Minggu, 01 Juli 2012

fragmen pulau hitam oleh Dwi Raharioso

Unknown | Minggu, Juli 01, 2012 |
Sepenggal Bulan di Langit Desember
:Linternationale instrument
Kami mendengarmu, suara bulan yang separuh
Di antara ranting pohon yang tak lagi utuh
Kotamu telah begitu jauh, ke seberang teluk ini
Kami harus bersampan di hari yang gelap
Ketika semua harus mengendap

Diam-diam, kami mengungsi
Menjelajah sungai, rawa, muara, dan segala muasal sepi
Sebab besok adalah pemberontakan;
Kemenangan yang terabaikan
Semangat yang menjalar di balik perdu tanah ini
Ketika hujan turun sejak hari pagi
Dan tiang-tiang tumbang dalam hening pasi
Lalu senyap belaka
Seketika

Sorong, Desember 2011


Fragmentalia Pulau
“Kita tak akan kekal di sini, di langit pucat pasi,”
begitulah katanya sebelum meninggalkan tepi pantai
ke arah yang jauh tidak terduga
mendung yang bergulung ke warna abu
dan rombongan nelayan kelelahan membiru
ditimpa angin buritan yang kaku

Udara menjadi biasa. Ketika hari senja
kota-kota tidak nampak, kecuali aroma anyir mengalir.
Barangkali bangkai, barangkali sunyi yang terkulai

“Aku perantau untuk usiaku, saat kampung halaman
telah pekat dan liat oleh pendatang,  maka aku memencil di sini,
di pulau senyap ini,” angin berseru lembab

Ketika mendung terkumpul dan laut menjadi lebih diam daripada karang,
kapal-kapal merapat di bandar-bandar tenang, lalu kedai seakan-akan riuh
ketika sesosok tubuh terjerembab penuh luka di pelataran. Mereka saling bertanya,
siapa dia? Tidak ada yang bicara. Tidak ada nama. Tidak ada senjata.
Hanya ombak mengantarkan dingin pada pintu dan jendela.

Orang-orang mengira ia adalah kekasih laut yang meninggal ketika ombak telah surut.

Lalu mereka menguburnya di samping kedai
ketika hari mulai berganti pagi
beberapa bir, bunga, dan cerutu wangi ditaburkan
penghormatan yang tidak seberapa

laut terdiam
suara hujan samar menajam
dan bandar-bandar itu kembali sepi
“Barangkali ia seseorang yang telah lama kita lupakan,”
seolah ada yang berkata tiba-tiba. Tapi tak ada.
kita tidak tahu apa yang sebenarnya.

Desember, 2011

Di Sebuah Rak Kayu
I
Sebuah buku yang disimpan dalam rak
semacam kisah di antara sunyi yang melesak
II
Aku menemukanmu, memencil
dingin udara barangkali makna tentang segala
hal yang sentimentil
III
Di lembaranmu, sebuah revolusi jatuh
mirip suara detik jam yang tak lagi gaduh
IV
“Kita adalah hampa. Ketika kata-kata membakar
sebuah dusun dengan bunyi senjata. Alangkah fana.”
V
Mereka yang menyisa; abu adalah cerita sengkarut kulit kayu
diterpa angin lembah membiru, lalu senyap
VI
Abaikan luka itu. Masa lalu.
Dendam adalah malam yang panjang dan teramat dingin
untuk diobrolkan. Kita semakin letih, tua, tak berdaya
VII
Di rak kayu, barangkali kita akan temukan makna yang sia-sia
di suatu sore yang lembab, ketika gerimis turun dan kau tak ada.
Sorong, Desember 2011

Pohon Api
: Biwiripit1)
Di antara sungai yang merdu itu
kelak kau dengar sebuah rindu yang mengalir
dari sampan menuju hilir
di bawah sebatang pohon Jewer2), si dukun api
terdiam kekal menyimpan bara dan sunyi

Nun jauh di ujung dan perkampungan sepi
Tidak ada pediangan atau kehilangan
Semua teramat biasa, hambar dalam dingin udara
Dan orang-orang seperti kelu; di bawah atap-atap rumbia
Dingin musim tak menentu,

“Ijinkan kami memanjatmu, menyerumu,”
sahut beberapa warga kampung memelas
Udara berhenti, tak menjawab
Seperti lenyap di antara pokok-pokok sagu
dan akanan bakau yang utuh, tanpa geming

Ia mendengarmu—maka dilemparkanlah pontong3) itu
Ke arah kosong yang tidak menentu
Orang-orang berebut, lalu bisu
Bara seperti kayu; menyaru dalam warna cahaya
Jatuh di tanah lembab, lalu gelap memakannya seketika

“Di pohon yang sama, aku telah menaruh sagu dan ikanku.
Aku telah menjangkau wuruw4), seribu kisah yang kau bangun
dalam sunyiku sebelum orang-orang terjaga dalam dingin yang sia-sia”.

Sorong, 2011

catatan:
1) Nama penunggu Pohon Jewer yang dipercaya sebagai empunya api
2) Nama salah satu pohon dalam masyarakat adat Asmat yang dipercaya sebagai tempat tinggal api yang menyala abadi
3) Bara api
4) Kayu yang bisa digunakan untuk menyalakan api (kayu api-api)
*) Cerita di atas diadaptasi dari kumpulan folklore Papua (Pada Komunitas, rumpun Bismam, Asmat), berjudul “B. Api,”  hlm.71-73.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Search

Blogroll

goresan pena. Diberdayakan oleh Blogger.

About