Kamis, 15 Desember 2011

Kampung Pesisir

Unknown | Kamis, Desember 15, 2011 |
Karya : Dwi Raharioso
Di pesisir tiada bertepi ini kami lahir
sebagaimana riuh angin dan layar terkembang
maka menepilah dari gelombang
sebab senja telah berakhir menjadi petang
Sungguh, pada laut itulah tumpah darah kami
dan daratan adalah pelabuhan bilamana udara terasa nyeri
oleh sepi belaka

“Kalian bisa menukarkan setiap kesepian dengan keramahan
dan kehangatan kami, seperti secangkir teh, tembakau, sirih, pinang
kapulaga maupun cerita-cerita hikayat nenek moyang kami
sungguh, tidak ada yang perlu kalian bayar
sebab kami sudah lama terpencil dalam pikiran kami,
kami hanya ingin anak-anak kami berlayar
sebagai nakhoda dan pelaut besar,”
ucap seorang tua di sebuah kedai tak bernama

Keesokan pagi, ketika langit beringsut dan pasang telah surut
anak-anak berkejaran dengan angin dan dingin
para orang tua mengangkat jala mereka, sampan-sampan
merapat sepanjang pantai dan dermaga
cakalang, hiu, gropa, kerapu, lema, dan cumi
semua tergeletak sepi di sudut sampan yang ciut

“Tunggulah matahari naik sedikit, kami hidangkan sarapan,
secangkir kopi dan juga kasbi,” seorang perempuan tua berkata
sambil menyalakan tungku dan asap seperti sunyi mengudara

Jala telah kering dan angin kembali dari laut
di udara yang asin, amis menusuk dinding-dinding papan
“Kamilah para nelayan yang menunggu kesepian,
bilamana musim berguguran dan ngilu udara tak tertahan,
kami tak pernah menyimpan kenangan
sebab kami teramat lupa dan sengsara dengan kepergian”
seorang bapak tua berkata seolah hari telah tiada

Lalu bayang-bayang menghilang sepanjang pesisir
sampan-sampan mulai bergerak menjauh
menjelajah ombak terakhir
tidak terdengar apa-apa selain angin yang jauh

barangkali kami harus pulang, untuk melepaskan seseorang
ke selatan, kepada kesendirian.

2011
stanza hujan
 :ami

I
hujan belum berhenti
waktu seakan menjadi
di kaca jendela,
dingin menegak lurus ke udara
membaca sajakmu
sepi menyelimuti
seketika ngilu
dan rumputan basah kembali
pada petang
di halaman rumahmu
aku menderu
hilang

II
aku telah menyimpanmu
sejumput kering yang tersisa
serasa kita tak lagi bertemu
dalam perjalanan hampa
di antara gemuruh kota-kota
nafasku dan nafasmu
hanyalah lembab belaka
namun, hijau daun dan mekar bebunga
adalah bukti kita pernah ada
di halaman itu;
salah satu sudut rumahmu

2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Search

Blogroll

goresan pena. Diberdayakan oleh Blogger.

About