yang keluar dari mulut Mas Puguh ketika dokter menanyakan rasa sakit pada daerah sekitar dadanya.
           
          Dokter lalu pergi menuju meja kerjanya. Aku mengikutinya, bapak Mas Puguh pun turut mengikuti sang dokter. Disana semua pencatatan ia lakukan. Mulai identitas korban hingga, hingga kronologi kecelakaan. Aku baru tahu jika di rumah sakit juga ada form khusus kecelakaan. Dikertas berwarna merah muda itu, tertulis pula daerah (anggota badan) yang luka. Di isi kertas itu dengan detil, satu per satu “pertanyaan” dijawabnya dengan tenang. Ku kira dokter ini sudah cukup piawai dalam menangani korban kecelakaan.

            Pencatatan pun usai dan ia menuju komputer yang berada di belakangnya. Dia mulai memilih jenis administrasi pada “kasus” ini. Satu per satu data ia masukkan. Tak lama berselang, kertas berisikan laporan adminitrasi tercetak.
            “Silakan dibayarkan ke kassa, kalau sudah kertas yang warna muda bawa lagi ke sini,” dokter lalu memberikan kertas tersebut kepada bapak “korban”.
            “Biar saya saja Pak,” pinta ku pada Bapak itu.
            “ kamu bawa uang?” tanyanya sambil tersenyum.
            “Bawa pak,”
            “Ini Gak papa?”
            “Gak papa kok Pak,”
            Lalu kertas itu diberinya, segera ku bawa menuju ruang administrasi.
            “Ini pak,” sambil memberikan kertas itu ke petugas.

            Petugas lalu memasukkan data yang tertulis pada kertas itu. Ia kemudian menghitung semua biaya yang harus ku bayarkan.

            “Lima puluh enam ribu lima ratus,” terdengar cukup tegas dari mulut petugas administrasi itu.

            “Ini Pak,” sambil memberikan uang seratus ribu satu lembar.
            Uang satu-satunya yang berada dalam dompet ku, terpaksa harus keluar untuk hal yang seharusnya tidak terjadi. 

            “ Ini kembalinya,” lalu ku ambil kembaliannya.
            “Biaya ini belum termasuk obat ya Pak,” Tiba-tiba bapak “korban” bertanya pada petugas.

            “Belum  Pak”
            “Kalau Apoteknya dimana ya?”
            “Bapak ke kanan, nanti tempatnya diseberang loket pendaftaran,” petugas itu memberikan arah.
            “Oh iya pak makasih”
       
     ***

            Aku lalu kembali ke ruang IGD dan Bapak “korban” menuju ruang pengambilan obat. Aku tak menemaninya, aku beralasan untuk mengembalikan bukti pembayaran itu kepada dokter. Padahal ketakutan akan biaya yang lebih mahal untuk menebus obat menjadi pertimbangan utama ku.

            “Ini dok bukti pembayarannya”
            “Oh iya makasih ya,” balas sang dokter.

            Ku lihat Mas Puguh masih terbaring lemah diatas tempat tidur periksa. Ia masih terpenjara kesakitan. Mungkin kesakitan yang dirasakan oleh Mas Puguh dapat dirasakan oleh dokter, mantri, orang yang melihat kecelakaan tadi, orang tuanya dan bahkan aku sendiri.

            Tapi apa yang ku rasa belum tentu bisa dirasakan mereka. Aku lebih memilih  diam dalam masalah ini. Takut jika biaya yang ku keluarkan akan lebih banyak dari ini. Ini sudah cukup membebani ku, bagaimana jika aku harus mengakui kesakitan ku pada sang dokter.

            Lalu aku harus membayar biaya periksa, biaya pendaftaran, dan juga biaya obat. Dan itu semua pasti tidak sedikit.  Untungnya luka ini bisa bersembunyi di balik fisik ku yang “sehat”. Hingga uang ku yang lain, hanya perlu ku beri untuk motor ku yang lebih “luka” dari ku.

 “Gimana keadaannya mas?” kembali ku tanyakan hal yang sama pada Mas Puguh.
            “Gak papa kok, hanya kaki kanan agak sulit digerakkan, tapi gak papa,” Ia mencoba menjelaskan dengan tenang.

            “Bapak ku kemana?”
            “Lagi ke Apotek, ambil obat.”

            Aku berusaha tenang, berdiri di samping tempat tidurnya sambil menunggu bapaknya datang. Melihat ke arah luar, bapaknya masih belum terlihat. Sesekali ku ajak mengobrol Mas Puguh, sembari mencoba menghangatkan suasana. Tapi sepertinya Mas Puguh masih cukup lemah. 

            Beberapa saat pun berlalu dan bapak Mas Puguh masih belum terlihat. Ku putuskan untuk menyusul beliau ke ruang pengambilan obat.

            Ruang Farmasi. Tertulis jelas di pintu kaca ruangan itu. Ku buka pintu tersebut dan terlihat bapak Mas Puguh sedang berdiri di depan loket pengambilan obat. Ku lihat ia mengeluarkan uang Rp 50.000 dan memberikannya kepada petugas. Nampaknya biaya obat cukup mahal, ku dekati bapak itu.

            “Gimana Pak,”
            “Udah ini, Cuma Rp 17.000,” sambil menyuguhkan senyuman khasnya.
            “Oh...” aku mengangguk. 

Syukurlah biaya obat tak semahal dugaan ku. Aku pun tak harus mengeluarkan uang lagi untuk menebus obatnya. 

Kami lalu saling diam untuk beberapa saat.

“Gini Pak,” suara ku mulai menjalar di telinganya. Iya lalu menolah dan mulai terlihat serius.

“Sekarang semuanyakan sudah beres, Mas Puguh juga sudah baikkan. Saya izin pamit.”

Raut mukanya yang tegang berangsur berubah menjadi santai, ia lalu tersenyum.
“Oh iya mas, Makasih ya,” balasnya sambil memberikan tangan untuk berjabat.

Ku jabat tangannya,“Sama-sama pak,” aku pun turut tersenyum. Terasa begitu plong ketika bapak itu menerima pamitan saya. Bapak itu memang begitu bijak dalam menghadapi masalah ini. Ia sama sekali tak pernah terlihat marah, kesal, atau bahkan anti-pati pada ku. Dia begitu lembut dan halus dalam menyikapi masalah yang dialami anaknya.

Kemudian aku berlalu meninggalkan bapak itu, dan pulang dengan keadaan yang berbeda dibandingkan saat pergi. Motorku terasa miring ke kiri, dan tangan kiri ini menjadi tidak nyaman ketika harus berada di stang. Alhasil selama perjalanan tangan kiri ini lebih sering menggantung, dan hanya sesekali ia berada di “tempat”nya.

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Search

Blogroll

goresan pena. Diberdayakan oleh Blogger.

About