Minggu, 25 Maret 2012

kutitipkan dia untuk mu

Unknown | Minggu, Maret 25, 2012 | |

 ini adalah cerpen pertama ku, yang dibuat karena kekeselan hati terhadap keadaan yang sepertinya kurang memihak padaku. maklum saja jika ceritanya agak terkesan maksa, dan kurang pas dengan keadaan yang sebenarnya. Tapi bagaimana pun juga, cerpen ini adalah batu loncatan ku. Tanpa cerpen ini tak kan ada uraian dari cerita-cerita ku yang lain. Gak usah lama-lama lagi, silahkan di baca  :)
Tiba-tiba aku terbangun ketika mendengar hp-ku yang tiba-tiba berbunyi. Dengan mata yang masih terasa kantuk, aku kemudian mencari di mana hp-ku berada. Dengan cepat aku membaca sms yang masuk itu. Dan hal yang paling pertama aku lihat adalah pengirim yang berada paling atas layar hp-ku. ”Ternyata dia,” dalam hati aku bergumam, aku pun tersenyum sambil terus membaca apa yang diucapnya lewat sms.
Memang hal itu bukanlah hal pertama yang kualami, karena dia kerap sms padaku mengenai apa saja. Dan aku pun berkomentar panjang lebar mengenai masalahnya. Tidak pernah aku merasa canggung atau malu-malu, ketika dia bercerita tentang masalahnya.
Aku juga tidak terlalu ambil pusing dengan hal ini. Aku merasa dia hanya teman yang memang aku kagumi, tapi tidak pernah terbesit untuk memilikinya. Tanpa sadar aku telah banyak tahu tentang dirinya. Mulai dari masalah yang kecil hingga masalah besar, mulai dari keluarganya, hingga saudara-saudaranya, aku telah mengenal.
Tapi, lambat laun aku melihatnya dan mulai terpesona. Seperti ada sesuatu yang lain. Setiap hari pula makin sering aku memperhati-kannya, dan sesekali dia melempar senyum dari wajahnya yang sebanarnya tidak begitu indah ataupun cantik, tapi menyimpan banyak misteri. Kulitnya yang putih, serta senyumnya yang begitu khas, membuat aku terus  mengingatnya.
***
Suatu waktu, datang seorang teman yang begitu dekat denganku hadir dalam hidupku. Dia bercerita tentang semua yang pernah dia alami sepanjang hidupnya, hingga akhirnya bertemu denganku. Bagiku dia adalah orang yang beruntung, tapi tidak dalam kisah cintanya dengan wanita. Dia adalah orang yang lebih sering merasakan asamnya cinta dibandingkan dengan  manisnya rasa itu. Sebetulnya dia adalah teman baru bagiku, tapi seolah dia telah sangat dekat denganku.
Kini dia berada pada lingkungan yang sama denganku, dia pun melihat semua wanita yang ada di sekelilingnya. Bagiku banyak di antara wanita-wanita yang dilihatnya itu  menarik perhatianku, namun ia selalu mengatakan, ”Tidak ada yang  kukagumi di sini.”
Tiba-tiba sengaja ia melihat si dia si Hana yang selalu aku kagumi, datang dan menghampiriku. Hana memang suka sekali ngobrol denganku dan menceritakan semua tentang apa yang terjadi, tapi aku selalu berusaha menutupi perasaanku kepadanya, sehingga ia merasa aku hanya seorang teman biasa.
Setelah Hana pergi, dia pun bertanya pada ku tentang siapa Hana. Aku menjawab,
“Dia Hana. Emang kenapa?” tanyaku. “Ah, nggak cuma tanya doang!” jawabnya ringan sambil tersipu. Kamipun melanjutkan obrolan kami.
Keesokan harinya, aku dan Ari pun kembali dalam suasana yang sama dalam suasana obrolan ringan dan penuh canda. Tanpa sengaja, kami melihat Hana dari kejauhan, berjalan dengan anggun. Kulihat Ari begitu tertarik dengannya, hingga akhirnya ia pun meminta nomor HP-nya Hana pada ku.  
Semenjak kejadian itu mereka jadi sering saling sms, atau terkadang sesekali saling menelepon. Hana selalu memberi tahu kabar terbaru mengenai hubungan mereka berdua. Walau sebenarnya aku mengaguminya, tapi itu semuanya aku tutupi rapat-rapat. Kadang juga Hana menceritakan kepadaku mengenai masalah-masalah yang mereka hadapi. Sebagai seorang sahabat, aku hanya bisa memberikan pendapat sebisaku.
Saat-saat akhir masa sekolah, aku menyempatkan untuk mengatakan sesuatu yang telah lama aku simpan pada Ari. Aku mengatakan , “Sebenarnya aku telah menyukai Hana sejak lama, bahkan sebelum kamu ada di antara kami. Tapi itu selalu aku pendam dan berusaha menyimpannya, hingga tak seorangpun yang tahu.”
Dia tersentak kaget, seolah tak percaya. Kemudian terdiam beberapa saat, menunduk sambil menghela nafas dalam-dalam. “Maaf, jika aku merusak hubungan kalian,” ucapnya dengan nada bersalah. ”Tidak. Justru kini dia senang dengan-mu, maka jagalah dia seperti kamu menjaga tanaman kesayanganmu, dan peliharalah dia seperti kamu memelihara tubuhmu sendiri. Kutitipkan dia untukmu,” ucapku dengan berat padanya. Dia terdiam. “Sekali lagi maafkan aku. Aku tidak bermaksud, membuatmu jadi tidak berarti. Baiklah… aku akan memenuhi keingi-nanmu. Aku akan berusaha menjaganya selalu”. Kami berdua saling berpelukan, kemudian berjabat-tangan. Ada sesuatu yang mengalir di dadaku, antara rasa perih, berat dan juga lega. Aku tersenyum padanya.  Lalu, kami berpisah.
***
Sepuluh tahun berlalu, Tanpa sadar, ketika menengok ke belakang, ternyata sudah samar dan jauh. Ah… begitu sempurna rasanya. Semua mengalir dalam irama waktu. Aku sudah lama tidak mengetahui kabar Hana begitu juga sebaliknya. Namun, kabar dari teman-teman dulu Hana telah menikah dengan Ari (teman dekatku?)cowok yang meminta nomor hp nya Hana dari ku. Aku pun hanya dapat berterima kasih padanya karena ku dengar Hana selalu bahagia bersamanya dan berarti Ari telah menepati janjinya.
Aku juga kini telah menjadi orang yang tentunya berbeda dibandingkan sebelumnya saat masih SMA. Badan tegap dengan tinggi 176 cm serta paras wajah yang sejuk, kata teman-temanku. Membuatku tidak mengalami kesulitan dalam mencari jodoh. Terbukti saat ini aku telah menikah dengan seorang  pramugari  dari maskapai penerbangan swasta, karena memang kini aku telah bekerja sebagai pilot di salah satu perusahaan maskapai penerbangan terbesar di Indonesia. Aku telah menikah sejak dua tahun lalu dan telah dikaruniai anak perempuan yang masih berumur satu tahun.
Hidupku juga dapat dikatakan bahagia. Secara finansial, keluargaku tidak mengalami kesulitan, selain itu juga dikarenakan  Dila, istriku. Ia   selalu membuat suasana rumah menjadi nyaman. Toh, meskipun kini ia telah pensiun sebagai pramugari namun, kecantikannya tak pernah memudar bahkan semakin indah jika kulihat.
Kini dari hasil pernikahanku dengan Dila, aku telah dikarunia seorang anak perempuan yang begitu lucu. Tapi  Jujur, sampai sekarang, aku masih teringat pada wajah anggun Hana. Bayangan wajahnya masih membekas dalam ingatan. Meskipun aku sadar perasaanku ini tidak berdasar dan salah, aku, tidak pernah menceritakannya pada sitriku.
***
Jam kecil yang berada di atas meja berdering mengejutkan tidurku yang pulas. Aku melihat jam telah menunjukan pukul 06.00 pagi. Aku segera bangun, mandi dan bersiap, karena pagi ini ada jadwal terbang ke Seoul, Korea Selatan .
Aku pamit pada Dila istriku sebelum berangkat ke Bandara. Tanpa terburu-buru, aku membawa mobil sedan kesayanganku menuju Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Dalam perjalanan, sambil mengendarai mobil sedanku yang sedang melaju di tol, aku memutar lagu-lagu kesayangan yang mengingatkanku pada masa-masa SMA dulu, di mana aku pernah bertemu dengan Hana.
Sampai di bandara, aku langsung menuju kantor maskapai penerbangan dan check-in, dan melihat siapa yang menjadi partner terbangku pada layar komputer. Aku pergi menuju ruang briefing untuk melakukan persiapan sebelum take-off. Aku briefing bersama kapten Hanung Tanoesoedibjo. Beliau merupakan salah satu pilot senior pada maskapai tempat aku bekerja. Maklumlah karena jam terbangku masih di bawah 3000 jam, sedangkan Kapten Hanung Tanoesoedibjo lebih dari 5000 jam,  maka aku masih bertugas sebagai Co-Pilot.
Sambil menunggu, aku putuskan untuk berjalan-jalan sejenak. Saat membeli soft drink, aku terpaku pada sesosok perempuan yang duduk sendirian di salah satu bangku ruang transit penumpang.  
Jantungku berdegup aneh. Antara ragu dan penasaran. Aku terus memerhatikan perempuan itu, sambil berjalan mendekatinya. Aku merasa terlempar kembali ke sepuluh tahun silam, pada saat bangku SMA. Dalam hati-ku secara pasti mengatakan “itu  kan Hana!”, tapi aku masih belum yakin betul. Tidak lama kemudian ia melempar senyuman yang pada waktu sekolah selalu membuat aku mengingatnya. Kemudian dalam hatiku aku bersorak “ya… dia adalah Hana!”,  Tepat berada  di hadapannya, kemudian dia berdiri sambil tersenyum. Dengan keyakinan penuh akhirnya aku bertanya, “Maaf, apakah anda Hana?” Aku merasa sedikit gugup. Sesaat ia berpikir siapakah orang yang bertanya ini. “Iya . . . kamu Andre kan?” Ia membalas bertanya. “Iya… benar! apa kabarmu?” sambil kuulurkan tanganku hendak menjabat tangannya. ”Alhamdulillah… aku baik-baik saja,” jawabnya  ramah sambil menjabat hangat tanganku.
Setengah tak percaya dengan apa yang kualami saat itu. Alangkah kebetulan semua ini, pikirku. Kami pun terus membuka obrolan kami. Mulai dari bertanya tentang kabar, karir hingga hal-hal yang kecil.
Pembicaraan lama- kelamaan mengarah pada pembicaraan mengenai keluarga masing-masing. Di sela-sela obrolan kami yang belum tuntas tiba-tiba hpku berdering. Aku mengangkat hpku, dan ternyata panggilan itu berasal dari kantor, menyuruhku untuk segera naik ke pesawat. “Maaf ya Han! Aku harus segera naik ke pesawat,pesawatnya sudah harus Take-off,” ucapku pada Hana. “Iya… Ndre nggak papa,” balas Hana. Dengan cepat, kemudian aku menuju ke kantor mengambil tasku dan bergegas menemui kapten Hanung Tanoesoedibjo, dan melihat kesiapan teknis pesawat, sejenak sebelum take-off.
Aku dan Kapten telah sampai di ruang cockpit, menyalakan semua sistem sebelum lepas landas. Sebelum pesawat bergerak menuju run way, aku menyempatkan diri menghubungi istriku untuk pamit. Hal ini memang selalu kulakukan sebelum take-off.
Dari Tangerang Indonesia, pesawat bertolak menuju Seoul Korea Selatan. Setelah sistem auto pilot di aktifkan. Pilot dan co Pilot pun dapat melepas penat dengan sedikit meregangkan otot-otot yang sedikit kaku akibat konsentrasi yang penuh saat akan lepas landas. Para pramugari kemudian datang  membawa makanan juga minuman dan beberapa makanan ringan.  Selama penerbangan tidak terlihat ketegangan diatara para kru diruang co pit. Hingga pada saat pesawat telah memasuki wilayah Korea Selatan, para kru kembali dengan tugas masing.
Pilot dan co Pilot kembali dalam keadaan siap, kemudian posisi duduk di sempurnakan. Auto plilot di non-active kan serta beberapa perangkat pesawat mulai diaktifkan seperti roda pesawat mulai dikeluarkan sistem navigasi pada sayap pesawat mulai diaktifkan serta kelajuan pesawat mulai diturunkan. Menandakan pesawat siap untuk landing. Indahnya kota Seoul telah terlihat di depan mata. Pesawat mulai berputar untuk mencari posisi lurus pada jalur run way. Ketika koordinat pesawat telah menunjukan koordinat 00 0’ 0’’ pada jalur run way, pesawat dengan perlahan mulai menurunkan beban berat, yang  dipikulnya sejak dari bandara Soekarno-Hatta. Roda  pesawat telah menginjak run way, secara perlahan, kami menurunkan kepala pesawat. Pesawatpun melaju dengan cepat setelah roda depan menempal pada jalur run way. Setelah beberapa ratus meter pesawat menginjak run way, Aku kemudian menarik tuas rem tangan pada pesawat secara perlahan, hingga pesawat benar-benar dalam kondisi berhenti di landasan pacu.
Dengan pelan, kami membawa pesawat menuju terminal penumpang dan merapat pada pintu masuk bandara. Sesampainya pesawat di terminal penumpang, aku menghela nafas panjang sambil mengucap, “Alhamdulillah”. Hal yang sama juga dilakukan oleh kapten Hanung. Secara perlahan, penumpang pesawat mulai turun dari pesawat menuju terminal penumpang. Setelah semua penumpang turun dan para Pilot menonaktifkan semua perangkat sistem. Aku dan kapten Hanung, beserta semua kru,  bergegas turun meninggalkan pesawat. Di bawah, mobil khusus jemputan pilot telah datang. Aku dan Kapten Hanung pun naik pada mobil tersebut, dengan pelan mobil yang kami tumpangi berjalan dan meninggalkan pesawat semakin jauh dibelakang.
***
Sesampai di terminal, aku dan kapten Hanung bergegas ke kantor untuk melapor. Selesai melapor, kami diantar pada hotel tempat kru pesawat menginap.
Sesampai di hotel, aku langsung menjatuhkan badanku ke spring bed hotel. Hingga aku tak sadarkan diri, karena sangat lelah.   
Saat tersadar aku melihat jam di kamar hotel telah menunjukkan pukul 7 petang. Berarti aku telah tertidur sekitar 3 jam. Sontak dengan terburu-buru, aku segera mengambil air wudlu kemudian shalat magrib. Selesai shalat, aku langsung mandi dan bersiap untuk sekedar  berkeliling kota Seoul. Sebelum berjalan-jalan, aku menyempatkan diri untuk menelpon Dila, Istriku.
Setelah bertelepon dengan dila, lantas aku berjalan keluar kamar dan menuju lobby hotel untuk menitipkan kartu kamar. Tanpa sengaja, pandanganku menangkap sesosok wanita yang sedang asyik dengan telepon genggamnya. Sepertinya sosok ini tidak asing, familiar. Aku merasa pernah melihatnya. Naluriku tidak salah lagi. Setelah kuperhatikan dan kuamati dengan saksama, ternyata dia Hana. Ah, sebuah kebetulan yang tidak disangka-sangka.
Dengan perlahan aku mendekatinya. “Hai,,,,!”, suara ku memanggilnya dari jauh. Ia pun dengan cepat mencari sumber suara itu. Sambil tersenyum dan melambaikan tangannya ia pun membalas teguran ku “hai,,,!”.  “kok kamu bisa disini?”, sambil membuka perbincangan. Akhirnya kami pun bercerita cukup lama. “eh Han, mau ikut aku jalan-jalan?”, ajaku padanya. “boleh,” balasnya ringan sambil tersenyum.
Sambil berjalan di sepanjang torotar dan menikmati udara malam yang sejuk, Hana memulai bercerita tentang hidupnya.  Tiba-tiba dalam perbincangan ringan itu Hana terdiam, matanya yang bulat menerawang ke depan. Ia menarik nafas dalam-dalam. Berpaling ke arahku sejenak. Lalu  dengan lirih dia berkata, Kau tahu? Ari, suamiku…” Aku Bingung, “Ya, ada apa dengan suamimu?” aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Aku gugup. ia menghela nafas dalam. Lalu terisak pelahan. Tak terelakan lagi air matanya pun tumpah membasahi pipinya. Cepat-cepat diambilnya tisu dari dalam tas mungilnya. “Ari, suamiku telah meninggal…” katanya pelan, sambil terisak. Tiba-tiba jantungku seakan berhenti berdetak. Kaget bukan main diriku mendengar apa yang diucapkannya. “A..apa?!” seruku setengah tidak percaya. Aku benar-benar tidak menduga sama sekali. “Ya,musibah itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Pesawat yang ditumpanginya mengalami kecelakaan,” Hana menahan kesedihannya. Tisunya mulai basah. Ia terisak, tubuhnya bergetar menahan gejolak kesedihan batin yang dalam. Aku termangu. Tanpa sadar, kupeluk dia. “Maaf, aku tidak bermaksud…” aku bergumam lirih dan tidak bisa meneruskan perkataanku. Ia menangis di pelukanku. Aku tidak tahu apa yang kulakukan. Semua seolah terjadi begitu saja. Hana dan Ari. Ah, kenapa waktu selalu saja tidak berpihak? Aku merasa saat itu waktu seolah berhenti.  Entahlah.
 Aku berpikir, betapa semua hal itu memang tidak terduga. Kini Ari telah tiada, dan Hana telah menjanda. Ah… apakah semua ini memang sudah digariskan? Pikiranku berhenti di situ. Tidak bisa menjawab. Malam terasa sejuk. Suasana yang nyaman. Orang-orang ramai berjalan, sepanjang trotoar. Ada yang  berpasang-pasangan. Aku tidak mengerti apa yang dirasakan Hana saat ini. Aku teringat istriku di rumah. Aku teringat semua hal yang menyenangkan dan nyaman. Tapi, Hana… sungguh kasihan hidupnya. Perasaanku berkecamuk tak menentu.
Setelah terdiam beberapa saat, Hana sudah kembali tenang. Berangsur-angsur ia bisa menguasai emosinya. Wajahnya kembali cerah, meskipun bekas kesedihan masih terlihat membekas di wajahnya yang putih dan halus. Hana tersenyum. “Maafkan aku, terbawa suasana,” ucapnya pelan. “Tidak apa kok. Aku paham perasaanmu. Semua ini memang terlalu berat untuk kamu tanggung sendirian,” ucapku. Ia tersenyum. “Sudahlah. Aku sudah ikhlas menerima kenyataan ini. Semua ada hikmahnya,” ia berusaha tegar dengan perkataannya. “Yah… aku yakin dirimu sanggup menjalaninya,” ucapku. Hana mengangguk. “Ehm… kenapa kita tidak membahas hal yang lain? Bukankah sebaiknya kita membahas hal yang lebih konkret?” ia tersenyum sembari mengalihkan pembicaraan. “Maksudmu?” aku berkerut, tidak paham dengan maksud perkataannya. Kemudian tiba-tiba, Hana menceritakan tentang perasaannya kepadaku yang telah tumbuh sejak masa SMA dulu. Tiba-tiba jantungku berdetak dengan begitu kencangnya. Tidak percaya dengan apa yang diucapkan Hana kepadaku barusan. Aku bingung. Harus berkata apa. Grogi dan gugup. Aku teringat istriku di rumah, anakku tercinta… ah.. jantungku berdegup kencang. Ada getaran yang menjalar ke sekujur tubuhku. Perasaan aneh yang sama persis kurasakan, ketika dulu pertama kali aku mulai kagum dengan Hana. Perempuan idamanku. Sekarang, setelah berpuluh tahun, ia ada di hadapanku. Di luar dugaan, ia malah mengatakan hal yang dulu kuanggap mustahil untuk kusampaikan padanya. Ahh… Tuhan ada apa sebenarnya ini? Mulutku kelu, tak bias berbicara. Antara senang, gugup, bingung. Aku menarik nafas dalam-dalam. Semua terasa kacau. Buntu.
Aku terdiam. “Ndre, ada apa? Kok diam saja?” suara Hana mengejutkan lamunanku. “Ah, ti..dak.. tidak ada apa-apa kok..” jawabku sambil tersenyum kikuk. Ia tersenyum, melihatku salah tingkah di hadapannya. Setengah ragu, aku berkata, “Aku sebenarnya…  juga sama. Aku.. juga…” Aku pun mengatakan hal yang selama ini kurasakan tentang dirinya. Ia memandangku penuh makna. Matanya yang bulat, dan wajahnya yang lembut, tatapan yang membuat diriku tak berkutik.
Dengan sedikit tegas dan suara yang halus aku menceritakan tentang keadaanku kini. Aku menceritakan padanya kalau aku telah menikah , dan memiliki putri yang masih kecil. Ia terdiam. “Sebenarnya, aku masih berharap banyak padamu,” katanya tiba-tiba. “Apa dan bagaimana kondisimu, aku terima,” katanya pelan, sambil matanya tetap menatap ke depan. Aku diam, tidak bersuara. “Aku berharap kamu mau menjadi pendampingku, setelah semua yang terjadi padaku ini Ndre..” kalimatnya terputus. Ada sesuatu yang dalam mengalir dalam ucapannya. Ia mendesah. Aku semakin bingung. Entah kenapa, kepalaku terasa buntu dan tidak mau berpikir apa-apa.
Aku tak dapat mengingkari janji yang telah kuucap di depan kedua orang tua Dila 2 tahun silam. Bayangan tentang istriku, putriku yang manis dan lucu, tiba-tiba melintas di kepalaku. Bersamaan dengan perasaanku yang juga semakin tidak karuan. Aku galau. Bimbang. Ya, Tuhan, kenapa semua ini menyerbu secara tiba-tiba? Bayangan-bayangan itu seolah menyeretku ke dalam labirin dan pusaran yang tidak berdasar.  Dalam dan gelap. Ahh.. Hana..  istriku… putriku… bayangan-bayangan itu silih berganti datang. Seperti slide yang bergerak cepat, dan terus semakin cepat.
Tiba-tiba, aku melihat sosok istri dan putriku tersenyum dan melambai kepadaku, sambil memanggilku, “Ayah…”! Aku tersentak kaget. Tersadar dari lamunanku. “Astaghfirullah..” aku bergumam pelan. Akhirnya dengan berat hati, aku katakan padanya, “Hidup ini adalah pilihan! Kamu telah memilih dia sebagai pasangan hidupmu dan aku juga telah memilih Dila sebagai pasangan hidup ku. Aku harap kamu mengerti keadaanku saat ini Han..” Kami pun terdiam beberapa saat.
Hana kemudian kembali bertanya padaku, “Andre, bagaimana jika aku bisa memutar waktu kembali? Dan kuputar waktu ini di mana aku bertemu denganmu pertama kalinya?. Apakah kamu mau menikahiku?” aku tidak langsung menjawabnya. “Bagaimana Ndre?” Ia memegang lenganku penasaran. “Tidak, Hana!” balasku padanya. “Kenapa?” ia tidak mengerti dengan jawabanku. Perlahan dilepaskannya tangannya dari lenganku. “Jangan mengingkari takdirmu untuk menikah dengan Ari. Selain itu tidak mungkin bagimu untuk memutar kembali waktu,” ucapku tegas padanya. Ia terdiam. Wajahnya merebak merah. Tiba-tiba menitik air dari sela-sela bola matanya. Ia sedih dengan apa yang baru saja kuucapkan. Aku kembali menjelaskan padanya kalau kita tidak bisa seperti dulu.
Setelah kejadian itu, Hana kini menjadi orang yang sangat depresi. Hana merasa hidupnya sudah tak berarti lagi. Ketika Ari meninggal ia merasa masih bisa bangkit lagi karena merasa masih mempunyai tambatan hati yang sejak lama dipendamnya, yaitu aku. Dia mengira bahwa aku masih sendiri, dan ternyata tidak.
Kini tak ada lagi harapan dalam dirinya. Semua telah pergi bersama waktu yang terus berputar maju, dan tak bisa kembali walau hanya sedetik.
Aku juga tak dapat melakukan apa-apa lagi karena itulah jalan hidupya yang dipilih. Jalan hidup yang ia yakini pada awalnya, namun ia sesali pada akhirnya.
***

           

“Semua berjalan bagaikan air yang mengalir di sungai, tapi sebenarnya tidak.
Semua terjadi bagaikan dengan sendirinya tanpa ada yang mengatur, tapi sebenarnya tidak.
Semua yang indah terlihat seperti sesuatu yang datang dari surga, tapi sebenarnya tidak.
Yang sebenarnya adalah, kita lah yang mengatur Sesuatu, yang Menjadikan sesuatu, dan yang Mengindahkan semua yang terlihat.
Karena semua, kita lah yang telah memilihkan bukan dipilihkan orang lain untuk hidup yang kita jalani sendiri.”
   

2 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Search

Blogroll

goresan pena. Diberdayakan oleh Blogger.

About