Senin, 25 Februari 2013

Shibuya

Unknown | Senin, Februari 25, 2013 | | |
penampakan kota shibuya pada pagi hari, nampak kepadatan diseluruh sudut kota
Mungkin ini tiap hari terjadi di Tokyo:  di stasiun Shibuya, ribuan orang ke luar masuk peron atau berjalan dari gerbang barat menyeberang — dari tempat patung anjing Hachikō yang mati menunggui tuannya yang tak kunjung pulang, ke arah toserba “Shibuya 109″ yang membuka dengan meriah lebih dari 100   boutique.

Anak-anak muda masih seperti dulu. Mereka tak putus-putusnya bergerak riang, riuh, mengingatkan kembali gaya gyaru gadis-gadis a-be-ge tahun 1970-an yang mencoba melepaskan diri dari sikap jinak dan konformitas. Tapi, pada saat yang sama, mereka adalah bentuk konformitas yang baru
.
Di sini hidup adalah degup siang dan malam — terutama malam.  Setelah pukul 18, lampu-lampu iklan digital menegaskan bahwa yang gemebyar, yang mewah, yang meriah, adalah pertemuan antara hasrat dan kemustahilan. Kapitalisme busana menampakkan ambisinya di ratusan papan iklan dan layar DOOH dengan ukuran besar: di tubuh manusia kota, pakaian adalah pertarungan untuk menggapai satu mode yang modelnya terlampau rupawan untuk ditiru, tapi selalu ditiru. “A fashion is nothing but an induced epidemic.“  Saya kira George Bernard Shaw benar.

Epidemi itu terutama berkecamuk di kelimun seperti di Shibuya ini. Lebih dari setengah abad yang lalu David Riesman menulis The Lonely Crowd, tapi sampai sekarang observasinya masih kena: kalangan metropolis ini adalah orang-orang yang other-directed,  ”diarahkan-liyan”.  Bukan lagi  diarahkan tradisi. Juga bukan lagi digerakkan kecenderungan diri yang terbentuk sejak kecil.


Di tempat seperti Shibuya, yang mengarahkan bukan hanya orang-orang di lingkungan yang dekat, tapi juga yang lebih “tinggi”.”Liyan” itu hanya mereka kenal dari media massa dan billboard:  Hiroshi Oshima atau Hoyt Richards — para model dengan nama yang berubah jadi Versace atau Hugo Boss.   Mereka sangat responsif terhadap nama dan gambar macam itu. Bahkan mereka selamanya memasang radar untuk mendeteksi bagaimana di depan “liyan” yang jauh itu mereka harus mematut-matut diri. Mereka ingin selalu menangkap — dan kemudian mengikuti — selera apa yang tengah berkembang dan opini apa yang tengah dikumandangkan.

Mereka bukan orang yang hidup dalam kolektifitas dusun; mereka tak dibentuk rasa malu. Mereka juga bukan orang yang  hidup di tengah kolektifitas keluarga atau agama; mereka tak  dibentuk rasa bersalah. Hubungan  antara orang-orang di metropolis ini dan sekitarnya dibentuk rasa cemas.

Tapi di celah-celah cemas itu, pada orang-orang yang “diarahkan-liyan” ini sebenarnya ada sejenis petualangan. Analisa Riesman cenderung menyepelekan mereka, tapi dengan sifat kosmopolitan mereka, mereka sesungguhnya punya keberanian: meniadakan batas antara dunia yang mereka kenal dan yang asing.  Mereka serentak bisa ada di mana saja.

Mungkin itu sebabnya Tokyo adalah kota yang pas untuk mereka:  tak ada “Timur” dan “Barat” di sini.

Di dinding stasiun Shibuya, dalam lorong ke arah pintu masuk jurusan Keiō Inokashira, terpampang sebuah mural karya Tarō Okamoto, “Mithos Hari Esok”, yang menggambarkan sesosok manusia yang dihantam bom atom. Okamoto belajar di Panthéon-Sorbonne di tahun 1930-an di mana ia hidup dengan kaum Surrealis Prancis.  Mural itu semula ia buat untuk sebuah bangunan di Meksiko.  Setelah 30 tahun di sana, sejak empat tahun yang lalu karya itu dibawa ke stasiun Shibuya: ia menegaskan sifat Tokyo yang Jepang tapi tak lagi hanya Jepang. Ia juga menunjukkan bahwa bagi kota ini, yang penting bukanlah corak satu yang padu.

“Di Tokyo,” tulis Donald Ritchie, kritikus film yang  telah berpuluh tahun tinggal di Jepang dan di tahun 1999 menulis tentang Tokyo,  “orang merasa…bahwa kota ini tak punya satu gaya yang tunggal”. Yang ada  “hanya usaha yang tak terhitung untuk mendapatkan gaya”.  Di kota ini, terutama bagi seorang asing yang menyusuri lekuk-lekuknya dengan berjalan kaki, akan kelihatan “hal-hal yang dikenal dipergunakan dengan cara yang tak dikenal.”

Justru dengan  demikian si orang asing, menurut Ritchie, ia tak perlu terikat dengan makna yang biasa bila ia misalnya menyaksikan tiang-tiang Yunani kuno di celah arsitektur kota, sebab tak berarti bangunan itu sebuah bank; atap merah nun di sana itu juga belum tentu berarti “Spanyol”.

Bahkan pemaknaan selalu bisa berlangsung tanpa penerjemahan. Dalam film Sophia Coppola, Lost in Translation, dua orang asing di Tokyo menemukan dunia dalam dua sisi: yang sudah mereka kenal dan yang tidak. Tapi ternyata bukan alih bahasa yang menghubungkannya.

Dalam salah satu adegan kita lihat Bob Harris, yang datang ke kota itu untuk jadi bintang iklan bir, mendengar kalimat-kalimat bahasa Jepang yang panjang diterjemahkan dengan  begitu singkat tapi efektif: tiba-tiba kita sadar banyak kata yang bisa hilang begitu saja  — tapi  kita tetap mengerti apa yang dikehendaki. Dalam film itu kita juga lihat Charlotte, seorang perempuan muda yang baru menikah dan kecewa, menyentuhkan hidupnya kepada Bob; tapi  di Tokyo, bukan bahasa yang menentukan komunikasi mereka, melainkan kesepian.

Tokyo: sebuah kesepian di ruang riuh.  Seperti di tiap kota besar, di sini orang — the lonely crowd –merapat, seakan  menyadari bahwa rasa cemas adalah nasib, dan nasib adalah, seperti kata Chairil Anwar, “kesunyian masing-masing”.  Perjumpaan tak punya waktu yang pasti, tempat yang pasti.
It seems that we have met before, laughed before, loved before, but who knows where and when
Itu satu adegan dalam Lost in Translation: seorang penyanyi jazz melagukan ‘Where and When’ di bar NY di Shinjuku: Tapi itu bisa juga satu adegan siapa saja di keriuhan Shibuya. Atau bukan Shibuya.

catatan Goenawan Mohamad
dari http://goenawanmohamad.com/2013/02/14/shibuya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Search

Blogroll

goresan pena. Diberdayakan oleh Blogger.

About