Minggu, 01 Juli 2012

pelangi tiga warna dimataku

Unknown | Minggu, Juli 01, 2012 |
Hidup Bersama Warna Pelangi

Yang Teruaraikan
Oleh Kuasa Sang Ilahi
D
etik demi detik kini telah berlalu jarum pendek itu lewati bilangan 4 pada jam dinding kamarku. Dalam mimpi merangkai pelangi aku terjaga, bangun dari lelap tidurku. Kucoba langkahkan kaki dekati sebuah ruangan disudut kiri kamarku. Kusiram tubuhku dengan sucinya air wudhu. Muka, tangan, kakiku mulai dapat merasakan segarnya pagi ini. Ba’da shubuh setelah kewajibanku tertunaikan. Kupandangi dunia melalui jendela kaca yang menghadap ke ufuk timur desaku. Terlihat dimataku, lengkungan indah pelangi hiasi langit-langit desaku. Gantikan hujan yang telah lelah menangisi nasibnya. Lalu ia hijrah entah kemana. Aku tak tau.

Tak terasa waktu berlalu sangat cepat. Sudut 150 derajat kedua jarum jam dinding ku tunjukkan pukul 7 tepat. Kini saatnya diriku laksanakan tugas, mengisi awal liburanku. Memberi makanan kehidupan bagi mujair-mujair mungil di kelaparan di keramba-keramba yang terbentang di sepanjang pesisir barat desaku. Maklum, pamanku adalah salah satu diantara puluhan pembudidaya ikan mujair di desaku.


“pagi yang indah, al?” Sapa lelaki tua yang mulai mendekatiku.

“tentu paman, walau dini hari tadi desa ini harus diguyur dinginnya hujan.” Sahutku.

Lelaki tua, yang dia pamanku kini telah berada disamping tubuhku yang masih saja asik menebar makanan kecil ikan-ikan pamanku.

“sepertinya hari ini, paman lihat kamu lebih bahagia dari biasanya. Ada apa gerangan?” Tanyanya penasaran.
“ah tidak ada apa-apa paman. Hari inikan hari libur pertamaku jadi alfandi tak ingin menyia-nyikannya semua harus diisi dengan bahagia.” Jawabku sambil tersenyum.

“semoga harimu menyenangkan, al. O iya ingat jangan lupa beri makan mujair-mujair yang ada disana.”
“baik paman.”

Kring..kring.., tiba-tiba telepon genggam pamanku berbunyi mungkin dari temannya.

“maaf al, paman harus meninggalkanmu ada keperluan sejenak.” Ucap paman sepertinya terburu-buru.

“baik paman silahkan, aku tak apa-apa sendiri disini inikan desaku juga.” Jawabku ramah.

“paman pergi dulu, assalamu’alaikum.” Kata paman seraya berjalan meninggalkanku.

“wa’alaikumussalam.” Jawabku bersama senyuman.

Sepeninggalan paman kulanjutkan tugasku memberi kehidupan mujair-mujair itu.
><0><o><0><
Mentari telah semakin tinggi tinggalkan kokokan ayam yang mulai sunyi. Tugasku sudahlah usai. Saatnya istirahat sejenak santaikan fikiran-fikiranku yang lelah memikirkan bagaimana cara menghidupi hati yang mulai ditinggal pergi.

Berjalan-jalan menelusuri pesisir, tapi rencanaku ini mungkin terlalu pagi. Sore saja nanti. Walau mentari bersinar tak begitu terik.

“ah lebih baik aku kembali kerumah. Tinggalkan pantai ini sejenak mungkin ada hal lain yang dapat kulakukan.” Desahku sepi.

Setibanya di rumah sederhana tak begitu mewah hatiku masih ragu hingga ia temukan sebuah jawaban. Duduk depan jendela kaca. Tuliskan kata sederhana. Baru sepuluh menit saja dirikududuk, hujan kembali mengguyur kota. Entah apa yang ia tangisi.

“beruntungnya diriku.’ Ucapku dalam hati.

Mungkin harapanku kini hanyalah menanti hujan tinggalkan pelangi indah seperti pagi tadi. Maklum pelangi adalah sahabat terbaik yang mampu menghiburku dikala ada dan tiada. Walau kini dalam pandanganku pelangi itu hanya miliki lima warna memang bagi mereka pelangi miliki tujuh warna tapi bagiku tidak hanya lima. Dua warna hidupku telah diuraikan sang ilahi, yakni ayah dan ibu. Ayah dan ibuku kini telah tiada mendahului diriku tinggalkan dunia. Ah sudahlah untuk apa kuuraikan kembali masa lalu jika ia takkan terjalin lagi. Tapi doa ku kan tetap mengiringi langkah mereka menghadap sisi-Nya Allah yang maha esa.

Waktu teus bergulir mengelinding lewati bilangan-bilangan hitam jam dinding. Tak tersa telah banyak kata terngkai oleh goresan yang terjadi. Hampir seluruh kata yang kutuliskan tak jauh berlari dari pelangi. Mungkin karena hatiku terbawa derasnya arus suasana. Anehnya ada serangkai kata yang menarik perhatianku, bagaikan magnet menarik besi.

“pelangi dimataku.
Hilang sudah ditelan waktu.
Sisakan secercah.
Sebagai kenangan masa lalu.”
Entah apa yang ada dalam fikiranku saat menuliskan kata itu. Hingga rangkaian kata dapatkan satu tempat dihatiku. Ya Allah pertanda apa ini.
><0><o><0><
Teng..Teng..

Tepat pukul 2 siang ketika jam dindingku berdetak dua kali. Hujan berhenti tetesan air mata lebar indahnya pelangi harapanku. Tak lama mataku nikmati pelangi, tiba-tiba getaran telepon genggamku hasilkan nada panggilan masuk.

Kring..Kring..

Ternyata ada panggilan dari nomor tak diketahui. Awalnya ragu untuk mengangkat telepon itu. Tapi akhirnya kuangkat jua. Suara gagah menyapaku dari sebrang jaringan.

“Assalamu’alaikum, dengan nak Alfandi?”

“wa’alaikumussalam, iya saya Alfandi.” Jawabku dengan sedikit ragu.

“maaf nak sebenarnya bapak tak ingin katakan ini, tapi..”

“tapi apa pak? Katakan saja pak, memangnya ada apa pak saya akan menerima apa yang bapak katakan” 

ujarku dengan ragu, prasaan ku berubah mungkin ada sesuatu, hatiku semakin tak tenang.

“maaf nak, mungkin hari ini adalah hari ini adalah hari terakhirmu bertemu dengan pamanku.”

“memang ada apa pak?” Tanyaku lagi. Hatiku makin bimbang. Apa yang terjadi ya Allah.

“pagi tadi pamanmu tak dapat mengelakkan dari pohon tumbang akibat angin kencang, mungkin ini sudah ajalnya.” Kata seseorang yang ada di sebrang dengan berat hati.

“innalillahi wainna ilaihi raji’un. Semoga paman diterima disisnya.” Jawabku teteskan air mata.

“aamiiin.. Saya harap nak Alfandi dapat menerimanya dengan tabah.”

“Insyallah pak.” Jawabku menghibur hati.
><><><><><
Berlama-lama larut dalam duka rasanya tak baik bagiku. Untuk apa aku terus menangisi yang telah tiada. Padahal aku dapat melakukan hal yang lebih berguna.

Pagi ini kususun kembali semangatku dalam reruntuhan masa lalu. Siapkan diri dan hati jalani hari-hari sepi. Terlintas dalam pikiranku “mujair-mujair itu!”

Mujair budidaya pasti telah kelaparan karena telah beberapa hari kutinggalkan, tak terurusi.
Mengingat hal itu kugegaskan langkahku mengambil makanan kehidupan mujair di belakang pintu rumahku.segera aku menuju keramba-keramba tempat mujair mungil itu berada. Kusebar makanan yang ku ambil tadi disetiap keramba demi keramba. Senang nya diriku melihat mujair-mujair itu dapat kembali tersenyum bahagia.

Hari-hari sepiku kini telah mulai dihiasi senyuman mujair-mujair mungil tempatku curahkan isi hati. Budidaya milik almarhum pamanku ini tak ingin kubiarkan hilang begitu saja.

“masih ada aku” gumamku dalam hati.

Budidaya ini kan terus kukelola hingga aku tak mampu menjaganya.

Sebulan sudah aku disini bersama mujair. Kini saatnya akhiri liburanku awalnya aku ragu melanjutkan kuliah di negeri seberang atau terus menjaga dan mengelola budidaya ini.

Beruntung disini aku bersama tetangga-tetangga luar biasa, dengan kerendahan hati, mereka yang mengetahui kuliahku kan kembali dimulai. Menemuiku pagi ini dan menganjurkanku untuk melanjutkan kuliahku.

“assalamu’alaikum nak alfandi”

“wa’alaikumussalam” jawabku.

“kami telah mengetahui kebimbangan hatimu, lebih baik nak alfandi lanjutkan saja kuliahmu yang tinggal menghitung bulan saja.” Ujar salah seorang dari mereka.

“tapi.. budidaya ini?”jawabku ragu.

“kami siap membantu mengelola budidaya ini hingga nak alfandi kembali”

“terima kasih pak, sudah mau membantu” jawabku bahagia.

Kini jawaban kebimbanganku terjawab sudah. Akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan kuliah.
“Alhamdulillah ya Allah, segala puji bagimu” syukurku dalam hati.

Siang itu sebelum pergi kota tempatku berkuliah.aku pamit terlebih dahulu pada tetangga-tetanggaku. Dengan harapan mujair-mujairku aman bersama mereka.
><0><o><0><

Sebulan sebelum kuliahku usai. Berita pagi pada sebuah diaran TV mengabarkan bahwa desaku telah diluluh lantakkan gelombang tsunami.

“kerambaku, warna ke empat yang teruraikan kuasa ilahi.” Fikirku.

Tanpa berpikir panjang aku kembali kedesaku. Kutitip surat izin tidak masuk kuliah hari ini pada sahabatku.
Dalam perjalanan, hujan mengguyur membasahi mataku harapan ku masih sama seperti biasa. Berharap pelangi hapuskan air mata. Setibanya dikotaku, dalam derasnya hujan kulihat rumah, pohon, dan keramba-keramba termasuk keramba budidayaku luluh lantak rata dengan tanah.

Apa boleh buat, ini adalah kuasa ilahi yang tak mampu kuhentikan. Tak lama setelah aku menelusuri pesisir tempat rumah dan kerambaku dulu berdiri. Hujan berhenti teteskan air mata duka, munculkan pelangi tiga warnaku yang tersisa.
><0><o><0><
sumber http://sajakharapan.wordpress.com/category/karya-sastra/cerpen/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Search

Blogroll

goresan pena. Diberdayakan oleh Blogger.

About